comment 0

Tentang menyusui

Bulan ini bayiku genap berusia enam bulan. Beberapa teman saya di media sosial biasanya mengumumkan dengan bangga bila anaknya sudah dinyatakan “Lulus ASI Eksklusif Enam Bulan” istilahnya “sarjana”. Konon ‘wisuda kelulusan ASI’ ini ada sampai S3, kalau tidak salah bayi dapat gelar Ph.D di bidang ASI nanti kalau bayi konsumsi ASI sampai usia dua tahun -maaf saya kurang tahu pasti soal gelar-gelar ini, namanya juga mama rumahan, bukan mama bergaul, hehehe. 

Memasuki bulan keenam usia bayi, rasanya saya juga ingin mengunggah fotonya dengan sertifikat lulus ASI Eksklusif, tapi saya tidak tahu di mana sertifikat itu bisa didapat jadi ya tidak usah lah. Hihihi.

Enam bulan lalu ketika saya kesusahan menyusui bayi saya di hari kedua saya di Rumah Sakit Bersalin, saya mengingat semua orang yang telah mengunggah foto bayi bersertifikat ASI Eksklusif di media sosial. Saya bertanya-tanya,  apakah mereka melalui proses menyusui dengan lebih mudah daripada saya?

*

Payudara saya sudah mengeluarkan cairan bening kental sejak kandungan saya memasuki usia lima bulan. Suami saya yang pertama menyadari cairan yang kata dia rasanya seperti air kelapa itu. Mengetahui sebentuk cairan keluar dari payudara membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Saya bahagia sekali dan langsung membayangkan menyusui bayi saya kelak di dalam pelukan. Saya yang jauh dari tanah air bertanya dan mengabari ke kakak perempuan dan kawan-kawan saya yang kebanyakan mengucapkan selamat dan meyakinkan saya bahwa itu pertanda ASI saya sudah pasti akan keluar ketika saya sudah melahirkan. Saya mengamini perkataan mereka dan optimistis akan menyusui dengan mudah.

Pertama kali saya mencoba menyusui adalah beberapa saat setelah anak saya lahir. Inisiasi menyusui dini. Saya tidak merasakan apa-apa kecuali canggung menyaksikan bayi yang masih keriput dan berbau darah menyedot puting saya sambil suami saya merekam berusaha melihat apa yang dilakukan bayi baru lahir kami pada salah satu benda kesukaannya (😁). Sebenarnya saya sama dengan suami saya, saya pun penasaran, apakah bayi saya berhasil menyedot keluar cairan dari payudara saya? Nanti ketika bayi saya diletakkan di keranjang oleh suster dan dia menyemburkan pipis pertamanya baru saya yakin dia sudah minum.

Malam itu ketika kami dibawa ke ruang rawat inap, bayi saya beberapa kali membasahi popoknya yang harus segera kami ganti -dengan sangat canggung- karena bayi kami benci dengan popok basah. Saya jadi lebih percaya diri karena bayi pipis adalah pertanda bayi berhasil makan dari payudara  saya. Saya membiarkan bayi berlama-lama menyedot puting sampai dia tertidur. Vagina yang sakit karena sudah porak-poranda membuat saya tidak terlalu menghiraukan rasa pegal di sekujur leher dan bahu karena menyusui berjam-jam.

Beberapa jam setelah menyusui perdana saya merasakan payudara saya mengalami banyak perubahan. Payudara saya bukan hanya menjadi lebih hitam tapi rasanya juga seperti sudah diisi semen. Diameter aerolanya pun menjadi jauh lebih besar dari yang saya bayangkan, putingnya datar mungkin karena payudara saya bengkak. Tidak ketinggalan urat-urat di sekitar dada yang semakin jelas dan yang terbaru (dan paling menyakitkan) puting lecet. Suster yang melihat keadaan puting saya memberikan saya lanolin yang ketika itu rasanya tidak terlalu membantu.

