comment 0

Dipasung karena wasiat ayah; dipasung karena bakar rumah ayah

Abas
Rambutnya menjuntai panjang melewati bahu, kumisnya tumbuh melewati garis bibir. Ia selonjoran di dalam ruang kayu berukuran 1×2 meter itu dengan peci bertahta di kepalanya. Namanya Abas, 27 tahun. Enam tahun ia tinggal di ruangan itu. Ruang yang dibangun khusus untuknya di belakang rumah orang tuanya di kampung Babakan Hulu Wetan Kecamatan Cugenang, Cianjur.

Sejak kecil Abas lebih suka menyendiri. Berbeda dengan kelima saudaranya yang senang bercengkrama satu sama lain, anak ke-4 ini lebih suka menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri. Kakak Abas, Fatimah (30) dan adiknya Apit (26) sudah terbiasa melihat gelagat berdiam diri Abas. Saudara Abas yang keduanya bekerja sebagai buruh serabutan itu mengaku dulu keanehan Abas belum seperti sekarang, mereka masih bisa ‘nyambung’ dengan omongan Abas.
Pada 2007 Abas mulai intensif menunjukkan keanehan. Dia tidak hanya lebih suka menyendiri, ia juga gemar berlari-lari sendiri di tengah malam. Abas pun kerap mengamuk dan menghancurkan kaca serta perabotan di rumah kayu sederhana berdinding bilik tempat tinggalnya bersama ayah, ibu, serta Apit.

Keluarga merasa tidak enak, merasa malu karena Abas sering kali lari keliling kampung dengan membawa botol. Walaupun tetangga maklum dengan kebiasaan Abas itu, tapi keluarga tetap takut Abas mencelakakan orang lain.

Apit dan Fatimah berkisah, (alm.) kakek mereka juga memiliki kebiasaan serupa Abas: suka berdiam diri, tengah malam suka berlari-lari sambil memetik buah pisang di dalam hutan dan kadang mengamuk tanpa peringatan. Tante mereka, yang kini sudah meninggal, juga ada yang memiliki gelagat serupa. Sama dengan Abas, sang kakek dan tante juga dipasung di dalam rumahnya.

Sebelum dipasung, keluarga mengusahakan kesembuhan Abas dengan membawanya ke Ahli Hikmah. Abas dibawa ke sebuah daerah bernama Jampang untuk menjalani pengobatan. Dari rumah Abas ke Jampang membutuhkan waktu tempuh 4 jam perjalanan. Di sana Abas dirawat inap, diberi air jampe serta telinganya dibacai adzan lewat suling bambu. Menurut Ahli Hikmah, Abas memiliki banyak darah hitam.

“Katanya darahnya hitam, sudah karatan. Waktu disuling telinganya katanya di sini (bagian belakang telinga) sudah tebal darah hitamnya. Waktu itu dia berontak, semua orang yang megangin dia jatoh,” tutur Fatimah.

Darah hitam yang terdapat dalam tubuh Abas konon adalah karena nafsu yang dia miliki. Menurut Sang Ahli Hikmah, darah hitam itu juga merupakan turunan dari sang kakek. Pengobatan terus dilakukan tanpa perubahan yang berarti. Ustad yang sudah kelelahan karena Abas juga sering melarikan diri mengatakan kepada keluarga agar Abas dikembalikan saja ke kampungnya. Ustad itu berkata ‘Terserah mau dipasung juga,’ tiru Fatimah.

Ketika dipasung di dalam rumah, Abas tetap berontak, akhirnya ia pun dibangunkan kamar di luar rumah agar kondisi di rumah lebih aman. Setiap hari dia menghabiskan waktu di sana, buang air, menghayal, ngobrol dengan diri sendiri, juga merokok sambil menunggu ibunya mengantar makanan.

Satu-satunya pengobatan medis yang pernah dikecap oleh Abas adalah ketika Komunitas Sehat Jiwa (KSJ) datang dan mengantarkan obat anti psikotik pada Abas. Menolak untuk menalan obat bulat-bulat, ibu Abas menyembunyikan obat itu di dalam mie instan dan teh. Ketika itu Abas bisa jadi lebih tenang, lebih gampang tidur sehingga ia diperbolehkan untuk masuk kembali ke rumah. Namun kondisi Abas yang sudah cukup kondusif tidak berlangsung lama, saat obat sudah habis Abas kembali mengamuk dan akhirnya masuk lagi ke dalam ‘kamar’nya.

