comment 0

Pelajaran Pengelolaan Sampah dari Supermarket Amerika Serikat

“KODE HIJAU! KODE HIJAU!”

Begitu perintah dari pengeras suara yang ada di tempat kerja saya: sebuah supermarket di Evanston, Illinois, Amerika Serikat.

Beberapa pelanggan tampak kebingungan, beberapa bahkan tampak panik.

“Apa itu kode hijau?” tanya satu dari mereka dengan tampang tengang.

“Oh, jangan khawatir. Kode hijau itu cuma tanda untuk kita mengeluarkan sampah,” kataku meyakinkan.

Pelanggan itu pun menghela napas. Kepada saya, dia berkata bahwa dia pikir dia harus tiarap karena adanya kode itu.

Saya tidak menyalahkan pelanggan tadi. Saya pun pasti akan gugup mendengar kata “kode” dikumandangkan di supermarket AS. Belum lagi saat itu penggunaan “Kode Hijau” di supermarket tempat saya bekerja masih baru.

Hari Peduli Sampah Nasional beberapa waktu lalu membawa saya kembali ke masa itu. Saya pernah melihat sendiri bagaimana reaksi sebuah perusahaan terhadap kritik masyarakat atas upaya pengelolaan sampah perusahaan.

Bagaimana kita dapat belajar dari pengalaman ini? Berikut asam-garam yang saya petik tentang pengelolaan sampah saat bekerja di sebuah supermarket AS.

Temuan Tumpukan Sampah Makanan Kemasan

Pertengahan 2019, saya baru saja membaca artikel di Buzzfeed News tentang gergasi retail daring internasional, Amazon.

Artikelnya bukan berita baik. Seorang warga Seattle, AS, yang tinggal di dekat daerah pembuangan material konstruksi menemukan tumpukan makanan kemasan berstiker “Amazon Go” di fasilitas pembuangan tersebut.

Sontak media AS menggoreng isu ini. Bagaimana tidak? Perusahaan yang dimiliki oleh orang terkaya di dunia, Jeff Bezos, dengan semena-mena membuang makanan dalam kemasannya begitu saja, di tempat yang tidak semestinya.

Kepada Buzzfeed News, Eric Goldsten, pengacara dari Natural Resources Defense Council, Dewan Pertahanan Sumber Daya Alam, AS, mengemukakan pendapatnya.

Goldsten mereken, sebagai perusahaan yang sangat berpengaruh terhadap ekonomi negara Abang Sam, Amazon memiliki tanggung jawab yang juga besar untuk menanggapi pertanyaan mengenai permasalahan keberlanjutan.

“Mereka harus menjadi pemimpin dalam isu ini,” tegas Goldsten.

Waste4Change
Nathan Gregg via Buzzfeed News.

KODE HIJAU! KODE HIJAU!

Beberapa waktu setelah temuan sampah makanan Amazon, supermarket tempat saya bekerja memiliki ketentuan baru.

Oh iya, supermarket tempat saya bekerja bernama Whole Foods. Jeff Bezos membeli Whole Foods, menjadikannya sebagai bagian dari Amazon, pada 2017. Saya sendiri bekerja di sana mulai 2018.

Satu tahun setelah saya bekerja, tepatnya pada 2019 setelah kritik tentang sampah makanan tadi, ketentuan baru “Kode Hijau” mulai diberlakukan.  

Saya pun sedikit bingung tatkala mendengar kode itu dikumandangkan pertama kali. Ternyata, kode itu adalah pertanda bagi pegawai untuk mengeluarkan sampah.

Perusahaan menetapkan jam-jam tertentu untuk pegawai mengeluarkan sampah. Pegawai yang bertugas memimpin shift bertugas mengunci dan membuka pintu menuju tempat pembuangan sampah.

Eits, tugas pemimpin shift tidak berhenti di situ. Mereka juga mesti memeriksa isi dari setiap plastik sampah yang dibawa oleh pegawai.

Pemimpin shift memastikan tidak ada sampah kemasan yang bisa didaur ulang yang masuk ke dalam plastik sampah menuju landfill, Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Cara memastikannya? Mereka memasukkan tangan mereka ke dalam kantong plastik, mengorek-ngorek isi tempat sampah sampai mereka yakin tidak ada sisa kemasan daur ulang di dalamnya.

“Yup, mereka melakukan semua hal yang menyenangkan itu,” guyon manajer departemen saya.

Saya merasakan sendiri perubahan perilaku para pegawai setelah adanya penerapan Kode Hijau. Ini adalah saya ketika berpose di hari terakhir bekerja di supermarket AS (kanan bawah).