Pagi pertama di ruang rawat inap saya dikunjungi oleh konsultan laktasi. Dia menjelaskan tata cara menyusui yang baik. Dia bahkan memencet payudara saya untuk memastikan kolustrum saya keluar, ketika saya takjub dan coba mengeluarkannya sendiri dia menegur saya “Eits, sudah jangan kebanyakan. Ini terlalu berharga untuk dibuang-buang,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan saat menyusui rasa sakit akan muncul di perut karena menyusui membantu uterus saya berkontraksi sedangakan rasa sakit di puting akan berkurang bila ASI saya sudah mengucur. Saat ASI sudah mengucur (let down) saya tidak akan merasa sakit lagi melainkan hanya perasaan puting yang mengencang karena disedot. Saya bertanya tentang ngilu di siku ketika saya menyusui, namun dia hanya berkata mungkin itu karena posisi tangan saya yang salah.

Saya meminta suami saya merekam semua yang konselor katakan, namun keesokan harinya saya sudah kembali kebingungan (dan kesakitan) hingga saya meminta untuk dipertemukan lagi dengannya. Sayangnya di RSB sepertinya sedang banyak ibu menyesui sehingga konselor laktasi tidak sempat menemui saya untuk kedua kalinya sampai saya pulang.

*

Di rumah payudara saya semakin sakit. Setiap bayi menangis kelaparan saya seperti sedang dihadapkan pada sesuatu yang sangat menakutkan. Ketika bayi menyusui saya meringis bahkan menangis meraung. Saya tidak kuasa menahan sakit. Ngilu menjalar dari ujung jari kaki, siku, pundak, leher sampai puting. Belum lagi sakit di vagina yang kala itu belum kering jahitannya. Menjerit, menyanyi dengan suara keras serta meng-shush adalah metode yang saya gunakan untuk membunuh sakit.

Saya terlalu yakin bahwa menyusui akan berlangsung mudah untuk saya sehingga saya tidak mengindahkan saran ibu-ibu di Pinterest untuk memasukkan pompa ASI sebagai barang yang harus dibeli sebelum melahirkan. Kala itu saya mengira pompa ASI hanya digunakan oleh ibu pekerja yang butuh memerah ASI ketika dia tidak bisa menyusui bayinya karena sedang tidak di rumah. Saya yang akan selalu di rumah bersama bayi tidak memerlukan pompa ASI, hemat saya -yang ternyata salah.

Payudara yang bengkak karena terlalu penuh sungguh membuat saya menderita. Tidur, duduk, terlentang, tengkurap, tidak ada posisi yang membuat saya nyaman. Sungguh, kala itu saya merasa melahirkan jauh lebih mudah daripada menyusui. Proses melahirkan saya cukup singkat sementara menyusui adalah pekerjaan yang tidak berhenti, bukan hanya sehari-dua hari. Saat itu saya tidak yakin mampu menyusui bayi saya bahkan cuma sampai satu minggu hidupnya. Satu hari berlalu sangat lama.

Mandi air panas adalah satu-satunya momen yang membuat saya merasa hidup. Namun mandi pun tidak bisa berlama-lama. Pukul lima subuh ketika bayi saya masih terlelap saya akan mandi sampai bayi saya bangun. Untuk menyemangati saya bernyanyi di kamar mandi, bukan bersenandung lirih melainkan berteriak.

Dari pagi hingga siang saya optimistis dan bersemangat. Setiap pagi saya bercermin menyemangati diri dan kedua payudara jagoan saya untuk yakin serta tidak takut lagi mendengar bayi nangis minta disusui. Namun ketika malam mulai datang efek mandi air panas pun memudar. Saat matahari mulai terbenam saya sudah keletihan menghadapi bayi yang selalu ingin menyusui sementara saya sakit di sekujur tubuh.

Di hari keempat bayiku, saya mulai meriang dan dilanda depresi. Saya takut anak saya kelaparan. Saya takut saya tidak bisa memberikan ASI seperti yang saya sudah niatkan dan disarankan oleh dr. Curtis (“Breastfeeding is the best,” ujarnya saat kunjungan kehamilan terakhir saya). Saya stres sementara kakak saya di belahan dunia lain selalu mengingatkan saya untuk tidak stres karena stres akan mengurangi pasokan ASI. Diberi saran untuk tidak stres justru membuat saya semakin stres.

