comment 0

Oleh-oleh vaksinasi bulan keenam

Sudah cukup lama saya menanyakan tentang toko buku yang menjual buku impor kepada teman-teman Makassar saya. Seorang teman mengusulkan untuk pergi ke Siloam, di sana ada kedai buku.

*
Ketika bayiku harus divaksinasi di bulan keempat, saya memilih untuk membawanya ke RS Ananda, seorang dokter anak di sana adalah ayah teman baikku sejak SMP. Hal yang wajar ‘kan bila saya lebih memilih untuk mempercayai masalah fasilitas kesehatan anak saya kepada orang yang saya kenal. 

Saya sangat senang ketika ayah sahabat saya zaman SMP masih mengenali ketika saya menyebutkan nama. Dokter spesialis anak yang cukup terkenal di Makassar itu juga dengan sabar menjelaskan kepada saya tentang vaksin serta perbedaan kondisi di Amerika Serikat dan tanah air. Secara garis besar tidak ada keluhan tentang pelayanan dokter.

Beberapa perbedaan dalam masalah pelayanan tentu ada, yang paling menonjol adalah si Oom Dokter segan untuk menyuntik anak saya sekaligus kiri dan kanan, padahal vaksinasi usia dua bulan bayiku langsung disuntik tiga kali dan ditetesi rotavirus. Kami pun harus bolak-balik tiga kali untuk menyelesaikan sesi vaksinasi bayi saya periode bulan ke-4. Namun keengganan Oom Dokter untuk sekaligus memberi vaksin yang banyak mungkin saja memang berdasarkan niat yang baik (selain karena tidak tega dan “kalau ibu-ibu di sini tidak ada yang mau anaknya disuntik banyak-banyak” katanya). Saya mengingat ketika vaksin usia dua bulan bayiku demam dan susah hati sekali malamnya, bisa jadi ini karena enam macam vaksin yang dimasukkan sekaligus(?), padahal dr. Curtis bilang sesi vaksin pertama hanya akan sedikit menggelitik antibodinya.

Selain masalah suntik bertahap/suntik sekaligus, di RS Ananda pemeriksaan kepada bayiku juga kurang menyeluruh, hanya beratnya yang ditimbang, lingkar kepala, tinggi dan temperatur tidak diukur. Mungkin saja ini adalah hal yang wajar di tanah air, standardisasi pemeriksaan sepertinya memang berbeda antara satu fasilitas dengan yang lainnya.

Namun, yang paling membuat saya kecewa dengan pelayanan RS Ananda adalah masalah administrasinya. Kali kedua saya ke sana, saya harus menunggu lama hanya untuk membayar tagihan obat. Saya sebal karena laki-laki yang harusnya melayani malah bersenda gurau dengan teman perempuannya, padahal saya duduk di hadapannya! Nanti ketika saya sudah tidak sabar dan kembali bertanya tentang tagihan saya, (dan bayi saya mulai menangis) baru dia cepat-cepat menghitung biaya yang harus saya bayarkan.

Kali ketiga: Saya selalu membawa serta kertas bukti vaksin bayi yang diberikan oleh dr.Curtis. Saya juga membawa rangkuman pemeriksaan bulan kedua dia, di sana tertera vaksin apa saja yang sudah diberikan. Saat saya mendaftarkan bayi saya di resepsionis, saya memperlihatkan kepada mereka bahwa bukti vaksin dan lembar rangkuman pemeriksaan saya selipkan di buku catatan kesehatan bayi saya, saya benar-benar menunjukkan kepada perempuan yang duduk di hadapan saya! Namun ketika saya masuk, Oom Dokter membuka lembar demi lembar buku kesehatan dan tidak menemukan kedua kertas itu. Kertas yang saya bawa dari klinik di Chicago menempuh perjalanan jauh sampai ke Makassar justru hilang di tangan mereka. Saya kesal bukan kepalang.

Akhirnya untuk sesi vaksinasi bulan keenam saya berniat untuk tidak kembali ke RS Ananda. Menurut kakak saya, RS Siloam adalah salah satu pemberi fasilitas kesehatan terbaik di Makassar, saya pun memutuskan untuk ke sana. Siapa sangka biaya yang saya keluarkan justru lebih sedikit dengan waktu antri serta pengurusan administrasi yang lebih singkat.

*

Selesai vaksin saya singgah ke kedai buku di lantai dasar. Buku impor yang berupa novel tidak terlalu banyak pilihannya (*catatan: saya mau membaca buku impor karena melatih bahasa Inggris saya, selain itu saya adalah pembaca yang sangat cepat, buku berbahasa Indonesia bisa selesai dalam beberapa jam, sayang rasanya). Haruki Murakami dan John Green adalah dua penulis yang bukunya cukup banyak menghiasi rak di toko buku kecil itu. Saya belum pernah membaca John Green, kisahnya yang diangkat ke layar perak juga belum saya tonton sepenuhnya. Pilihan saya pun kembali pada Murakami.

Saya mengingat-ingat buku Murakami yang pernah masuk menjadi kandidat buku yang akan dibahas dalam klub buku saya di Chicago (namun akhirnya saat itu konsensusnya memilih Americanah). Saya mengingat judulnya cukup panjang dan terdiri dari dua kalimat. Ketika melihat Colorless Tsukuru Tazaki and…. Saya pun yakin ini bukunya (dan ternyata benar).