Reaksi Masyarakat terhadap Kode Hijau

Saya menyaksikan sendiri, bagaimana setelah penerapan Kode Hijau para pegawai lebih rajin mencuci kemasan sisa pakai dari produk makanan. Walaupun warga AS sudah terbiasa dengan konsep daur ulang, tapi tetap saja ketika begitu banyak kontainer yang harus dicuci kadang rasa malas pegawai mengalahkan rasa cinta lingkungan. Namun, tidak demikian saat Kode Hijau mulai.

Melampaui para pegawai, setelah temuan tumpukan sampah tersebut, saya menjadi saksi ketika perusahaan membuat regulasi yang baik –seperti Kode Hijau– para pelanggan setuju dengan langkah tersebut.

Komentar buruk tentang temuan sampah di Seattle mulai menghilang dari perbincangan, kepercayaan pelanggan kembali tumbuh.

Regulasi perusahaan yang semacam ini bukan hanya baik sebagai citra di mata pelanggan, tetapi juga teladan untuk pegawai.

Ketika saya bekerja di sana, Whole Foods memiliki 80.000 pegawai. Bayangkan jika setengah dari pegawai belum paham cara mendaur ulang, setelah Kode Hijau dicanangkan, niscaya mereka menjadi semakin lincah. Kebiasaan ini lalu pegawai bawa dan terapkan di rumah masing-masing.

Maka dari itu, saya percaya perubahan dan kebiasaan yang datang dari atas, seperti regulasi dari perusahaan, sangat berpengaruh untuk membangun perubahan perilaku masyarakat.

Saya pun terpukau dengan singkatnya waktu yang supermarket tempat saya bekerja untuk bereaksi terhadap kritik yang mereka terima.

Saya lalu bertanya-tanya, bagaimana kondisi pengelolaan sampah bagi para perusahaan di Tanah Air?

Potret Tanggung Jawab Pengelolaan Sampah Perusahaan di Bumi Pertiwi

Di awal Maret, saya membaca berita tentang regulasi peta jalan pengelolaan sampah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Permen LHK No. 75 Tahun 2019.

Dari pemahaman saya yang awam, regulasi tersebut mengharuskan perusahaan menyetor peta jalan pengelolaan dan upaya pengurangan sampah mereka. Pengurangan sampah ini terutama yang berbahan plastik sekali pakai. Perusahaan wajib mengurangi sampah plastik sekali pakai sebesar 30% dari jumlah kemasan produk yang dihasilkan dan dipasarkan pada 1 Januari 2030.

Sayangnya, dari sekian banyak perusahaan yang beroperasi di Bumi Pertiwi hanya lima belas perusahaan yang mematuhi tenggat penyetoran.

Sebagai orang yang baru saja pulang ke Tanah Air setelah beberapa tahun tinggal di AS, saya tentu saja terkejut.

Saya pun mengingat tentang pengalaman saya ketika bekerja di supermarket AS. Masyarakat AS sangat reponsif terhadap permasalahan lingkungan hidup.

Saat itu, sebagai WNI yang tinggal di AS, saya terpukau pada komitmen Whole Foods untuk berbuat lebih baik terhadap lingkungan. Saya yakin begitu pula dengan para pelanggan.

Sama halnya dengan konsumen AS, pelanggan di Indonesia pun pasti lebih tentram ketika mengetahui produsen tempat mereka menghabiskan uang menerapkan metode pengelolaan sampah yang lebih baik.

Waste4Change Tawarkan Langkah Mudah bagi Produsen

Di atas kekecewaan saya terhadap para perusahaan yang ngeyel memenuhi tenggat pengumpulan peta jalan pengurangaan sampah, ada sebuah titik terang.

Perusahaan sosial Bumi Pertiwi yang bergerak di bidang manajemen sampah, Waste4Change: Waste Management Indonesia (W4C), nyatanya menawarkan solusi agar perusahaan menjadi lebih hijau.

Caranya dapat kita lihat dari tab Extended Producer Responsibility Indonesia  yang menawarkan langkah meningkatkan daur ulang dari sampah berlabel dalam seluruh lini bisnis para pengusaha.

Bukankah ini sangat memudahkan para pengusaha? Program ini melingkupi sampah pada:

  • Proses produksi
  • Proses distribusi
  • Sampah dari Gudang
  • Sampai sampah sisa konsumen

Dengan menerapkan pengelolaan sampah yang baik dalam keempat proses di atas tentu saja akan berefek pada berkurangnya sampah yang berakhir di TPA.