Saat itu suami saya sedang mengerjakan tugas akhirnya, dia biasa bekerja di kafe dekat rumah kami sehingga saya lebih sering berduaan dengan bayi. Setiap dia pulang dia akan mendapati saya menangis. Di malam keempat kami sebagai orang tua, saya pun mengutusnya untuk pergi membeli pompa ASI.

Setelah pompa ASI ada di tangan, saya pikir penderitaan saya akan berakhir. Ternyata belum. Pompa ASI menggunakan pompa manual tetap menyakiti payudara yang sudah tidak saya kenali bentuknya. Tadinya saya meminta suami saya membelikan pompa ASI elektrik namun harganya terlalu mahal untuk kami. Menurut blog ibu-ibu Pinterest yang saya baca, pompa ASI manual akan membuat ibu yang memerah merasa canggung. Dia benar, ketika pertama kali memerah ASI, saya sangat canggung juga kesakitan karena puting yang penuh luka. ASI yang keluar pun hanya sedikit. Saya semakin stres. Saya mengabaikan pompa yang sudah dibeli dan tetap menyusui bayi saya sambil menahan sakit.

Namun kala itu payudara saya bengkak sebelah. Bayi saya menolak menyusui dari payudara yang bengkak. Sakit sekali. Salah satu saran yang saya baca dari blog ibu-ibu adalah kompres air panas sebelum memerah ASI. Saya mencoba lebih ekstrem dengan berendam air panas sambil memompa payudara. Saat itu adalah pertama kalinya saya bisa memerah ASI sebotol penuh.

Melihat saya yang beberapa hari bermuram durja dan keletihan, suami andalan saya pun memijat saya sampai tertidur pulas. Bayi kami biarkan tertidur di carseat beberapa jam (saat itu bayi kami betah bila terlelap di carseatnya). Saya merasa lebih baik. Setelah itu saya tidak lagi menggigil padahal saya sudah membuat janji ketemu dr.Buckley karena khawatir dengan payudara saya yang babak belur, sesi pertemuan dengan dr. Buckley pun menjadi sesi curhat.

Puting tersumbat

Sayangnya daftar sakit karena menyusui bukan hanya payudara bengkak dan meriang. Satu minggu setelah melahirkan puting saya bukan hanya lecet melainkan tersumbat. Ketika luka-luka di payudara saya mengering, saya menyadari ada sesuatu seperti benang yang menutupi puting saya. Ujung puting saya sakit sekali. Bahkan sekedar menyentuh puting nyeri apalagi bila disusui. Hasil riset saya menamakan kondisi ini sebagai plugged duct, saya alih bahasakan menjadi puting tersumbat. Cara mengatasinya sangat canggung dan sakit.

Sambil mandi air panas saya menggosokkan washcloth ke puting saya. Awalnya saya sangat kesakitan sehingga saya hanya menggosok perlahan, tentunya si susu yang mengeras tidak bisa terkupas dengan cara ini. Saya harus tega kepada diri saya sendiri. Saya menggosok puting saya dengan lebih keras bahkan mengorek bagian putih kecil namun sangat menyakitkan itu dengan kuku saya. Setelah berhasil dikupas saya merasa benar-benar lega walaupun bekasnya masih terasa sakit. Kondisi ini terulang satu kali, namun untuk kedua kalinya saya mengupas si biang kerok dengan lebih gagah berani.

ASI terlalu deras

Saya yang hanya tinggal bertiga dengan suami dan bayi kami yang baru berusia dua minggu kala itu kebingungan. Mengapa bayi saya selalu meronta ketika menyusui? Setelah saya riset dari berbagai situs saya mengambil simpulan bahwa ASI saya terlalu deras.

Saat bertemu dengan konsultan laktasi setelah melahirkan dia menyarankan saya untuk menyusui bayi sambil memijit payudara. Itulah yang saya lakukan. Namun bayi saya membencinya. Saya sadar ketika saya meminta suami saya merekam saya menyusui. Saya ingin bertanya kepada kakak saya kira-kira mengapa bayi saya mengamuk ketika menyusui. Dari video, saya bisa menyaksikan bayiku marah sama payudara terlebih karena saya memijitnya.

