comments 2

Berhenti panggil temanmu ‘pedofil’ sebagai guyonan!

Karena satu dan lain hal saya memilih menahan diri untuk mengunggah foto anak saya di jagad maya. Namun, kepada teman dan keluarga tentu saya masih berbagi, agar mereka bisa menyaksikan perkembangan bayi saya dari waktu ke waktu. 

Sudah beberapa bulan saya tidak membagi foto buah hati saya dalam sebuah grup pertemanan. Ketika saya membagi fotonya, seorang teman berkata:

 “Ah cantiknya, ayo main sama om!”. 

Kemudian dibalas oleh teman saya yang lain (laki-laki):

 “Eh jangan dekat-dekat sama (nama teman saya) dia pedofil, hahaha,”.

Saya sebenarnya sangat terganggu dan kesal dengan becandaan macam itu. Saya rasa tidak ada yang lucu dari guyon mengecap pedofil kepada seorang teman.

Hari ini satu lagi saya saksikan seseorang dengan mudahnya bersenda-gurau menggunakan kata itu di akun media sosial. Lebih lagi, dia mengatai teman laki-lakinya sebagai “pedofil loli candy” sebuah grup pedofil kelas internasional yang cabangnya baru saja diciduk di tanah air. 
***

Saat masih pacaran dengan suami saya, beberapa teman suami saya (waktu itu masih pacar) dengan sangat kasual mengatai suami saya sebagai pedofil. Alasannya dia berpacaran dengan saya yang enam tahun lebih muda (walaupun saat itu saya sudah berusia dua puluh tahun). Saya hempaskan saja bila pacar saya dikatai pedofil, toh saya juga bukan anak di bawah umur. Guyon teman-temannya jelas absurd.

Tetapi tanggapan saya sangat berbeda sekarang sejak saya menjadi ibu. Ketakutan terhadap pedofil itu semakin nyata! Bukan hal yang pantas dijadikan guyon dan dinormalisasi sebagai guyon. Ketakutan kepada pedofil sama seperti ketakutan kepada pembunuh berantai, maupun pelaku kejahatan beringas lainnya.

Bila saya menuduh teman Amerika saya sebagai pedofil, niscaya dia akan sangat tersinggung dan kami mungkin tidak akan berteman lagi selamanya. Pedofil adalah tuduhan serius, bukan untuk main-mainan. Saya tidak akan tiba-tiba menuduh teman saya sebagai pembunuh berantai tanpa alasan yang kuat apalagi sekadar sebagai bahan candaan, begitu pula saya tidak akan menuduh teman saya sebagai pedofil. 

Setau saya di Amerika Serikat dan negara maju lain pada umumnya hukuman bagi predator atau pedofil sangat berat. Bisa coba nonton filmnya Angelina Jolie, Changeling (2008) atau film Denmark, The Hunt (2012), serial dari Inggris, Black Mirror episode Shut Up and Dance! juga akan menambah pengetahuan kita tentang tanggapan masyarakat barat terhadap pedofilia.

Intinya dari film pun kita bisa menilai bahwa bagi masyarakat beradab pedofilia adalah kejahatan yang sangat nista. Konon di penjara pun para pelaku akan dikerjai habis-habisan oleh narapidana lainnya. Lihat? Narapidana yang terbukti melanggar hukum pun kesal dan jijik kepada pedofil. 

Sesuai hukum di Amerika Serikat, bila nyata sebagai pedofil, pelaku akan ditandai dan harus selalu melaporkan posisi mereka kepada pihak berwajib. Orang tua dapat mengecek apakah ada pedofil yang sudah ditandai oleh negara yang tinggal di sekitar mereka. Dari aplikasi pemerintah (bila tinggal di Amerika Serikat, cari NSOPW singkatan dari National Sex Offender Public Webiste di toko aplikasi) belakangan saya mengetahui ada sepuluh sexual offender terdaftar yang tinggal dalam radius seperempat mil dari rumah saya.

Bagaimana dengan tanah air?

Saat mengemukakan tanggapan saya tentang becandaan macam ini, seorang teman yang setuju kepada saya berujar bahwa masih lama bagi warga negara kita untuk paham tentang seriusnya menuduh seseorang sebagai pedofil. Mereka yang mau angkat suara saat candaan pedofil dikumandangkan paling akan dicap sebagai polisi moral.

Iya juga sih. Kenyataannya sangat sulit di Indonesia untuk menganggap serius masalah ini. Ingat kasus pengusaha kaya yang menikahi anak berusia 12 tahun? Ingat bagaimana susahnya menaikkan usia legal pernikahan bagi perempuan?

Namun, saya rasa mayoritas dari kita bergidik saat melihat screenshot percakapan grup Facebook pedofilia yang beberapa waktu lalu diciduk oleh pihak berwajib. 

Mereka dengan bangga berbagi tips dan trik untuk menarik perhatian anak agar lengket dengan mereka. Ada yang memberi daftar usia anak yang pernah dia sakiti (“kalau besar ngga bakal mau, jadi harus saya puas-puasi sekarang!”), ada pula yang menceritakan pengalamannya mengerjai anak usia balita agar mahir menjadi objek seksual dia.

Mereka adalah pedofil! Pelaku kejahatan kepada anak kecil yang tidak berdaya! Mengapa ada yang tega menyamakan temannya dengan pelaku tindakan kriminal seserius ini? 

Menjadikan sebutan pedofilia sebagai bahan candaan juga akan semakin membuat tanggapan bagi pelaku kejahatan ini menjadi tidak serius. Lihat! Betapa banyak anggota grup Facebook pedofilia itu? Ratusan? Ribuan! Dan berapa orang yang sudah diciduk? Tiga? Empat?

Jangan puas hanya dengan kenyataan bahwa polisi telah menciduk admin grup Facebook pedofilia itu, mereka masih ada, masih nyata!

Saya sendiri selalu paranoid, di jalan, di taman, di supermarket, saya sangat takut kepada mereka. Saya seperti terus dihantui. Saat teman mengucapkan atau mengetik kata “pedofil” walaupun dengan begitu ringannya, kata itu telah berhasil menusuk dan menghantui saya. Salahmu apabila saya benar-benar menjadi waspada kepada teman yang kamu tuduh itu!

Apakah saya terlalu paranoid? Mungkin saya begini karena saya pun pernah menjadi korban salah satu di antara mereka ketika saya masih kecil. Tapi apakah lantas harus menjadi korban dulu agar kita mau berempati? 

***

2 Comments

  1. Aku kok jijik banget jujur mba, dengan pedofilia yang merebak belakangan ini
    aku juga waktu kecil gitu pernah, ada orang tua yang gemes tapi kok gemesnya ke daerah sensitif kita aneh banget. Semoga segera ditangkap pelaku yang seperti itu ya mba. Sebel liatnya jengkel juga 😦

    Suka

    • Mama Rumahan

      Iya mba, murka banget emang sama orang yang cabul! Pengennya sistem di negara kita bisa menandai pelaku cabul secara permanen juga kaya di sini. Semoga juga warga tanah air paham betul akan keseriusan kasus ini dan ngga malah jadiin sebagai bahan becandaan.

      Suka

Tinggalkan komentar