Pengobatan tidak pernah dilanjutkan walaupun keluarga tercatat sudah memiliki kartu Jamkesda. Ketika ditanya, di manakah letak kartu Jamkesda Abas? Fatimah dan Apit terdiam dan tidak tahu persis keberadaan kartu yang dapat membuat Abas berobat gratis seumur hidup itu. Apit pun berkisah, dirinya dan keluarga juga enggan dan was-was memberikan obat kepada Abas karena memberikan efek merah-merah pada tubuh, serta menjadikan Abas sangat sering buang air besar.

Abas belum pernah diantar ke dokter, pengobatan medis hanya datang waktu itu ketika KSJ rutin mengantarkan obat. Keluarga pun tidak tahu pasti apa nama penyakit Abas menurut dunia medis, yang mereka tahu Abas memiliki darah hitam turunan dari kakeknya.

Keluarga tidak berencana untuk melanjutkan pengobatan di bidang medis. Keengganan ibu Abas, Fatimah, dan Apit untuk mengantarkan Abas ke rumah sakit bukan hanya karena mereka ragu akan keefektivitasan obat, melainkan juga karena wasiat ayahanda tercinta.

Ayah mereka yang meninggal pada 2008 berpesan agar Abas tidak dibawa ke mana-mana. Ayahnya takut apabila Abas menjalani pengobatan lalu meninggal, anaknya itu tidak berada di rumah. Apit dan Fatimah tidak kuasa melawan wasiat dari sang ayah. Mereka ketakutan apabila akhirnya memutuskan untuk mengantar Abas ke rumah sakit. Takut paman-pamannya marah karena mereka telah menodai harga diri ayahnya dengan tidak mematuhi wasiat.

Apit dan Fatimah masih ingin Abas sembuh dan beraktivitas kembali namun untuk dapat mencapai kesembuhan Abas, mereka penuh kebimbangan. Mereka hanya berharap pengobatan dapat mengetuk pintu rumah mereka sehingga Abas dapat berobat tanpa perlu dibawa ke mana-mana, dan mereka tidak dicap sebagai anak durhaka.

Asep Abdul Kadir Jaelani
Santri sebuah pesantren di Cirebon berusia 20 tahun itu berpamitan kepada ayahnya untuk kembali ke pesantren. Oleh sang ayah, ia diberikan uang untuk bekal di perjalanan. Namun, si santri yang bernama Asep Abdul Kadir Jaelani ternyata tidak menggunakan uang itu untuk dirinya sendiri. Dengan menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan –padahal kakinya masih kuat tanpa bantuan tongkat- ia terlihat membagi-bagikan uang itu kepada anak kecil yang bermain di sekitar rumahnya.

Kebiasaannya itu terjadi 6 tahun lalu. Kini Asep (26) tidak bisa lagi berjalan dari rumahnya sampai ke pesantren. Tingkahnya ‘aneh’. Sekarang dia kerap memainkan fesesnya, dia buang ke genteng bahkan ditempelkan ke dinding. Puncak ke’aneh’an Asep adalah ketika ia memutuskan untuk membakar rumah Ayahnya.

Demikian penuturan Ujang Damiti, 60 tahun, paman Asep yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani. Ia tinggal di Kampung Pakalongan Kecamatan Warungkondang, di sana Asep ditempatkan pada ruang antara rumah paman dan madrasah milik ayahnya. Area itu memanjang sekitar 4×2 meter, lantainya semen, dibatasi oleh dua tembok: tembok satu adalah tembok belakang rumah pamannya, tembok yang lain adalah tembok madrasah.. Di sana dia beraktivitas makan, tidur dan buang hajat sambil dirantai. Tadinya ada kasur springbed bekas ayahnya yang ditaruh di sana untuk Asep tidur. Tetapi, Asep mengaku melakukan ‘malam pertama’ dengan bidadari di sana sampai kasur itu rusak.

