comment 0

Di udara 21 jam: Penerbangan Chicago-Jakarta bersama bayi

Ketika bayiku berusia 3,5 bulan, saya membawanya mengunjungi kakek-nenek dan keluarga besarnya di tanah air. Apakah saya tegang? Sebenarnya tidak terlalu.

Teman saya, seorang ibu di Amerika yang pernah membawa anak bayi (8 bulan) bersama suaminya terbang ke Indonesia, terus menanyakan: apakah saya tidak takut terbang hanya berdua dengan bayi? Teman tadi berujar kami benar-benar “pushing the limit“.

Ntah mengapa saya sangat percaya diri. Toh di rumah juga saya sering menghabiskan waktu hanya berduaan dengan bayi. Bila dia sedang tidak enak hati, saya biasa menggendongnya seharian dan membiarkannya tertidur di dada sampai dia puas.

Kira-kira apa perbedaan besar antara menghabiskan waktu seharian di rumah dengan melewati waktu 24 jam dalam perjalanan di udara?


Persiapan

Pada kunjungan pemeriksaan dua bulan (baby well check), saya sudah bertanya kepada dokter anak saya, apakah ada yang harus saya perhatikan bila ingin membawa anak saya terbang ke tanah air?

Dr. Curtis sangat santai, dia berkata kami tidak terbang lalu langsung mendarat, jadi telinga bayi akan lebih beradaptasi.

Namun, saya dan suami ingin lebih yakin akan kesehatan bayi sebelum menuju perjalanan jauh.Kami pun membuat janji bertemu di bulan Desember, beberapa hari sebelum kami berangkat.

Pada pertemuan dengan dr. Curtis untuk ‘pembekalan’ kesehatan bayi, saya pikir anak saya akan diperiksa dengan mendalam. Nyatanya hanya suster yang mengambil tanda-tanda vital anak seperti biasanya (prosedur yang harus dilakukan suster setiap berkunjung ke klinik: menimbang, mengukur lingkaran kepala, mengukur tinggi, mengukur temperatur, menghitung pernapasan dan denyut jantung). Dr. Curtis sendiri hanya melihat bayi saya yang senang digendong dan berkata “She looks fine!”.

Pembekalan hari itu pun lebih banyak seputar hal yang saya harus lakukan ketika sampai di Indonesia.

Mula-mula dr. Curtis bertanya, apakah air di Indonesia bisa diminum? Tidak. Oleh karena itu, menurutnya kami akan ke tempat yang “lower hygiene”. Dr. Curtis mengecek situs CDC (Centers for Disease Control and Prevention), dia mendapati Indonesia adalah daerah endemik hepatitis B dan tipus.

Dia menyarankan untuk merebus air sampai mendidih setiap hari dan menggunakan air yang sudah matang itu untuk keperluan bayi (tipus menyebar lewat air).

“Tidak apa, di Indonesia ada seratus juta orang dan mereka selamat melewati masa bayi bukan?” katanya yang kemudian saya koreksi “Lebih dari dua ratus juta jiwa penduduk Indonesia, ngga pernah dengar lagu Rhoma Irama yah dok?”, kemudian dia heran, bagaimana bisa negara dengan penduduk yang sebanyak itu tidak pernah dia dengar sebelumnya (bagaimana mau tau lagunya rhoma irama ya?).

Saya menceritakan rencana kami yang mungkin akan tinggal sampai musim panas. Dr. Curtis bertanya mengapa kami pergi begitu lama, apakah ada masalah dengan visa saya? Tidak, kami hanya ingin berlama-lama di tanah air, melarikan diri dari musim dingin di Evanston dan Chicago.

Dr. Curtis pun mengingatkan saya untuk melanjutkan semua vaksin yang telah diberikan (DPaT, HepB, Hib, IPV, Rotavirus, PVC13) dan mengikuti vaksinasi lokal. Dia juga menekankan saya harus meminta bukti vaksin yang sesuai dengan standard CDC/WHO.

Sementara itu, untuk sedikit “membuat nyaman” perjalanan bayi, dr. Curtis menyarankan saya untuk memberikan tylenol (acetaminophen) kepada anak saya nanti ketika berangkat.

“Anakmu pasti menangis dan saya tidak akan ada di sana,” kata dia sambil sedikit tertawa.

*

Selain memastikan kesehatan bayi, persiapan lainnya yang saya dan suami lakukan adalah sering-sering mengajak bayi kami jalan-jalan. Hampir setiap sore saya mendorongnya dengan kereta dorong.

Tadinya suami saya sedikit tegang bila mengajak bayi kami ke mana-mana (maklumilah kami orang tua baru yang selalu salah tingkah bila bayi menangis).

Bayi saya eksklusif menyusui langsung dari puting, saya masih agak malu-malu melakukannya di depan umum. Dari yang saya baca, masyarakat negara maju punya resistensi yang lebih besar terhadap menyusui. Banyak cerita tentang ibu yang dipermalukan atau disuruh menyusui di kamar mandi umum.

