comment 0

Sepintas tentang hasil penelitian pasung di Cianjur

Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan yang sering kali dikesampingkan dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi mereka yang tidak pernah terterpa oleh informasi kesehatan jiwa yang mumpuni. Contoh nyatanya ketika seseorang (sebut saja Roni) mengalami stres atau kegagalan dalam pekerjaan. Roni terlihat sangat murung. Acap kali dalam lingkungan keluarga di Indonesia, keluarga atau kerabat yang melihat Roni akan berkata kepada Roni, “Sebaiknya kamu banyak-banyak lah bertobat dan berserah diri kepada Tuhan, semoga Tuhan segera memberi jalan yang terbaik,”.

Orang yang menyarankan Roni untuk berserah diri kepada Tuhan itu tidak tahu betapa dalamnya sakit yang dirasakan oleh Roni, bisa jadi dia tidak dapat sembuh hanya dengan sekedar ‘berserah diri kepada Tuhan’, Roni harus mendapatkan perawatan dari paramedis yang berkompeten dalam masalah kejiwaan, namun jamak terjadi keluarga maupun kerabat tidak terpikirkan akan adanya paramedis yang dapat merawat kesehatan jiwa.

Lain halnya apabila Roni terserang demam berdarah, keluarga dan kerabat tidak mungkin hanya sekedar menyarankan Roni untuk berserah kepada Tuhan, dan banyak bertobat. Ketika gejala demam berdarah tampak pada Roni, keluarga selaku orang terdekat yang menyayangi Roni pasti akan membawanya ke paramedis.

Di sinilah letak keunikan masalah kesehatan jiwa: Mata kita tak dapat melihat jiwa yang sakit.

Ketika seorang pasien dengan masalah jiwa berat, skizofrenia, mengalami halusinasi, baik itu halusinasi suara maupun halusinasi visual, orang terdekatnya tidak dapat memahami apa yang diinderai oleh pasien. Keluarga akan kebingungan, terutama bagi mereka yang tidak dekat dengan dunia kesehatan mental. Jalan apa yang ditempuh oleh keluarga panik tanpa informasi klinis yang memadai? Penelitian saya menunjukkan langkah awal keluarga ketika melihat anggota keluarganya mengalami skizofrenia adalah menghubungi dukun, ustad, atau untuk wilayah Cianjur dikenal dengan nama Ahli Hikmah.

Cianjur dipilih sebagai tempat penelitian karena ada hal unik yang terjadi di sana. Penemuan Komunitas Sehat Jiwa (KSJ), komunitas konsumen kesehatan jiwa yang berdiri di Cianjur sejak 2009 mendapati dan telah mengentas sekitar seratus praktik pemasungan. Namun, ‘pengentasan’ praktik pemasungan oleh KSJ ternyata belum sampai ke akar permasalahan, terbukti beberapa keluarga yang telah membebaspasungkan pasien kembali memasung pasien karena tidak mendapatkan akses ke obat-obatan medis. Penelitian ini bertujuan membahas bagaimana pemaknaan keluarga pemasung ODS yang telah terekspos oleh penanganan kesehatan jiwa secara medis terhadap skizofrenia yang dialami oleh keluarganya.

Keluarga ODS di Cianjur seluruhnya berpendidikan rendah, mereka hanya mengecap pendidikan dari sekolah dasar (SD) atau pun sekolah rakyat. Selain itu mayoritas informan juga berpenghasilan rendah, bagi sebagian kecil yang memiliki penghasilan tetap dapat mengantongi Rp 800.000 sampai dengan Rp 2.000.000 per bulan, namun bagi yang tidak mempunyai pekerjaan tetap hanya dapat menghasilkan Rp 20.000 sampai dengan Rp 25.000 per hari (apabila ada pekerjaan). Meskipun penghasilan informan penelitian beragam, namun hal ini tidak berarti bagi yang memiliki penghasilan tetap per bulan dapat menangani ODS dengan lebih baik. Dua di antara keluarga yang masih memasung ODS sampai saat penelitian adalah mereka yang memiliki pekerjaan tetap dengan penghasilan minimal Rp 1.250.000 dan Rp 2.000.000 per bulan (jumlah pendapatan per 2013).

