comments 4

Cabul

Ketika saya tahu bahwa saya mengandung bakal bayi perempuan, saya menangis. Pertama saya menangis karena saya terharu pada nyawa baru yang hidup dalam tubuh saya, kedua saya menangis karena dia perempuan.

Tangisan kedua saya menetes ketika saya sedang berbincang dengan suami saya. Saya berbagi padanya bahwa saya sangat takut punya anak perempuan, saya berkata bahwa dia tidak tahu apa yang seorang anak perempuan bisa alami. Suami saya menyuruh saya ikut terapi.

*

Duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar (SD) negeri di Balikpapan, saya pernah nyaris mengalami pelecehan seksual. Sebenarnya saya sudah dilecehkan, namun yang saya maksud: yang terjadi kepada saya mungkin bisa lebih parah.

Saat itu saya masuk di jam yang nanggung, kalau tidak salah jam sepuluh pagi. Saya di kelas siang harus menunggu kelas pagi selesai baru kemudian kelas yang sama akan kelas saya pakai. Sebuah hal yang natural bagi saya kala itu untuk datang ke sekolah terlalu cepat. Saya lupa, apakah waktu itu saya diantar oleh supir pribadi atau saya sudah ikut mobil antar jemput, yang saya ingat saya selalu datang terlalu cepat. Saya akan berdiri di pintu kelas sampai kelas pagi selesai. Bila teman-teman saya sudah datang saya akan bermain bersama mereka, namun sering kali saya seorang diri hanya menunggu saja.

Satu hari, saya yang menunggu waktu untuk bergantian masuk kelas dengan murid pagi diajak oleh penjaga sekolah saya untuk ikut dengannya ke ruang kepala sekolah. Kata dia:

 “Yuk ikut ke ruang kepala sekolah, dia manggil kamu,”

kira-kira begitu. Saya pun mengikutinya ke atas, di mana ruang kepala sekolah terletak. Sesampainya di ruangan, ternyata tidak ada siapa-siapa. Saya bingung.

Penjaga sekolah duduk di kursi. Dia kemudian menyuruh saya untuk duduk di pangkuannya. Saya pun duduk di pangkuannya. Dia mulai memeluk dan menciumi pipi dan belakang leher saya. Saya bingung. Namun saya mengingat, om, kakek dan kakak sepupu saya yang laki-laki pun biasa memangku dan menciumi saya.

Beberapa lama saya harus menyerap dan menimbang apa yang terjadi. Saya merasa sangat tidak nyaman. Saya lalu berdiri. Saya segera keluar.

Saya ingat beberapa saat kemudian saya berpapasan dengan penjaga sekolah itu dan dia berkata: 

“Kepala sekolahnya tidak ada,”.

*

Saat mengecap pendidikan di bangku kelas enam di sebuah SD Negeri di Makassar, saya adalah satu dari sekitar tujuh puluh siswa dalam kelas. Ya, itu sangat banyak. Harus diakui wali kelas saya pun kadang tidak bisa menangani kelas itu. Walaupun sebagai guru saya hormat kepada dia, saya tidak akan mengingkari bahwa dia kewalahan dan dia beberapa kali membiarkan kelas kosong tanpa pengawasan.

Saya suka stres dan kesal dengan nakalnya teman-teman saya di Makassar, namun mengingat ada orang yang menyeramkan di sekolah saya yang sebelumnya, saya lega saya sudah pindah sekolah. Masih sangat lekat dalam kenangan saya yang sudah mulai beranjak remaja tentang kejadian yang menimpa saya sewaktu masih bersekolah di Balikpapan. Bahkan sampai sekarang saya masih tidak bisa lupa wajah orang itu.

Namun, kesialan saya tidak sampai di ruang guru SD Negeri Balikpapan. Anak-anak SD di Makassar beringas. Saya sering menangis menelepon ke rumah minta dijemput, minta Mama saya memindahkan saya. Saya berkali-kali mengadu pada wali kelas saya, sampai saya dan seorang anak ternakal pernah dibawa ke ruang kepala sekolah.