Dari hasil riset, saya positif ASI saya terlalu deras. Ini ditunjukkan oleh frekuensi cegukan bayi, baju yang selalu basah serta payudara yang selalu kepenuhan. Bayi yang ingin menyusui berlama-lama tidak bisa memenuhi hasratnya karena perutnya sudah penuh sementata dia masih ingin mengenyot puting. Jadilah proses menyusui membuat bayi mengamuk dan mama mengutuki diri.

Mengapa ASI saya terlalu banyak dan deras? Setiap saya mengeluhkan ini pada suami, saudara dan kawan-kawan saya semua pasti heran dan menyuruh saya bersyukur. Mereka tidak mengetahui pergolakan batin melihat bayi meronta karena mulutnya seperti disiram air deras sampai kembung. Selain bersyukur, saya disarankan untuk memompa setiap sebelum saya menyusui bayi. Andai saja bisa semudah itu.

Terus memompa payudara semakin memberi stimulasi produksi ASI sehingga ASI semakin banyak, bayi semakin mengamuk karena dia kelaparan sambil menunggu saya memompa, saya pun harus semakin sering memompa. Ini seperti siklus tidak berujung. Akhirnya saya mengikuti salah satu saran di situs menyusui untuk menyusui hanya dari satu payudara. Alhasil payudara saya besar sebelah, namun bayi saya jadi lebih jarang mengamuk.

Saya mulai menyusui dari hanya payudara kanan ketika saya terbang dari Chicago ke Jakarta. Saya tidak mau anak saya mengamuk sepanjang perjalanan. Saya juga membatasi minum agar ASI tidak deras selama penerbangan. Ketika sampai di tanah air saya sempat khawatir karena payudara kiri saya sangat kempis. Payudara kanan saya juga tidak sebesar biasanya. Saya khawatir karena saya membatasi minum selama penerbangan membuat produksi ASI saya menurun. Untungnya tidak demikian, kondisi ASI baik-baik saja.

Yang tidak terlalu baik adalah kondisi mentalitas saya karena orang-orang terdekat mulai mengomentari payudara saya yang besar sebelah. Saya pun mencoba kembali memberi ASI dari kedua payudara saya, terprediksi, bayi saya kembali menyusui sambil mengamuk.

Saat ini payudara kanan saya masih lebih besar dari payudara kiri. Pompa saya rusak sehingga saya membiarkan payudara kanan saya penuh sementara saya menyusui dari payudara kiri. Setiap terasa keras, saya memerah payudara saya dengan tangan. Kadang-kadang saya mencoba memberi ASI dari payudara kanan, namun sampai saat ini bayi saya tetap meronta.

Saya pikir di usia bayi yang keenam bulan ini saya tidak lagi akan menghadapi masalah dengan ASI, nyatanya seusai saya mengedarkan tulisan ini saya meriang kedinginan, payudara kanan saya ngilu sekali, saya pun menambahkan bagian ini dalam tulisan saya. Mama saya memprediksi payudara saya sakit karena saya terlalu bersemangat memerah ASI dengan tangan. Semoga sakit yang ini juga cepat berlalu!

Kesuksesan generasi Ibu ASI

Ketika saya masih duduk di bangku kuliah, saya magang di sebuah majalah dwi mingguan. Satu hari saya meliput acara penyuluhan ASI. Mendengar berbagai manfaat ASI pada acara yang digelar pada 2012 itu, saya pun bertekad memberi ASI kepada anak saya. Saya juga bertanya-tanya mengapa ada ibu yang memilih untuk tidak memberi ASI -makanan terbaik- kepada buah hatinya?

Mata saya jadi lebih terbuka ketika saya menjadi ibu. Memberi ASI tidak semudah yang saya bayangkan. Setelah melalui berbagai rasa sakit karena menyusui, tidak heran bila ibu ingin merayakan keberhasilannya menyusui di berbagai sosial media. Ini juga adalah pembuktian keberhasilan sosialisasi pegiat ASI.