Demikian pula dengan kondisi rumah informan penelitian. Rumah informan tersebar di enam kecamatan di Cianjur dengan akses jalan yang buruk (jalan batu, jalan tanah berlumpur dan mayoritas belum diaspal). Kondisi rumah informan cukup rapi, mungkin karena tidak banyak perabotan yang mereka miliki di dalam rumah. Mayoritas hanya memiliki tikar sebagai alas duduk di ruang tamunya. Sebagian keluarga ODS masih tinggal di rumah yang terbuat dari bilik bambu berlantai kayu, sebagian lagi sudah memiliki rumah tembok dengan lantai keramik. Namun, sekali lagi, tidak berarti mereka yang tinggal di rumah yang lebih layak memiliki cara penanganan yang lebih baik bagi ODS. Dua di antara mereka yang tinggal di rumah layak juga masih memasung ODS di belakang rumah mereka.

Penelitian ini menemukan mayoritas di antara keluarga yang memasung ODS ternyata tidak punya pengalaman sendiri dalam hal pemasungan, mereka tidak pernah secara langsung melihat keluarga atau kerabat mengalami hal seperti ODS, sehingga penanganan dalam bentuk pemasungan belum pernah mereka praktikkan. Mayoritas dari mereka juga mengaku tidak pernah melihat orang yang dipasung sebelumnya. Hanya ada satu keluarga, yakni keluarga Abas, yang mengaku memiliki sejarah pemasungan dalam keluarganya dan pernah menyaksikan praktik pemasungan itu dengan mata mereka sendiri.

Pengalaman mereka tentang ‘skizofrenia’ didapatkan dari tetangga, keluarga, ahli hikmah, media massa serta belakangan oleh KSJ dan Paramedis. Berdasarkan berbagai sumber pengalaman tersebut, keluarga ODS mendapatkan beragam nama yang kemudian digunakan untuk menyebut ‘skizofrenia’. Penamaan serta pemaknaan keluarga ODS baik sebelum maupun sesudah diperbarui dengan pengetahuan medis pun ternyata masih tidak seusai dengan definisi medis.

Keluarga ODS yang pernah memasung dan sekarang sudah membebaskan ODS pun tidak dapat menjelaskan bagaimana hakekat penyakit skizofrenia yang dialami oleh anggota keluarganya secara biomedis, mereka hanya dapat menjelaskan penyakit keluarganya itu dari kacamata magico-religious model yakni perspektif yang memandang penyakit ODS berasal dari pengaruh supranatural. Akibatnya, seluruh keluarga yang kini rutin mengantar dan menemani ODS menjalani pengobatan antipsikotik hanya sekedar menerima obat yang diberikan oleh pihak rumah sakit, asalkan itu gratis dan terbukti membawa perbaikan pada perilaku ODS.

Selain pada keluarga ODS yang membebaspasungkan ODS dan rutin menerima obat-obatan medis, perilaku ‘pasrah’ dan acuh lebih kental ditunjukkan oleh keluarga ODS yang hingga kini kembali memasung ODS. Keluarga yang masih memasung ODS mengakui efektivitas obat-obatan medis dalam upaya perbaikan kondisi ODS, tetapi mereka merasa tidak memiliki daya untuk dapat kembali meraih akses ke obat itu. Penelitian mendapati keluarga ‘pasrah’ semacam ini pun telah kehilangan kartu Jamkesda yang dapat mengantarkan ODS berobat gratis seumur hidupnya.

Satu keluarga, kembali keluarga Abas, memang merasa ragu akan efektivitas obat karena mendatangkan efek seperti badan merah dan diare pada ODS. Keluarga Abas adalah kasus yang cukup unik karena merupakan satu-satunya keluarga yang memiliki sejarah pemasungan, selain itu praktik pemasungan juga merupakan perwujudan dari ‘wasiat orang tua’.

Tinggalkan komentar