comment 0

Miss Lina 

Hari ini kami sekeluarga piknik di Millennium Park Chicago. Dua hari sebelumnya suami saya mengajak saya untuk ke sana setelah dia ditanyai oleh seorang teman akan rencananya di akhir pekan. Suami saya mengecek jadwal pertunjukan di Millennium Park dan mendapati dari tanggal 23-27 Agustus digelar Dance Festival : Dancing under The Stars. Salah satu pertunjukan utamanya adalah ballet.

Tentu saja saya antusias saat suami saya mengajak saya menonton ballet. Saya punya hubungan lama dengan ballet. Menjadi ballerina mungkin adalah mimpi sejati saya sejak saya masih duduk di bangku sekolah dasar, berkat membaca komik Swan dan berkat Miss Lina.

***

Kisah saya dengan ballet dimulai dari pamflet bergambar seorang penari ballet yang disisipkan di bawah pintu rumah kami di Balikpapan. Saya yang ikut menggemari manga milik kakak perempuan saya sejak belum bisa membaca (Mari-Chan, Swan) sangat senang melihat pamflet itu lalu merengek kepada mama untuk segera mendaftarkan saya. Saya yang waktu kecil sangat menyebalkan tentunya berhasil mendesak mama saya untuk menelepon nomor yang ada di pamflet.

Pertemuan pertama dengan Miss Lina kala itu di sebuah sasana olah raga di hotel yang namanya Bahana Surya, translasi dari Blue Sky -waktu itu Indonesia sedang zaman “anti asing” sehingga semua nama berbahasa asing diubah menjadi bahasa Indonesia. Kami berlatih di sasana olah raga ini sampai studio miliknya di komplek perumahan yang sama dengan rumah saya selesai.

Saya lupa, apakah saya duduk di kelas satu atau di kelas dua sekolah dasar, yang saya ingat adalah dua orang ballerina yang sudah lebih dulu ada di sana: yang satu sedang kayang dan yang lainnya sedang jungkir balik lalu mendarat dengan kayang. Saya takut dan rendah diri melihat dua orang yang jago sekali. 

Pelajaran pertama yang saya dapatkan adalah first position, yang waktu itu saya kira “posposision”, hahaha. Pelajaran dasar lainnya yang membuat betis saya seperti tercerai berai: cium lutut dan split. Satu bulan kemudian rasa sakit sudah berkurang dan saya mulai dilatih kayang (sambil berpegang pada tiang atau punggung dipegang Miss Lina).

***

Saya kira tari ballet hanya gerakan lemah gemulai yang begitu indah seperti di manga, ternyata ballet membutuhkan kekuatan, disiplin dan ketahanan yang tidak diperoleh dengan mudah apalagi oleh anak kecil manja serta cengeng seperti saya.

Saya yang tidak percaya diri dan pendiam gegar budaya ketika ditempa oleh disiplin ballerina sejati, Miss Lina. Beberapa kali saya pun mengeluh kepada mama.

“Nanti kalau kau sudah besar kau pasti sadar kalau yang dilakukan Miss Lina untuk kebaikanmu. Nanti kau sadar kalau guru seperti Miss Lina itu tidak ada duanya,” ujar mama setiap saya mengeluh tentang Miss Lina yang begitu disiplin (kemudian saya akan menghembuskan napas penuh kesangsian).

Saat Miss Lina mengajar tidak ada senyum di wajahnya. Setiap dia melihat wajah saya tampak kesakitan, dia hanya berujar “Tahan!”. 

Satu kali kami akan melakukan pagelaran dalam acara pernikahan. Tariannya bernuansa Timur Tengah, (hei saya masih mengingat musik intronya sampai sekarang) saya menjadi ratu, menari paling depan dengan baju yang paling heboh : atasan “crop top” dan celana seperti punya Aladin berwarna kuning emas dengan kerudung yang bersambung dengan anting hidung palsu. Saat masuk ke dalam tarian, saya harus berputar mengitari arena. Pertama kali saya melakukannya sambil tersenyum, karena kalau saya ratu pasti saya akan senang (pikir saya), namun saya ditegur. 

“Ballerina itu anggun, sombong, tidak tebar senyum dan cengengesan seperti itu!” ujar Miss Lina.

Satu momen langka ketika saya melihat dia “keceplosan” tertawa adalah saat saya dan teman-teman latihan. Salah satu teman saya, anak kecil montok berlari-lari kecil (skip-skip-ponny-gellop), dia tidak tahan melihat pemandangan imut begitu lalu tertawa sambil mencubit gemas pantat anak montok itu. Hihihi, kalau diingat lagi saya yang sekarang juga mungkin akan gemas melihat anak lucu montok usia lima tahun berlari kecil. Namun selain itu, saya tidak bisa mengingat kapan Miss Lina pernah kehilangan kharisma anggun dan dinginnya. 

***

Menonton pertunjukan ballet untuk pertama kalinya di Amerika Serikat mengundang kembali memori masa lalu dan betapa hubungan saya dengan ballet terputus di luar dari kuasa saya.

Waktu itu sekitar 2000, Miss Lina mulai memasang tanda “dikontrakkan” di jendela studionya di dalam komplek rumah kami. Dia akan berangkat kembali ke Prancis, melanjutkan pendidikannya sebagai penari ballet. Di tahun yang sama bapak saya memutuskan untuk pensiun dini dan pulang ke Makassar, menggiring mama, kakak, adik dan saya. 

Saya benar-benar lupa kapan perjumpaan terakhir saya dengan Miss Lina. Hanya sekelibat memori tidak runut yang bisa saya ingat. 

Tentang dia yang menjemput dan mengantar saya dari dan ke studio, bahkan ketika studio kosong dan saya harus latihan sendiri karena saya bolos latihan di hari sebelumnya. 

Tentang saya yang sedikit menangis sewaktu dia tegur karena saya lupa membawa ikat rambut.

Tentang dia yang terus menggelengkan kepala ketika melihat usaha saya untuk melakukan grand jete yang tidak pernah sempurna. 

Tentang angpao pertama saya dari hasil pertunjukkan di pesta pernikahan.

Tentang saya yang menjadi muridnya selama hidup saya di Balikpapan. 

Tentang dia yang memajang foto saya di studionya dan memanggil saya “Primadona”.

Tentang teleponnya dari Prancis dan kartu pos yang tidak pernah saya balas.

Serta tentang ucapan terima kasih yang tidak pernah saya utarakan.

Enam belas tahun dan lima belas ribu kilometer berlalu dari saya yang masih seorang ballerina. Saya duduk di atas sarung batik, menyusui bayi dalam dekapan sambil menyaksikan para penari bergerak menghempaskan bayang-bayang. Mata saya terpaku pada Concerto Barroco oleh Pennsylvania Ballet sambil menahan derai dan menelan getir. 

Tinggalkan komentar