Sudah satu tahun ayah Asep, Kyai Haji Ade meninggal dunia. Menurut Ujang, sejak Asep membakar habis rumahnya, Haji Ade terus memikirkan hal itu. Kondisinya semakin buruk karena bersama rumahnya juga habis daftar piutang. Haji Ade yang menurut Ujang adalah Ustad kondang dengan tamu yang banyak kerap kali memberikan pinjaman uang kepada tamu yang meminta bantuan kepadanya.

Ujang menuturkan, Asep sakit karena ingin mempelajari sesuatu tetapi tidak bisa menguasainya. Dulunya Asep belajar mengaji, setelah fasih mengaji ia ingin naik tingkat dan belajar memijat serta jampe-jampe. Tetapi karena ‘ilmu’ yang ia miliki ternyata belum sampai untuk itu, dirinya menjadi stres dan akhirnya ngawur seperti sekarang.

“Itu salah gurunya juga. Seharusnya seumuran dia belum dikasih. Masih terlalu muda,” tutur Ujang.

Sejak kecil Asep sudah terbiasa tinggal bersama Ujang, rumah ayahnya berada pas di belakang rumah Ujang. Ketika berusia 7 tahun orang tua Asep bercerai, ia pun tinggal bersama ayahnya. Setelah lulus SD ia melanjutkan pendidikan ke pesantren di Cirebon selama tujuh tahun. Lulus dari Cirebon ia melanjutkan sendiri perjalanan keilmuannya di beberapa pesantren, menurut Ujang, Asep bahkan sampai berguru ke Banten.

Sejak itu lah Asep berkelakuan aneh. Menganggap dirinya seperti ‘ustad besar’ atau ‘nabi’ dengan berjalan menggunakan tongkat dan membagikan uang bekalnya. Ujang juga heran kepada Haji Ade yang membiarkan saja Asep melanglang buana padahal tingkahnya sudah terlihat aneh. pergi tidak menentu (rata-rata 3 bulan di pesantren dan 1 minggu di rumah ) pun tidak dicari oleh keluarga.

Satu kali, tiba-tiba keluarga mendapatkan surat dari yayasan di Yogyakarta. Asep ditemukan di Yogyakarta dan dirawat di sebuah panti asuhan. Keluarga berniat menjemput Asep di Yogyakarta sambil piknik, tetapi sebelum dijemput ternyata Asep sudah terlebih dahulu diantar pulang oleh pihak yayasan.

Dari yayasan itu ada surat pengantar dokter untuk pemberian obat. Ujang mengantar surat itu ke Puskesmas dan mendapat dua macam obat untuk Asep. Setelah obat itu habis, keluarga tidak melanjutkan pengobatan di jalur medis. Tingkah Asep yang aneh berlanjut lagi. Ia kerap bertengkar dengan sang ayah.
Puncaknya adalah ketika dia membakar rumah ayahnya, 4 Februari 2012. Setelah Asep membakar rumah, baru ayahnya memutuskan untuk „mengobati‟ Asep. Asep dibawa ke pengobatan ahli Hikmah di daerah Budi Kasih.

“Namanya Aang Muhi, ada tetangga yang pernah membawa orang sakit ke sana. Sakitnya seperti Asep. Orang gila kayak Asep,”.

Pengobatannya ‘seperti biasa’ diberikan air yang sudah dijampe. Asep seharusnya tinggal di Budi Kasih selama 40 hari menurut program yang dicanangkan oleh Aang Muhi, namun karena biaya pengobatan dan ‘rawat inap’ di sana yang cukup mahal bagi keluarga, yakni Rp 50.000 per hari, keluarga hanya mampu merawat Asep di sana selama 20 hari. Selain itu, ketika dikunjungi di sana Asep juga terlihat lebih kurus. Keluarga yang khawatir Asep tidak dikasih makan akhirnya memboyong Asep kembali pulang. Ketika itu lah, ayah dan pamannya membangunkannya tempat yang sampai saat ini masih digunakan oleh Asep.

“Itu tempatnya sama seperti yang di Budi Kasih. Cuma di sana kan bilik, anginnya keras jadi dingin. Kalau di sini kan tembok. Sama kok, ada jambannya, dirantai juga seperti di sana,” kisah Ujang.

Sejak 2012 Asep sudah mendapatkan kartu Jamkesda. Setelah meminum obat ia menunjukkan perubahan yang baik. Suatu hari ia meminta kunci rantainya kepada Ujang, ia membuka kunci karena ingin mandi lalu kembali merantai dirinya sendiri.

