comment 0

Cerita setelah persalinan: pendarahan dan plasenta tertinggal

Sudah sekitar satu tahun saya menemani suami saya yang sedang sekolah di Evanston, Illinois, Amerika Serikat. Beberapa bulan sejak pindah kemari saya hamil. Di musim panas buah hati kami lahir.

Selama hamil dan melahirkan hanya ada Suami dan saya. Pun sesudah melahirkan tidak ada keluarga yang datang mengunjungi dan membantu. Kami sehat dan selalu berbahagia. Namun beberapa waktu lalu kami mengalami kejadian yang cukup heboh. Berikut sepenggal kisah kami di sini. 
*
Jam tiga subuh pas sebulan setelah melahirkan, saya bangun karena mendengar anak menangis. Mungkin dia lapar. Bangun dari tempat tidur, “Glop,”. Ho, tidak, ada gumpalan darah lagi.

Dua hari sebelumnya saya juga mengeluarkan gumpalan darah sebesar genggaman tangan. Setelah tanya kiri-kanan, googling kiri-kanan, banyak yang bilang itu normal, pun darah yang keluar perlahan berkurang jadi saya urung menelepon klinik. Saya pikir hanya mens, katanya mens pertama setelah melahirkan memang ekstrem, badan saya juga sakit seperti mens.

Tapi malam itu gumpalan darah tidak berhenti. Saya ganti pembalut dan berusaha cuek, namun beberapa detik setelah ganti saya cek lagi, ternyata pembalut sudah penuh darah. Saya duduk di kloset, drip…drip…drip. Darah tidak berhenti menetes.

Untungnya di Indonesia masih sore. Saya bertanya kepada teman saya yang dokter, kenapa ada darah encer yang keluar, tidak seperti darah mens? Dia minta saya fotokan, saya foto. Dia bilang itu darah segar. Teman saya bilang segera ke Rumah Sakit.

“Bagaimana dengan darah yang tidak berhenti?”, dia sarankan untuk sumpal dengan kasa steril, saya tidak punya jadi diganti dengan tumpukan pembalut.

Saya bangunkan suami, berusaha mengambil baju dari lemari, namun pandangan sudah kabur dan badan terasa berat. Hampir tertidur, pingsan.

Suami suruh saya tiduran saja. Suami beres-beres keperluan anak, sambil saya ingatkan apa saja yang kira-kira perlu diangkut. Setelah itu Suami telepon 911. Satu atau dua menit kemudian, ambulans dan pasukan pemadam kebakaran datang untuk menjemput. Hanya saya yang dijemput. Anak dan Suami harus menyusul dengan kendaraan terpisah. Sepanjang jalan saya kedingingan, menggigil dan merindu mereka.

Rumah sakit yang dituju tidak jauh dari rumah kami. Sesampai di ER, tim medis yang menjemput menjelaskan kondisi saya, “Tidak berhenti berdarah, lima pembalut penuh selama satu jam,” kata seorang petugas medis kepada suster (ini hanya hasil kira-kira saya karena saya duduk di atas kloset setelah melihat darah menetes tak berhenti).

Suster ER segera mengambil tanda vital dan memasang infus. Dua orang dokter jaga juga mengecek dan bertanya proses kehamilan dan melahirkan. Persalinan normal, tanpa komplikasi.

Namun, mengapa baik suster maupun dokter tidak ada yang mengecek darah dari vagina saya? Apakah mungkin karena tanda vital saya semua baik-baik saja?

Sekitar dua puluh menit kemudian, suster datang menyiapkan saya untuk pemeriksaan, dia bilang hemoglobin saya skornya sepuluh jadi saya tidak butuh transfusi darah.

Salah satu dokter ER kemudian datang untuk melihat keadaan di dalam vagina saya. Akhirnya celana saya dibuka. Suster serta dokter panik melihat banyaknya darah (selama ini tertahan oleh pembalut tumpuk tiga).

Dokter ER mencoba untuk memasukkan alat periksanya ke dalam vagina, “tok…tok…tok…”, namun setelah masuk, ada alat yang dia lupa. Prosedur yang sama sekali tidak nyaman itu harus diulangi. Percobaan kedua dokter ER salah meletakkan alatnya “I think that’s my anus,”kata saya.