Selama penerbangan dan menunggu di bandara nanti tentu saja saya harus memberi makan bayi saya. Saya harus berani menyusui di depan umum. Latihan untuk memupuk keberanian ini pun wajib di mulai sebelum saya berangkat ke bandara.

Kami mengawali latihan pembiasaan menyusui depan umum dengan berjalan-jalan lebih lama dengan anak kami. Di supermarket kami tidak lagi seperti berpacu dengan bom waktu, bila bayi saya menangis saya akan memberinya ASI.

Sebelumnya bila bayi mulai gelisah, saya dan suami akan bergegas ke rumah, setengah berlari, untuk kemudian menyusui di rumah.

Kami juga memenuhi undangan perayaan Thanksgiving di villa teman kami di luar kota Evanston. Saat berangkat ke villa, untuk pertama kalinya saya menyusui bayi di mobil, walaupun sangat deg-degan karena aturan di sana bayi harus selalu di carseat ketika berkendara.

Pada satu hari Minggu, kami bertiga memenuhi keinginan suami saya untuk makan bebek peking di restoran masakan Cina favorit kami. Seusai kami makan, bayi saya terbangun dari tidurnya dan meminta porsinya. Dengan ditutupi selimut muslin seadanya, dia pun mendapatkan ASI kesukaannya. Sebelumnya kami pernah membawa bayi ke kencan pertama setelah saya melahirkan. Di steak house itu suami saya tidak berhenti menggerakkan kereta dorong karena takut bayi kami terbangun, hihihi.

Ritual jalan-jalan sore kami pun lebih panjang dan jauh. Saya menggunakan kereta dorong dan gendongan bayi. Saya berencana untuk tidak membawa kereta dorong di bandara nanti jadi saya harus membiasakan bayi berada di gendongannya. Kami menggunakan gendongan Baby Bjorn hadiah dari teman kami.

Saat itu bayi saya tidak terlalu menyukai gendongannya, namun berkat ‘pembekalan sebelum naik pesawat’ kini dia bisa tertidur pulas di gendongan. Saya melatihanya dengan menggendongnya saat bepergian, saat membersihkan rumah, mencuci piring, berolah raga, bahkan saya melatihnya menyusui di gendongan.

Dari beberapa tips yang saya baca di berbagai situs, bepergian berduaan dengan bayi tidak disarankan membawa kereta dorong. Bayangkan bagaimana repotnya melipat kereta dorong untuk discan sambil harus menggendong bayi. Bila saya tidak berduaan, bila bayi saya sudah lebih besar, dan bila ini bukanlah penerbangan pertama saya dengan bayi, mungkin saya akan membawa serta kereta dorong.

Di Bandara

Dari jauh-jauh hari saya sudah cemas bagaimana melewati tim keamanan bandara O’Hare berduaan dengan bayi. Di kebanyakan film Hollywood digambarkan bagaimana tim keamanan bandara Amerika Serikat sangat galak.

Untungnya bayi saya yang lucu membuat semua orang menjadi super ramah! Saya bahkan dapat banyak kemudahan. Ketika mengantri untuk scan barang misalnya, saya dipersilakan masuk di jalur kelas bisnis.

Saat akan masuk ke pemeriksaan badan, saya tidak harus mengeluarkan bayi saya dari gendongan. Petugas cuma ‘mengoles’ sehelai kertas di telapak tangan saya. Dari yang saya baca itu dilakukan untuk mengetes mesiu.

Tidak ada masalah berarti sampai saya tiba di ruang tunggu. Sewaktu cek masuk, petugas di konter maskapai menandai boarding pas saya agar saya dipersilakan untuk memasuki pesawat lebih dulu (priority boarding).

Oh iya, saya kebelet pipis dan berusaha mencari toilet yang ada changing tablenya agar bayi saya bisa saya tidurkan di sana selama saya pipis. Sayangnya model changing table di bandara O’Hare itu menyatu dengan westafel di luar boks toilet, alhasil saya pipis sambil menggendong bayi.

Di Pesawat

Setibanya saya di tanah air, sangat banyak yang bertanya “bayimu rewel ga di pesawat?”. Saya selalu menjawab bayi saya ‘normal-normal saja’.

Bila perjalanannya hanya 1-2 jam dan di atas pesawat bayiku terus menangis, mungkin saya akan menjawab bayiku rewel. Sebaliknya bila dia tidur terus, saya akan dengan tegas berkata “bayiku tidak rewel sepanjang perjalanan,”.

Namun, selama perjalanan 13+8 jam, tidak mungkin bayiku hanya tidur sepanjang perjalan. Dia tidur, menangis, bermain dengan saya, ee, dan ganti popok.

Di perjalanan dari Chicago ke Tokyo saya duduk sendiri di baris tengah yang terdiri atas tiga kursi. Ini sangat nyaman karena saya bisa bergaya bebas. Satu jam pertama bayi saya tidur pulas di pelukan. Setelah makan siang dibagikan saya coba menaruhnya di bassinet. Baru lima menit, dia langsung terbangun. Saya makan sambil memangkunya.