Contoh lain merebaknya sosialisasi ASI adalah orang-orang yang baru saya temui yang langsung bertanya “ASI ngga?” ketika melihat saya menggendong bayi. Sejujurnya saya sedikit heran mengapa orang yang baru saya temui, yang kadang bahkan saya tidak tahu namanya (misalnya terapis di salon atau ibu-ibu yang berpapasan di mall) bertanya tentang makanan apa yang saya berikan kepada bayi saya. Saya tahu sebagai wanita ada hasrat keibuan yang ingin menutrisi anak. Niat bertanya “ASI ngga?” kepada seorang ibu juga berbeda-beda bagi tiap penanya. Namun sulit rasanya untuk tidak curiga. Apakah ada semacam penilaian yang diberikan kepada ibu yang tidak menyusui anaknya?

Ketika bertemu dengan teman saya yang bayinya hanya berbeda tiga bulan dari anak saya, dia juga bertanya bila saya menyusui. Ya. Dia langsung menyelamati saya dan dengan sedikit bernada kecewa mengatakan dirinya tidak bisa memberi ASI kepada bayinya. Saya enggan bertanya lebih lanjut. Saya tidak merasa dia perlu menjelaskan diri. Salah satu teman saya yang belum menikah, apalagi punya anak, bahkan berkomentar “Oh kamu ASInya dipompa? Saya pikir langsung,” -padahal saya pompa untuk meredakan derasnya ASI.

Pulang ke tanah air dan bertemu dengan banyak orang yang memberi komentar tentang ASI membuat saya merenungi keberhasilan sosialisasi ASI di tanah air. Terlebih setelah kakak saya yang seorang aktivis ASI menunjukkan pada saya bayi berusia lima hari yang harus diinfus karena dehidrasi, “Pasti gara-gara ASI,” ujar kakak saya. Saya tidak mampu berkata-kata.

Apakah saya bangga telah eksklusif menyusui bayi saya selama enam bulan? Tentu saja. Bayi saya makan dari tubuh saya, bukan dari botol, kecuali dua hari dalam hidupnya ketika saya pendarahan dan harus dirawat di Rumah Sakit. Saya tidak hanya memberinya hidup dalam rahim saya selama sembilan bulan, selama enam bulan pertama nutrisi yang menghidupi bayi saya di dunia ini seutuhnya datang dari cairan ajaib yang keluar dari puting payudara saya. Saya tidak malu menyusuinya di mana pun, saya tidak pantang walaupun payudara saya diejek karena ini-itu. Saya bangga.

Namun, saya rasa semua ibu harus bangga pada dirinya sendiri. Bukan hanya dia yang berhasil menyusui eksklusif.
Saya jadi enggan menjawab bila ditanya “ASI ngga?” apabila tujuannya untuk menguatkan keberhasilan satu golongan ibu dan melabeli gagal pada golongan lainnya.

Menjadi ibu bukan hanya sekedar keberhasilan memberi ASI. Upaya menjadi ibu yang baik terpatri sejak nyawa melekat pada dinding rahim hingga nanti otak berhenti bekerja. Tanggung jawab dan tekanan menjadi ibu sudah sangat besar, saya tidak habis pikir bila saya sudah dicap gagal padahal baru enam bulan menjadi ibu.
Saya tidak bisa membayangkan tekanan pertemanan seperti apakah yang mampu membuat seorang ibu membiarkan bayinya dehidrasi hanya agar ibunya dilabeli berhasil memberi ASI eksklusif.

Saya masih ingat kakak saya yang memarahi saya waktu saya mencoba memberikan bayi saya ASI perahan di dalam botol ketika dia masih beberapa hari. Payudara sakit? Tahan! Stres? Jangan! Sungguh dunia peribuan sangat sengit, bahkan urusan payudara ibu semua ingin menilai.

Bila saya diberi kemudahan untuk menyusui bayi saya sampai dia berusia dua tahun, saya bersyukur. Bila tidak, tidak apa. Saya berharap proses menyusui yang telah saya lalui menumbuhkan keteguhan hati untuk memberi nutrisi terbaik, itu saja.

 

Tinggalkan komentar