Colorless (saya singkat saja ah) adalah buku Murakami kedua saya. Buku dia yang pertama yang saya baca tiga tahun lalu adalah Norwegian Wood. Sangat terprediksi ya? Saya memilih buku itu karena penasaran mengapa dia memilih judul lagu The Beatles sebagai judul novelnya. Nyatanya, Colorless ini judulnya pun mengambil dari judul lagu (atau album?) Franz Liszt, Years of Pilgrimage. Melodi gubahan Liszt yang diberi judul Le Mal Du Pays sangat sesuai dengan nuansa novel ini. Sepi lalu ribut seperti frustasi. Seperti alam pikir yang sedang bermalas-malasan kemudian diingatkan tentang banyak hal yang tertunda untuk dipikirkan.

Saya mengingat-ingat, waktu itu selesai membaca Norwegian Wood rasanya saya kesal dan enggan membaca Murakami kembali. Belum lagi saya juga menonton film yang diangkat dari novel ini -yang menurut saya tidak terlalu bagus. Perasaan kesal ini kembali setelah saya selesai membaca Colorless dalam tempo dua hari. Sungguh buku yang tidak cocok dibaca saat sedang PMS!

Murakami adalah penulis yang pelit! Dia tidak mau membuka kepada kita semua cerita di dunianya, dia kasih tahu sedikit lalu menyuruh kita membayangkan kelanjutannya sendiri. Sungguh tidak bertanggung jawab. Bagaimana dengan Shiro? Siapa yang membunuhnya? Apa yang menjadi pemacu masalah kejiwaannya? Lalu Haida ke mana? Apakah itu dia yang bersama Tsukuru di atas ranjang pagi setelah mereka begadang membahas tentang mati? Bagaimana dengan pianis misterius yang ditemui ayahnya? Potongan jari lebih yang ditemukan di kereta? Lelaki yang bergandengan dengan Sara? Apakah Murakami mendapat persenan dari Lexus?

Bisa jadi saya sudah terbiasa membaca komik Detektif Conan sejak saya baru bisa membaca sehingga saya selalu ingin mencari konklusi dari sebuah misteri. Tapi tidak demikian ketika membaca Murakami, jangan harap dia menjadi penulis dermawan yang sudi menuliskan semua tentang dunia ciptaannya. Mungkin kepelitan ini yang menjadi candu bagi pembaca sehingga dia sukses menjadi salah satu penulis populer generasi ini.

Ketika saya membaca Norwegian Wood, saya baru saja selesai membaca The Tale of Time Being, Ruth Ozeki. Kedua cerita berlatar Jepang, kedua cerita tentang depresi, namun kisah yang dituturkan Ozeki punya konklusi -paling tidak saya tidak ditulari depresi oleh Ozeki. Ada apa dengan Jepang dan depresi? Lain kali saja kita bahas.

Dalam Colorless, Murakami mengisahkan Tsukuru yang menyimpan hal-hal yang masih dia pertanyakan dalam satu laci “tunda” dalam pikirannya, sialnya sampai lembar buku habis tidak ada penyelesaian dari segala hal yang dia tunda itu. Sepertinya sambil saya menyelesaikan novelnya, Murakami menyelinap ke dalam pikiran saya, perlahan membangun ruang. Tak lupa dia membuat laci, menuliskan kisah Tsukuru yang penuh tanda tanya ke atas kertas, memasukkannya ke dalam laci, menguncinya lalu keluar dari pikiran saya bersama lembar novel terakhir yang saya baca. Laci berisi pertanyaan saya tentang novel ini sudah terkunci selamanya di dalam sana. Mungkinkah karena kemampuan ini dia disebut brilian?

Dalam novelnya Murakami tidak bertindak seperti Tuhan yang tahu segalanya padahal sangat mudah baginya untuk demikian, toh dunia itu ciptaannya. Dia mengisahkan kisah yang linear dari satu sudut pandang dengan segala keterbatasannya. Semua cabang kisah diceritakan oleh tokoh lain dengan sukarela. Bisa jadi makanya Murakami membiarkan Tsukuru tidak berwarna agar dia bisa leluasa beradu kisah dengan Biru, Merah, Putih, Hitam, Abu-abu dan Hijau tanpa mengubah warnanya.

Walaupun saya tertinggal kesal selesai membaca tulisannya, Murakami sudah mengajari saya satu hal bahwa Tsukuru pun tidak harus tahu semua jawaban dari lembar-lembar pertanyaan pada arsip “tunda” dalam laci pikirannya. Paradoks karena cerita ini justru bergerak mengikuti Tsukuru yang didesak oleh Sara untuk mendapatkan jawaban tentang satu pertanyaan: mengapa dia dikucilkan? Setelah berkelana sampai ke Finlandia pertanyaan ini mengantar Tsukuru kembali ke mulanya ke pertanyaan selanjutnya: pertanyaan yang sesuai saran Eri/Kuro tidak boleh dia biarkan tidak terjawab, tidak boleh dibiarkan usang dan berdebu dalam laci tunda karena kesempatan ini hanya muncul satu kali dalam hidupnya.

Tinggalkan komentar