Dia tampak sangat merasa berasalah dan berulang kali meminta maaf serta berhenti mencoba melakukan pemeriksaan serviks saya. “Kami panggilkan OB sekarang,”.

Darah keluar begitu banyak, dokter dan suster tampak semakin panik. Si dokter memanggil dokter ER yang satunya dan dia mengangguk, “Pasangkan infus keduanya sekarang,”.

Suster mencoba mengganti alas di bawah saya namun setiap saya megangkat pinggul, darah menyembur dari vagina “I think it’s her artery,” kata suster yang panik kepada temannya sesama suster yang sedang berusaha memasang infus kedua saya.

Pernyataan si suster panik menularkan paniknya pada saya.
OB datang dan saya digiring ke ruang yang lebih besar oleh dua suster yang berbeda dari si suster panik (untungnya). Selama suster masih menyiapkan semua, OB meminta saya cerita tentang keadaan saya pascamelahirkan.

Saya ceritakan kalau saya sudah berhenti berdarah seminggu pascamelahirkan, selama dua minggu belakangan saya hanya mengeluarkan lokia transparan.

Setelah cerita, OB berusaha memasukkan alat untuk memeriksa serviks, “tok…tok…tok…,”, saya yang tegang dan ketakutan tak kuasa menahan diri untuk tidak berteriak. Saya berteriak, bayi dalam gendongan suami berteriak. OB dan suster menyuruh saya mengatur napas “It’s okay, you’re in the right place,” ujar suster yang saya remas tangannya.

OB tidak melihat ada yang salah di dalam, “This is probably only a really heavy period,” katanya. Saya yang sedikit lega bisa bernapas dengan lebih teratur atau mungkin saya lebih tenang karena obat penenang yang mereka berikan. Suster menyuntikkan obat penenang ke dalam infus ketika OB melakukan pemeriksaan serviks. Oleh suster, saya juga disuntik di paha sedangkan OB memasukkan obat ke dalam anus, keduanya untuk menghentikan pendarahan.

Setelah OB memasukkan tampon panjang ke dalam vagina saya, saya menunggu untuk dipindah ke ruang rawat inap.

*

Hari sudah pagi dan suami pergi untuk menitipkan bayi kami ke seorang sahabat. Saya sendirian dan tidak berhenti menangis karena merindukan mereka. Setengah jam kemudian saya digiring ke ruang rawat inap. Suster di ruangan bertanya mengapa saya menangis? Saya bilang saya hanya emosional. Dia bertanya saya tidak punya barang bawaan? Saya bilang, ya. Mungkin dia pikir saya hobo.

Beberapa jam kemudian saya digiring lagi untuk melakukan pemeriksaan USG. Sebelumnya OB datang ke kamar dan memperingatkan saya kalau USG yang dilakukan akan melalui vagina, mungkin dia mau saya menguatkan batin mengingat hebohnya saya ketika pemeriksaan serviks.

Untungnya operator ultrasound sangat pengertian, dia bilang dia mengerti saya baru melahirkan satu bulan yang lalu dan dia berusaha mengoperasikan kamera dengan sangat lembut. Setelah memotret bagian dalam dia juga mengambil gambar ultrasound dari atas perut saya. Siapa sangka pemeriksaan ultrasoundnya tidak semengerikan pemeriksaan serviks.

Hari sudah menjelang sore dan suami saya sudah kembali menemani ketika OB menjelaskan kondisi saya. Dia memang tidak yakin apa yang terjadi, namun dari hasil pemeriksaan serta hasil tes, prediksi terdekatnya terkait kondisi saya adalah “really heavy period,”. Kata dia, dari hasil ultrasound tidak terlihat placenta tertinggal, “Sudah terlalu lama untuk placenta tertinggal di dalam sana,” lanjutnya.

Saya masih mencium bau darah yang menyengat dari dalam tubuh, namun pendarahan saya sudah membaik. Saya juga was-was setiap mengangkat pinggul, trauma karena banyaknya darah yang keluar saat di ER. Namun, OB berkata saya tidak perlu takut karena obat yang mereka berikan sangat cukup untuk mengatasi pendarahan, kata dia saya bisa beraktivitas seperti biasa. Malam itu kami boleh pulang.
*

Itu adalah hari Rabu malam. Pada Minggu, tepat tengah malam, saya bangun lagi karena suara tangisan anak. Glop. Kembali ada gumpalan darah yang keluar. Saya duduk di kloset dan kembali mendapati pendarahan yang banyak sekali.