Tapi, tidak cuma itu, perusahaan juga dapat mencegah produk untuk disalahgunakan, mendapatkan laporan tentang alur sampah, serta meningkatkan tingkat daur ulang.

Saya rasa pilihan ini sangat tepat untuk perusahaan yang memiliki sumber daya terbatas dalam manajemen pengelolaan sampah.

Lambat laun, contoh baik dari perusahaan pun akan menular kepada para pegawai dan ujungnya pada masyarakat yang lebih luas. Apalagi, perusahaan sosial ini juga menawarkan personal waste management untuk rumah tangga.

Bila kita mulai menerapkan pemilahan sampah sebagai gaya hidup, seperti halanya di AS, pada akhirnya persepsi masyarakat pun akan bergeser menjadi lebih mencintai produsen yang memberikan perhatian pada lingkungan hidup.

***

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Blog Waste4Change Sebarkan Semangat Bijak Kelola Sampah 2021
Nama penulis: Ixora Tri Devi

comment 0

The Importance of Context in Human Interaction

One day in the EGL 102 class, Prof. Sloan challenges the students to decide: Which one is the most crucial for communication and human interaction, our sight or our hearing. He continued to ask, “Which ability would you rather not have?”. This question was intriguing to me. I gathered my confidence and raised my hand. I said that I would rather lose my hearing because I do not mind the silence. Working as a retail employee in a busy and loud working environment, I long for silence. If I can work without hearing the demanding and condescending tone of the entitled people in the store, I might be liking my job.

My supporting argument for preferring losing my hearing was: it is easier not to see people rather than to not hearing people. To not seeing people, we can just look away or close our eyes, but to not hear someone, it would be harder, because we do not own ear lids. It is especially more laborious when people we are interacting with are loud.

For this final project, I chose the same topic for my essay, “Of the three modes of communication we discussed most (visual, verbal/linguistic, auditory), which is most critical to human interaction”—however, this time I have a different argument. I would not choose which mode of communication I would rather have or not. Instead, I argue that modes of communication are not the only key to successful communication and meaningful human interaction. Furthermore, I argue that above our ability to choose between modes of communication, the most crucial component of human interaction is understanding the context of communication and interaction.
Read More

comment 0

Rhetorical Analysis: Rage Against the Machine, Sleep Now in the Fire

The first time I listened to Rage Against the Machine (RATM) was around early 2000. By that time, my brother usually played their song when he was picking me up from school. Listening to RATM inside the comfort of my father’s car, I never really understand the meaning of their lyric. I overheard “Sleep Now In The Fire,” hundreds of time that I was becoming familiar with the song. Among a lot of other rock music that my brother was listening to, I like this song the best.

As I am entering my adult life, working as a minimum wage employee to a company that belongs to the richest man in the world, making me feel that I can relate more to the song. My coworker, the dishwasher, usually plays rock song in the dish room while he is working. I often stop for a bit to sing along with him. The 22-year-old dishwasher listened mostly to System of Down. I wanted to introduce him to RATM. That was when I am rediscovering “Sleep Now In The Fire.” This time, I listen to the song not as a daughter of an Indonesian middle-class family that lives comfortably, but as a struggling working mother from a working-class family in the United States. I am no way near my brother’s knowledge and comprehension about rock and RATM (or anyone else in that matter), yet when I was looking for an object to be analyzed for this essay, I listened to their song frequently.
Read More

comment 0

Escaping Middle School, Entering the Real World

EGL 102 is the first class that ever asked me to reflect on my learning style. I am familiar with the concept of “everybody learning differently,” but I have never contemplated this concept to myself. When I first saw this assignment, I immediately thought that I was a visual learner. I watched a lot of shows and movies on my laptop. I learn a lot from the caricature characters like Tina Belcher from Bob’s Burger, as well as Steven Avery from docuseries Making a Murderer. For a while, I also thought that I am good at logic and math. After all, I used to win math competitions when I was younger. Yet, there were times where I felt stupid beyond help.
Read More

comment 0

Pasung in Cianjur, Indonesia

It started in 1992, Aang Buhori was a 22 year-old-man. Along with his friends, Aang visited a nearby waterfall around their home in Cianjur, West Jawa. On his way home, Aang was sure a dark being with evil intention was following him. When the night came, he burst out from his modest wooden house, tried to fight said being. Instead, there was nobody. The darkness was all in his head. Suyati, Aang’s mother, was worried. Soon, Aang started to wander around. One day he did not come home. Suyati, his husband, and the rest of the family were panicking. They rented a car to look for Aang. They found him. However, Aang kept trying to wander around. After three times of leaving home, Aang’s family decided to hold him in confinement in their kitchen at the back of the house, a practice that is known as pasung. Suyati, now 66 years old, said that she had no other choice, every time Aang was wandering around, they needed to rent a car to look for him. The money that they used to rent the car was equal to groceries for the entire family for a week. They needed to eat. Now, Aang is 49 years old. He has been living in confinement for 24 years.

