comment 0

Gara-gara daun jayanti dan ‘diikuti penunggu curug’

Dikdik Sodikin
Anak kesayangan Apuddin, 60 tahun, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani itu sangat gemar mengumandangkan adzan. Semenjak lulus SD, putra keduanya itu berangkat ke pesantren untuk meneruskan pendidikan. Ia sangat bangga, karena Dikdik Sodikin (33) adalah anak yang baik dan pintar.

Namun karena asal mendengar saran teman seperguruannya untuk memasukkan air sari daun jayanti ke dalam hidung agar suara menjadi lebih bagus ketika adzan, Dikdik menjadi aneh. Dikdik menjadi pendiam, suka berkhayal dan seakan hilang ingatan. Dia bahkan tidak ingat di mana harus membuang air. Rumah Apuddin di kampung Cikaraja kecamatan Karangtengah, Cianjur menjadi kotor dan bau. Apuddin tidak tahan.

Ia dan isterinya akhirnya memutuskan untuk memisahkan Dikdik. Dikdik dibangunkan ruangan sendiri berukuran 1×2 meter terbuat dari papan kayu. Dikdik beraktivitas di sana, merokok, buang air sambil menunggu ibunya mengantar makanan. Karena lama tinggal di dalam ruangan sempit dengan kaki yang selalu terlipat, Dikdik menjadi lumpuh. Selama delapan tahun Apuddin berjuang untuk kesembuhan anaknya. Apuddin kerap membawa propsal ke badan Amil Dzakat, DPRD Cianjur, dan ke beberapa yayasan untuk membantu kesembuhan anaknya, namun hasilnya nihil.
“Paling ada yang ngasih Rp 10.000 sampai Rp 15.000. Untuk ongkos aja ngga nutup,”

Ia bahkan menjual perabotan dan tanah warisan miliknya seharga Rp 600.000 dan Rp 700.000. Dalam rumahnya yang berlantai semen dengan dua kamar dan satu dapur itu kini hanya ada tikar yang digunakan untuk tempat duduk tamu.

Dikdik dibawa berobat ke berbagai tempat pengobatan Ahli Hikmah, dari Sukabumi sampai ke Subang, tetapi keadaan Dikdik tidak kunjung membaik. Seingat Apuddin, dia sudah sekitar dua puluh kali mondar-mandir untuk melakukan pengobatan. Namun Dikdik masih seperti orang hilang ingatan.

Pada 2009, Komunitas Sehat Jiwa (KSJ) akhirnya datang dan membawakan obat untuk Dikdik. Apuddin sangat bersyukur atas pemberian obat itu, keadaan anaknya pun berangsur-angsur membaik. Namun ia kecewa karena setelah dua tahun obat tidak lagi datang. Dikdik kambuh dan kembali dimasukkan ke dalam kamarnya. Kartu Jamkesda yang sudah diberikan KSJ tidak pernah ia gunakan sendiri untuk pergi mengantarkan anaknya berobat ke RSUD.

Seringnya Dikdik dikunjungi oleh peneliti yang dibawa oleh KSJ, membuat pihak desa jadi lebih memperhatikan kondisinya. Ketika Dikdik dipisahkan lagi, pihak desa pun berinisiatif membawa Dikdik ke rumah sakit jiwa di Bandung.

Aang Buhori
Dari anak sulungnya itu lahir sampai berumur 43 tahun, Suyati (60) tidak pernah berhenti merawat Aang Buhori. Suyati adalah ibu rumah tangga yang tinggal bersama suaminya, Aang, dan adiknya Eeng serta Bagja di rumah sederhana berlantai kayu berdinding bilik di kampung Campaka, desa Campaka, Cianjur.

Suyati menuturkan, Aang sakit sejak 1992. Kala itu ia baru saja pulang dari bermain di curug bersama teman-temannnya. Sepulang dari curug, Aang merasa diikuti oleh sesosok hitam yang ingin mencelakainya. Malamnya, Aang keluar rumah marah-marah dan ingin memberi ‘pelajaran’ pada sosok yang mengikutinya itu. Namun, sosok itu tidak pernah ada karena hanya tinggal di benak Aang.

Belakangan Aang mengeluh suka sakit punggung dan kepala, ia juga kerap melihat sosok mengerikan, ia pun senang mengembara sendirian. Keluarga yang panik karena Aang menghilang lalu menyewa mobil untuk mencari Aang di sekitar kampungnya. Tiga kali Aang kabur, setiap kabur uang yang ada untuk membeli beras habis untuk menyewa mobil guna mencari Aang.

Aang pun akhirnya dikurung. Ia dibangunkan kamar di dapur rumah orang tuanya, terbuat dari papan berukuran 2×2 meter. Sambil hidup dalam bilik, berbagai pengobatan alternatif dicobakan kepadanya, namun hasilnya nihil.

Pada 2000 ketika ada program ‘Kartu Sehat’, Suyati mengantarkan Aang ke Rumah Sakit Jiwa di Bandung. Suyati mengingat kembali dokter yang menangani pada waktu itu yang mengatakan Aang kelebihan darah putih. Aang pun dirawat inap di sana selama 1 tahun. Ketika kembali di rumah, Aang hanya mampu bertahan ‘waras’ selama 4 bulan, setelah itu ia kembali kambuh karena pengobatan yang tidak diteruskan.

Suyati mengira obat yang diberikan oleh dokter di Bandung hanya bisa diakses di Bandung. Untuk biaya pengobatan Aang kala itu Suyati mengaku menghabiskan paling tidak Rp 5.000.000. Kini untuk kembali mengantarkan Aang ke rumah sakit Suyati mengaku tidak lagi memiliki dana. Ia mengisahkan Aang memiliki banyak kemauan ketika diajak pergi berobat. Ia akan meminta jajan ini-itu kepada sang ibu.

“Kalau uangnya pas-pasan tidak bisa. Kalau keinginannya tidak dikabulkan dia mengamuk,”

Oleh karena rumah Suyati di Kecamatan Cempaka cukup jauh dari kecamatan Cianjur (2 jam perjalanan) belum lagi dengan infrastruktur jalanan yang sangat jelek, Suyati enggan membawa Aang berobat walaupun ia sudah memiliki kartu Jamkesda. Menurutnya untuk satu kali jalan dari rumahnya menuju RSUD saja akan menghabiskan Rp 150.000.

“Kalau ada pengobatan gratis pasti mau, tapi dari rumah juga saya tidak ada ongkos,”.

Suyati masih sangat berharap Aang bisa sembuh, walaupun ia masih belum yakin dengan caranya. Ia berharap kelak Aang bisa mandiri.

“Nanti kalau emak mati Aang bagaimana?”.

*Ilustrasi foto dari koleksi lukisan Galeri Nasional London. Tiada hubungan dengan tulisan, sekadar memperindah.

Tinggalkan komentar