Obat untuk membantu kontraksi rahim saya memang sudah habis, obat itu hanya diberi untuk pemakaian dua hari. Keringat dingin, saya memanggil suami. Suami sudah sigap karena baru mengalami hal serupa tiga hari sebelumnya. Kami berpikir “kunjungan” ke ER kali ini hanya akan sebentar, mungkin saya akan diberi obat kontraksi rahim lagi lalu kami bisa langsung pulang.

Kami sempat menimbang-menimbang untuk pergi ke rumah sakit lain di Evanston atau pergi ke rumah sakit tempat saya melahirkan, mengingat pengalaman di ER pada rumah sakit sebelumnya kurang mengenakkan. Namun, pendarahan yang banyak serta karena tes yang telah dilakukan di sana, kami pun memutuskan untuk kembali ke rumah sakit terdekat. Kami menyewa Uber, saya duduk di atas sarung, takut mobil orang rusak karena saya.

Sesampai di ruang tunggu ER, kami menunggu sekitar dua puluh menit sampai akhirnya suster memanggil. Di sini, suster terlebih dahulu mengambil tanda vital sebelum pasien masuk ke ruang ER dan bertemu dokter (kecuali bila datang dengan ambulans seperti saya beberapa hari lalu).

Suster memanggil dan saya mencoba berdiri. Saya dapat merasakan sekali lagi darah menyembur dari dalam. Saya meminta suami mengambil kursi roda. Saya pun digiring ke tempat suster, ketika suster melihat darah yang menetes dari kursi roda di sepanjang ruang tunggu, dia tidak jadi mengambil tanda vital melainkan langsung menggiring saya masuk ke ruang ER.

Kali ini penanganan mereka lebih cepat, suster lebih sigap (apa mungkin karena darah yang menetes berhasil membuat kotor satu ruangan? Atau karena baru jam 12 tengah malam jadi mereka masih fresh?).

Dokter jaga ER kali ini dua orang perempuan. Setelah bertanya tentang kehamilan salah satu dari mereka langsung mengecek darah di dalam celana saya dan yang lainnya langsung memanggil OB. Dokter yang mengecek darah juga melihat lebam di tangan saya karena pemasangan infus yang gagal oleh suster panik beberapa hari lalu.

OB yang berbeda dengan kunjungan sebelumnya datang beberapa saat kemudian, dia bertanya mengapa saya tidak ke rumah sakit tempat saya melahirkan? “Saya baru saja ke sini beberapa hari lalu, kata OBnya saya hanya mengalami menstruasi yang hebat, jadi saya pikir saya ke sini hanya untuk minta obat,” kata saya. “Can I please just have the medication?”. “No honey, this is not a menstruation blood,” kata OB kali ini, namanya dr. Heo, keliatannya dia keturunan Jepang/Korea/Cina.

Saya menangis karena ternyata mereka harus memeriksa serviks saya lagi. “Mungkin masih ada placenta di dalam uterusmu,” kata dr. Heo yang kemudian memasukkan jemarinya ke dalam sana. Dia kemudian mengatakan dia bisa merasakan ada placenta di dalam. “Tok…tok…tok…,” saya kembali “dibuka”. Dr. Hio berhasil mengeluarkan placenta sebesar jempol, tapi dari hasil USG masih ada substansi di dalam sana.

“Kapan kau terakhir makan? Untuk lebih yakin, kita harus membawamu ke ruang operasi,” kata dr. Heo. Saya ketakutan. Dia bilang saya akan dibius total dan tidak akan merasakan apa-apa, makanya dia bertanya kapan saya terakhir makan, sebaiknya perut kosong paling tidak enam jam sebelum dibius total, bila tidak makanan bisa masuk ke paru-paru. Saya jawab saya makan pho sekitar pukul 7-8 malam.

Dokter residen yang bersamanya menjelaskan bahwa prosedur yang dilakukan akan seperti melakukan vacuum agar substansi yang tidak diinginkan bisa dibersihkan. Dr. Heo mengatakan sebaiknya segera karena hemoglobin saya delapan dan heart rate seratus (mungkin ini batas antara tanda vital bagus dan tidak?).