Saat kondisinya membaik ia memutuskan untuk pulang ke rumah ibunya. Ujang yang waktu itu mengantar Asep sampai ke dekat rumah ibunya menyimpulkan Asep sudah sehat. Tak berapa lama kemudian, Asep kerap mengunjungi Ujang. Mula-mula seminggu sekali, menjadi seminggu dua kali, lama-lama dia tinggal di rumah Ujang.

Ujang tidak mempermasalahkan Asep tinggal di rumahnya karena menilai Asep sudah sembuh. Obat yang kemarin diberikan oleh pihak RSUD diperantarai oleh KSJ sudah habis dan tidak diteruskan.

Ternyata Asep kembali menunjukkan tabiat aneh. Saudara Ujang dari berbagai desa sekitar rumahnya melaporkan protes para tetangga karena Asep kerap tinggal di masjid, membaca quran, merusaknya lalu dibuang ke sumur. Asep juga kembali kerap mempermainkan fesesnya di dinding rumah warga.

Ujang merasa malu, ternyata Asep yang dia pikir sudah sembuh masih sakit. Ia pun memutuskan untuk kembali merantai Asep di kamar lamanya. Ketika ditanya apakah ada rencana keluarga untuk mengantarkan Asep berobat ke RSUD, Ujang menjawab belum ada rencana. Jamkesda yang sudah diberikan untuk Asep pun entah ada di mana. Menurut Ujang, mungkin kartu Jamkesda itu ada di Ibunya Asep.

Ujang pun merasa sudah melakukan hal yang sudah ia bisa untuk ‘merawat’ Asep, padahal Asep masih memiliki Ibu dan kakek dari Ibunya.

“Waktu itu kakeknya datang kemari, kata saya bilang ke ibunya, Asep dirantai lagi. Mau ditengok. Tapi sampai sekarang ibunya tidak pernah tengok. Ini kan Asep dulu waktu sembuh ada yang tanggung jawab. Dia kan sekarang semakin kuat, saya semakin lemah,” jelas Ujang.
Ujang mengakui kondisi Asep membaik karena meminum obat, namun dirinya tidak merasa menjadi pihak yang mesti mengantar Asep ke RSUD karena tanggung jawab itu ia rasa sudah dilimpahkan kepada ibu dan kakek Asep yang kala itu tinggal bersama Asep.

Ujang merasa sudah mengkorbankan nafsu makannya setiap hari demi membersihkan feses Asep. Ujang yang senantiasa membersihkan ‘kamar’ Asep dengan menggunakan helm sebelum pelajaran di madrasah dimulai merasa dirinya terlalu lemah untuk mengantarkan Asep ke RSUD. Apabila ada pihak yang bersedia mengantarkan Asep ke rumah sakit, Ujang dengan senang hati mengizinkan.

Ujang juga tidak tahu apa persisnya nama penyakit Asep menurut ilmu kedokteran. Berhubung dia tidak pernah mengantar Asep ke psikiater, obat waktu itu datang ke rumah diantarkan oleh relawan KSJ. Dia sendiri menyebut penyakit Asep sebagai gila atau hilang ingatan, itu pun dia masih ragu.

“Ini mah bukan hilang ingatan, tapi seperti kesurupan, tidak hilang ingatan sih, soalnya dia bisa mengaji, bisa dakwah pakai bahasa Jawa, hapal cerita para nabi. Nama teman masa kecilnya juga dia masih ingat. Ini seperti kesurupan, seperti ada yang nempel,” jelasnya.

Ujang juga mengaku dia masih optimistis Asep dapat sembuh. Ia mengisahkan, seorang paranormal pernah berkata padanya penyakit Asep akan sembuh lima tahun lagi, atau ketika Asep berusia 30 tahun.

“Pernah ada yang bilang seperti itu, jadi tunggu umur. Soalnya dia pernah dijajah ilmu tapi tidak kesampaian. Untuk sementara saya kasih antimo setelah makan supaya dia tidur dan tidak berisik tengah malam,”.

*Ilustrasi foto dari koleksi lukisan Galeri Nasional London. Tiada hubungan dengan tulisan, sekadar memperindah.

Tinggalkan komentar