Selama perjalanan menuju Tokyo bayi saya hanya tidur sebentar-sebentar. Dia juga tidak mau lepas dari pelukan. Saya mencoba menaruhnya tengkurap di bassinet agar dia bisa bermain sambil tummy time, tapi tidak, dia mengamuk.

Bila dia nenangis saya coba menyusuinya atau mengganti popoknya, bila tidak reda saya akan menggendongnya. Biasanya setelah digendong lama saya duduk dan mencoba menyusui, bila beruntung dia akan tertidur, bila bayi tidak tertidur, saya akan bermain dengannya sampai dia nangis karena mau digendong lagi. Begitulah sepanjang perjalanan.

Saya pikir tylenol yang saya berikan akan banyak membantu. Ternyata tidak juga. Bayiku malah ee beberapa kali setiap setelah saya memberikannya obat.
Di bandara saya mencoba meminumkan tylenol. Ini kali pertama saya memberikannya obat. Saya langsung meneteskan 2.5ml ke mulutnya, hasilnya lebih banyak yang dia lepeh (mungkin semuanya?). Ketika sudah lewat 6 jam sejak saya memberinya tylenol, saya ke wc untuk mengganti popok sekaligus meminumkannya obat. Belakangan saya hanya memberikan tylenol ketika pesawat sudah mau mendarat.

Setiap diletakkan untuk ganti popok atau minum obat, bayiku akan menangis sekencang-kencangnya. Namun, saya yang letih sudah santai-santai saja mendengarnya menangis. Dia akan tenang setelah saya gendong seberes ganti popok.
*

Di pesawat penerbangan Tokyo ke Jakarta bayiku menangis kencang ketika pesawat baru berangkat. Dadaku sesak sekali melihat dia. Penuh rasa bersalah. Dia pasti kelelahan karena hanya tidur sebentar-sebentar selama perjalanan 13jam dari Chicago.Di bandara Narita ketika kami transit tiga jam, dia juga cuma tidur lima belas menit.

Saya tidak bisa melakukan apa-apa karena ketika baru berangkat penumpang harus terus mengenakan sabuk pengaman. Saya tidak bisa menggendongnya.
Dia yang meronta terus saya tawari payudara saya. Saya sudah tidak peduli bila ada yang melihat. Untungnya saya duduk di dekat jendela dan penumpang di sebelah saya berbaik hati untuk pindah duduk ke tempat yang kosong. Dia berkata dia pindah agar saya dan bayi lebih leluasa (atau mungkin dia menyelamatkan diri dari tangisan bayi).

Ketika lampu tanda sabuk pengaman dipadamkan, saya menggendongnya. Baru sebentar digendong dia sudah tertidur. Dia bangun sebentar minta disumpal payudara, lalu tidur nyenyak selama enam jam. Puji Tuhan.

Jika dia bangun saya kembali menjalankan ritual bermain, menggendong, ganti popok. Badan saya rasanya sudah patah menjadi lima bagian.

Oh iya, beberapa kali ketika bayi saya menangis dan saya coba menenangkannya, pramugari akan menghampiri dan menawarkan bantuan dengan wajah yang sangat prihatin.

Satu orang pramugari bahkan berdiri agak lama di dekat saya ketika saya menggendong bayi saya yang mengamuk. Saya sudah menolak bantuannya “I’m okay,” namun dia tidak beranjak. Saya mengerti dia menunggu saya untuk memberikan bayi kepadanya agar saya bisa beristirahat sebentar. Baik sekali!

Tapi tetap saja saya enggan memberikan bayiku padanya, saya bisa! Bahkan ketika mau pipis pun saya menggendong bayi saya sendiri.

Satu-satunya bantuan dari mereka yang saya terima adalah ketika mereka membawakan barang bawaan kabin saya. Mereka meminta maaf karena hanya bisa mengantar sampai ke bibir pesawat. Tidak apa, niat baik kalian sudah saya apresiasi, kru pramugari Japan Airlines!
*

Untuk penerbangan pulang nanti saya berniat untuk banyak berolah raga sebelum kembali menempuh penerbangan lintas benua agar tubuh saya tidak sesakit tempo hari.

Di penerbangan panjang selanjutnya saya juga akan mencoba menerima tawaran pertolongan dari pramugari.

Oh iya, seminggu setelah sampai di Jakarta saya kembali terbang berdua dengan bayi. Kali ini ke kampung halaman saya, Makassar.

Setelah menempuh penerbangan yang begitu panjang, penerbangan domestik selama dua jam saya lewati seperti hanya ritual tidur siang bersama.

Sebelumnya kami sudah berkendara ke Cirebon (3 jam) dan dari Cirebon ke Jakarta dengan menumpang kereta (3 jam). Dibandingkan dengan perjalanan bermacet-macet ria di ibu kota sepulang dari Cirebon (5jam perjalanan Gambir-Ciputat) penerbangan Jakarta-Makassar rasanya jauh lebih ringan.
***

Tinggalkan komentar