Kenakalan murid-murid itu bukan hanya karena mereka berkata-kata nakal, berlaku bandel, dan berisik. Saya juga pernah dilecehkan oleh salah satu teman SD saya. Saat itu saya berdiri di koridor dan seorang anak laki-laki berjalan sambil melebarkan tangannya dan sengaja membelai payudara saya.

Saya kesal bukan main. Saya menangis. Namun karena saya sudah sering kesal, saya sudah sering mengadu, saya sudah sering minta pindah sekolah, saya tidak didengar.

Saya pun melanjutkan bersekolah sampai tamat. Bersama anak yang pernah melecehkan saya.

*

Beranjak dewasa dan menjadi orang tua, tentu saja saya sadar akan batas-batas perilaku: bagaimana sikap yang sesuai dan bagaimana yang menyimpang. Namun waktu saya masih SD? Saya bingung, saya tidak berdaya.

Saya mengingat penjaga sekolah yang melecehkan saya di ruangan kepala sekolah, dia punya isteri yang berjualan di sekolah. Dia juga punya anak perempuan.
Berkali-kali saya membayangkan apa yang terjadi bila saya menceritakan pengalaman saya kepada kedua orang tua saya, kerap kali saya membayangkan menghasut teman-teman untuk berdemo meminta orang itu dihukum, tapi semua itu hanya ada di kepala saya. Saya tidak bisa terbuka tentang hal ini: pertama karena saya malu, kedua karena saya terus membenarkan perlakuannya (dalam pikiran saya berkata “Saya juga biasa dipangku, dipeluk, dicium om/keluarga laki-laki saya,”.).

Bagaimana dengan teman yang cabul? Beranjak ke kelas yang lebih besar (kelas 5-6) saya termasuk anak yang berani di sekolah, saya ketua kelas. Saya selalu mengadu bila teman saya nakal dan tidak sopan kepada saya, namun Anda pasti tahu cap apa yang diberikan kepada anak tukang mengadu: anak yang menyusahkan.

Pengalaman pelecehan yang pernah saya alami tentu saja lebih banyak daripada dua contoh di atas apalagi ketika saya beranjak dewasa. Pernah satu kali saya ikut dengan kakak-kakak saya menonton konser Padi di Lapangan Karebosi. Ketika konser usai kami terbawa arus penonton yang berdesakan keluar. Saya terbawa arus, berdesakan, sesak dan seseorang meremas keras payudara saya yang kala itu berusia 11/12 tahun. Pelipis saya juga tersundut rokok oleh seorang bodoh yang berdesakan sambil memegang rokok. Saya tidak bisa melihat siapa yang melakukan tindakan cabul kepada saya malam itu, yang saya ingat hanya baju yang saya pakai dan sakitnya dada saya.

Kakak-kakak melihat saya menangis ketika mereka menemukan saya, mereka ketakutan dan meminta saya tidak menceritakan kejadian ini kepada orang tua kami. Toh itu juga salah saya yang mau ikut nonton konser.

Setiap saya mengingat kejadian cabul yang dulu saya alami saya sesak. Saya marah, saya ingin mendatangi mereka dan melihat mereka dihukum. Kata benci dalam semua bahasa tidak mampu menggambarkan murka saya.

Bagaimana cara melindungi putri saya dari cabul? Saya masih mencari jawabannya, namun saya percaya langkah awalnya adalah mengingat kembali bagaimana ketika dulu kita masih anak-anak. Saya berharap pengalaman saya di masa kecil, pengalaman yang mungkin tidak bisa saya lupakan sampai akhir hayat, dapat menjadi ilmu untuk saya dalam menjaga putri saya kelak.

***

4 Comments

  1. Rissaid

    Selamat mba utk calon debaynya:)

    terimakasih sudah ‘berani’ berbagi, jadi bisa waspada juga. Semoga tidak ada perempuan2 diluar sana lagi yang dilecehkan.

    Disukai oleh 1 orang

    • Mama Rumahan

      Terima kasih, debaynya sudah hampir dua tahun mba/mas. Hehehe. Suatu saat mungkin anak dan perempuan tidak lagi dilecehkan kalau kita semua sudah lebih beradab.

      Suka

Tinggalkan komentar