Read More

comment 0

Everything You Need to Know About Higher Education Tuition Before Sending Your Kids to the United States

Thanks to internet that circulates informations about scholarships widely, more Indonesians are studying abroad nowadays, many are going to the United States. It is no wonder if young Indonesian parents who received their Master’s or Ph.D from the United States would also love to send their kids to study in the United States. However, if you are like me, a regular Indonesian citizen who is not coming from a “Crazy Rich Asian” family, there is one essential question, how much should we pay?  Is the cost reasonable? And how do they spend our money?

Read More

comment 0

Loka’, Silent Blues of the Ocean: A note from a sister

In an evening, my brother Acoh requested me to write a review of his band’s new album. I politely refused because the only music that I listen to right now is Johnny-Johnny Yes Papa and your usual grocery store playlist (because I am working at one).
To redeem my guilty feeling to my brother, I contacted some friends to review his band’s album. It was hard to find someone to write about music these days, or maybe I just don’t know where to look. One of my friends who refused to write the review suggested me to write it myself in a perspective of a sister.
I thought that was a great idea. I do know one or two things about my brother.
Read More

comment 0

Learning from an American drawn to Indonesian Islam

“Before I turned to Islam, I was living in a life of suicide.” This what my friend, James (not his real name), said when I asked him about how important Islam was to him. I have been living in the United States, near Chicago in Illinois since 2014. I work in the grocery store while my husband completes his graduate studies. James, an African-American who teaches at a local high school has become one of our close friends. He is calm, kind and interesting to talk to. I have learned a lot about life in America from him. It was some time before I learned, surprisingly, how much Indonesia meant to him. Especially the kind of Indonesian Islam that I grew up with, where inner peace, tolerance and love go together; and where extremism, politicalization and tribalism that grip Islam elsewhere in the world are its enemies.
Read More

comment 0

Melamar dan mengurus izin kerja di Amerika Serikat: Employment Authorization Document (EAD) pemegang visa J2

Setelah mendapat surel perpanjangan langganan untuk lapak ini, saya pun kembali terpacu untuk menulis. Satu tahun penuh saya membawa anak saya untuk mengikuti suami yang sedang riset lapangan. Di mulai dari beberapa kota di Indonesia, Singapura, Belanda, Inggris sampai akhirnya kembali ke tanah tumpah darah anak saya.

Banyak sekali pengalaman baru yang menempa kami selama di perjalanan, jamak senangnya tapi fase stres dan depresi tak pelak menimpa -terutama yang berhubungan dengan masalah klasik pemegang paspor hijau: ketika keluar negeri harus selalu berurusan dengan perizinan (nanti kita bahas di tulisan selanjutnya).

Pengalaman yang sudah berlalu selama setahun belakangan pun secara harfiah harus kami bayar mahal. Berhubung hanya suami saya yang dibiayai oleh yayasan beasiswa, saya dan anak saya harus menguras tabungan agar kami tetap bisa bersama.
Read More

comment 0

Tidak mens tapi tidak hamil: Misteri datang bulan terlambat tiga minggu

Beberapa hari lalu saya cicicuit di media sosial soal ini: alih-alih cerita bahagia, kisah apek selalu lebih menjadi pemantik tulisan saya di sini.

Saya yakin, pemilihan waktu menulis berperan penting dalam sendunya kisah-kisah dalam laman ini. Pasalnya, saya selalu terpacu untuk menulis ketika periode datang bulan saya mendekat. Saat-saat itu biasanya saya tidak bisa tidur karena berkontempelasi tentang berbagai hal. Menulis dan menuangkan jeritan-jeritan dalam kepala yang bagaikan suara seribu anak ayam itu selalu membantu saya tertidur.

Walau laman ini berisi seputar sudut pandang saya sebagai seorang ibu dan perempuan, ternyata perihal menstruasi belum pernah saya bahas mendalam padahal kisah laman ini bermula dari prokreasi. Kejadian yang lumayan apek dan bikin frustasi yang baru saja saya alami akan kembali saya bagi, barangkali ada yang akan menemukan tulisan ini ketika merasa yang sama. Read More