comment 0

Menjadi “Orang Tua Tunggal”

Bayi saya beranjak memasuki usia empat bulan ketika saya membawanya terbang dari Chicago menuju Jakarta.
Sekarang di dalam benak saya sering terbersit pikiran bahwa keegoisan saya telah menjauhkan anak saya dari bapaknya.

*
Di bulan-bulan awal menjadi seorang ibu saya selalu merasa lelah dan seperti tidak terbantukan. Bisa jadi karena plasenta yang tertinggal selama satu bulan di dalam rahim sehingga saya tidak langsung segar setelah melahirkan, tapi secara keseluruhan saya rasa tidak berlebihan bila saya berkata menjadi orang tua baru itu sangat menguras tenaga. Bayangkan, selama tiga bulan tiga puluh kilogram dari berat badan saya langsung lenyap begitu saja. 

Tinggal bertiga bersama suami dan bayi baru lahir di Evanston, IL, Amerika Serikat, saya selalu terbayang betapa mudahnya pasti bila saya hidup dekat dengan orang tua. Pasti mama dan ibu mertua saya dengan senang hati membantu. Saya tidak usah membersihkan rumah, tidak usah belanja, tidak usah memasak. Mereka juga bisa membantu merawat bayi saya: menidurkannya, memandikannya. Ah… Saya pasti bisa melewati lebih banyak waktu untuk bersantai, pijat, mandi yang lama, memanjakan diri. Hmmm… Tidak sabar rasanya untuk pulang ke tanah air dan berlibur. Cuti dari “pekerjaan” sebagai ibu rumah tangga. 

Dengan semangat untuk cuti serta beberapa hal lain yang saya rencanakan, kami pun mantap: saya akan pulang ke tanah air.

Setelah melewati pengalaman mengasyikkan dalam perjalanan dua puluh empat jam bersama bayi tiga bulan, saya mendarat di Cengkareng. Saya dijemput oleh kakak, kakak ipar dan adik saya. Kami punya rumah di Tangerang Selatan. Malam itu untuk pertama kalinya saya melewati malam berdua dengan bagi saya. Biasanya saya selalu tidur dengan suami.

*

Di Amerika, awalnya bayi saya tidur dalam keranjang di kamarnya sendiri -sesuai saran dari dokter anak bahwa “…bayi harus punya area mereka sendiri, tidak boleh pakai bantal, kasurnya harus lebih keras, dan tidak disarankan untuk co-sleeping,”.

Satu bulan sebelum saya pulang ke Indonesia kami menggeser keranjang bayi agar berdempetan dengan kasur kami.

Hal ini kami lakukan karena bayi yang bangun ingin menyusu di malam hari selalu terlelap di dada saya, saya juga terlelap, suami pun terlelap. Saya akan terbangun karena mimpi-mimpi aneh (tidur sambil dinenenin membuat mimpi saya aneh!) lalu mencolek suami untuk membedong bayi kami kemudian menidurkannya kembali di keranjang dalam kamarnya. 

Setelah kami menggeser keranjang bayi ke sisi kasur kami, bila bayi terbangun tengah malam cukup saya bangun, meletakkannya di dada saya, kemudian bayi akan tidur dan saya kembali meletakkannya ke dalam keranjang. Semua sambil suami tidur di belakang saya. 

Di malam pertama tidur berduaan bersama bayi, saya sedikit ketakutan. Saya sangat rindu suami saya. Sunyi sekali rasanya tidur berdua dengan bayi. Tempat tidur rasanya luas, namun saya masih was-was bayi akan berguling dan terjatuh. 

Keesokan harinya saya memesan jasa pijat dalam jaringan. Menyenangkan sekali! Saya hanya satu kali merasakan dipijat di Amerika Serikat, waktu itu saya baru selesai dikuret dan suami saya membujuk saya untuk mau dipijat (mahal bok!). Bahagia sekali rasanya dipijit enak dengan hanya Rp 150.000 di rumah sendiri, bandingkan dengan bayar $70 untuk dipencet-pencet yang tidak seenak pijitan orang Indonesia. 

Namun, bayi saya yang masih jetlag juga baru berkenalan dengan keluarga besarnya belum mau menghabiskan banyak waktu dengan orang selain saya. Alhasil saya dipijat sambil bayi saya tetap menyusui. Saya membayangkan seandainya ada suami saya dia pasti bisa mendiamkan bayi kami selama saya dipijat. 