Setelah menandatangani consent dan menunggu ruang operasi selesai disiapkan, saya pun digiring ke sana. Suami keluar untuk menitipkan bayi kami kepada seorang teman baik.
Di dalam saya bertemu dengan ahli anastesi, beberapa saat kemudian dr.Heo dan dokter residennya datang. Dr. Heo bilang mungkin saya akan ditransfusi

“I’m so sorry honey,”. Tidak lama kemudian saya pun tertidur.
Pukul tiga dini hari saya siuman. Tenggorokan kering dan batuk-batuk. Ada masker oksigen dan alat pemijat kaki di betis saya. Suster yang baik lalu menelepon suami saya di ruang tunggu, mengabarkan kondisi saya dan bahwa saya akan segera digiring ke sana. Saya pun akhirnya digiring ke ruang rawat inap (lagi).
*
Matahari kembali terbit dan suami saya sudah datang dari menjemput bayi kami. Teman kami harus kuliah dan saya pun rindu terus kepada anak kami yang hari itu berusia lima minggu. Ketika saya baru selesai menyusui bayi dan menidurkannya di dada saya, dr. Heo datang menjelaskan kondisi saya. Dia mengatakan operasi berjalan baik dan saya sudah bersih. Dr. Heo berkata kalau tidak ada masalah saya bisa pulang kapan saja saya siap.

Siang datang dan dokter yang masuk ke kamar berbeda. Dari hasil tes darah hemoglobin saya jatuh ke angka 5,8. Saya pun harus dipasangkan dua unit darah. Suster yang merawat saya siang itu adalah suster yang sama dengan suster pada hari Rabu. Saya bertanya berapa lama untuk sebungkus darah bisa masuk ke dalam tubuh saya? Dia jawab sekitar 3-4 jam. Berarti sekitar 6-8 jam lagi saya bisa pulang.

Dia meminta maaf karena saya harus mengalami ini, “I wish they have found it the first time so they don’t have to give you blood,”.
Tangan yang ngilu karena dialiri darah dari infus membuat saya tidak leluasa menggendong dan memberi makan bayi saya, tetapi itu juga yang membuat saya terpacu untuk lebih cepat sembuh dan lebih cepat pulang. Kasihan suami yang kebingungan ketika bayi susah tidur karena mau menetek lama sementara saya kesakitan karena jarum di kedua lengan.

Malam pukul 9.30 kami pun pulang. Sejak itu pendarahan saya berkurang signifikan sampai akhirnya berhenti satu minggu kemudian. Yang tertinggal hanya OB saya yang kesal karena tidak dihubungi oleh pihak rumah sakit (saya juga belum sempat menelepon karena semua terjadi begitu cepat). Dia tahu cerita pendarahan saya dari saya sendiri seminggu kemudian di pemeriksaan enam minggu pascamelahirkan. Dia berkata dia sedikit skeptis karena placenta tidak biasa tertinggal di dalam selama itu, tapi pendarahan saya sudah berhenti jadi dia berkata saya tidak usah resah lagi.

Saran saya kepada mama baru, terutama yang tinggal jauh dari tanah air dan sumber informasinya adalah forum ibu-ibu internet: langsung hubungi klinik bila ada hal yang membuat risau.

Kala itu saya menyadari lokia transparan saya berbau seperti nanah, namun saya baca di berbagai forum kalau lokia memang berbau, jadi saya tenang saja.

Ketika saya seperti menelurkan gumpalan darah juga konsensus ibu-ibu di forum berbahasa Inggris seakan sepakat kalau itu adalah hal normal.

Saya urung menelepon klinik karena saya baru pindah rumah ke kota Evanston, menjauh dari klinik saya di Chicago. Saya tidak mau meninggalkan bayi saya bila ternyata yang saya alami hanyalah hal yang normal, saya juga masih enggan memberikan bayi saya ASI dengan botol.

Namun, karena kelalaian saya akhirnya bayi tercinta sempat dititipkan ke teman, diberi ASI lewat botol bahkan sempat sekali mencicipi susu formula. Tanya sana-sini, googling sana-sini kadang bisa membuat tenang perasaan, tapi jangan sampai malah jadi justifikasi untuk tidak laporan pada dokter sendiri. Mama harus super perhatian sama kesehatannya, terutama kalau tinggal jauh dari keluarga besar dengan segala bala bantuannya.
***

Tinggalkan komentar