*

Pengalaman dipijat sambil menyusui agar bayi berhenti menangis hanya sepenggal kisah yang membuka mata saya bahwa: sebesar-besarnya bantuan yang dapat diberikan oleh keluarga besar, kekuatan bantuan itu tidak akan sebesar energi kasih sayang dari suami ke isterinya dan dari ayah ke anaknya. 

Ya, saya dibantu sepenuh hati oleh mama, ibu mertua, bapak, ayah mertua, kakak, adik, dan ipar saya, namun bila mau dibandingkan dengan yang diberikan oleh suami saya, saya merasa bantuan dari semua keluarga besar itu kekuatannya masih lebih kecil. Hal ini saya rasakan terutama di saat-saat tidur malam dan saat saya atau bayi saya sedang tidak enak badan. 

Suami saya kuat dan masih muda, energinya berbeda dengan mama dan mertua saya yang sudah berusia lanjut. Kakak, adik dan ipar saya mungkin punya niat murni untuk membantu saya mengurus bayi saya, tapi bila dibandingkan dengan suami saya mungkin bantuan mereka hanya senilai 10% dari yang diberikan oleh suami saya. Harus selalu meminta bantuan dari keluarga besar -bahkan untuk sekedar menggendong- juga membuat saya merasa tidak enak.

Belum lagi melihat bayi saya yang semakin pintar yang tertawa setiap hari, menghilangkan lara namun juga menimbulkan sesal: mengapa suami saya tidak di samping saya untuk melihat betapa memesonanya anak kami.

*

Enam bulan sudah saya terpisah dari suami saya. Saya sadar posisi ini adalah posisi yang sangat tidak menguntungkan untuk semua pihak: saya, suami, dan bayi kami.

Saya sering merasa letih karena ternyata walaupun banyak bantuan dari keluarga besar, kerja sama membesarkan anak dengan suami tidak bisa tergantikan. Menjadi pemain tunggal dalam menjalankan peran sebagai orang tua sangat berat walaupun saya masih dibantu oleh keluarga besar saya. 

Di apartemen kami di Amerika Serikat, suami saya merasa kesepian karena dia jauh dari bayi dan isterinya: dua jiwa yang selalu mengisi harinya dan melipur laranya. Dia sering merasa kosong serta gamang karena tidak terbiasa hidup sepi tanpa kami. Dia mengaku bingung di rumah mau bikin apa tanpa kami? Suami saya juga tidak bisa menyaksikan langsung perkembangan bayi kami, betapa banyak hal yang dia lalukan untuk pertama kali dalam hidupnya. Betapa banyak momen yang tidak akan terulang kembali dalam hidup bayi kami yang telah suami saya lewatkan.

Salah satu yang paling menyedihkan juga adalah ketika bayi saya yang sekarang sudah senang berlama-lama main dan berinteraksi dengan orang lain, sering meminta gendong kepada mama, kakak, bapak saya. Kakak perempuan saya sering menyebut bayi saya “jarang dibelai” bila bayi saya meminta gendong kepada bapak saya atau kepada suaminya.

Sebutan “jarang dibelai” alias “jablai” sungguh melukai perasaan saya dan tentu saja perasaan suami saya. Kami tentu ingin bayi kami selalu mendapatkan kasih sayang yang sepenuhnya dari orang tuanya, kami tidak ingin bayi kami disebut “jablai”.

*

Dari pengalaman saya dan suami saya selama enam bulan ini, kami kemudian merumuskan kesepakatan bahwa kami tidak mau lagi hidup terpisah begitu lama. Terlalu banyak hal yang disayangkan dari hidup berjauh-jauhan. 

Pengalaman ini juga menyadarkan betapa saya salut kepada setiap orang tua tunggal di dunia yang berhasil membesarkan anaknya di atas ngilunya tulang pundak, pinggang, punggung, leher dan lengan. Bila saya memiliki hak untuk menuliskan sendiri nasib saya di masa depan, saya akan membuat saya selalu hidup bersama suami dan anak saya, lengkap dan bersentuhan setiap hari.

***

Tinggalkan komentar