comment 0

Tentang sakit

Sebagai mama baru, tentu saja saya selalu panik bila anak saya sakit atau terluka. Bahkan untuk memulai menuliskan judul ini dada saya seperti ditindih beton. Berikut ini beberapa cerita tentang anak saya. 

Bayi Jatuh

Bayi saya pernah jatuh. Saya tidak menceritakan ini kepada banyak orang. Saya malu, rasanya seperti sudah melakukan dosa yang sangat besar, aib. Kata-kata tidak dapat melukiskan betapa saya merasa bersalah. Saya hanya menceritakan kejadian ini kepada suami, kedua kakak perempuan saya dan dokter anak saya.

Ceritanya waktu itu saya sedang tidur siang bersama bayi tercinta. Posisi tidur favorit kami dia di dada saya sambil menyusui. Hari itu dia belum dua bulan, sepertinya baru sekitar satu bulan dua minggu. Kondisi saya masih kliyengan, saya lupa tepatnya kejadian ini sebelum atau sesudah saya dioperasi karena pendarahan, yang jelas saat-saat itu sangat meletihkan untuk saya.
Saya jatuh tertidur terlalu di pinggir ranjang. Entah bagaimana caranya, saya terbangun saat anak saya sudah di karpet menangis. Mungkinkah saya bergerak dalam tidur? Langit seperti runtuh ketika saya sadar dan cepat-cepat mengangkat anak saya yang menangis kencang. Saya lalu menyusuinya, ia pun tertidur.
Saya langsung mengirim pesan kepada suami agar segera pulang.

Saya hanya bisa menangis sendirian. Beberapa saat kemudian bayi terbangun lagi minta asi, lalu tidur kembali.
Baru sehari sebelum kejadian menyedihkan ini saya membaca tentang shaken baby syndrome. Saya lihat di youtube seorang dokter memperagakan telur yang diguncang dengan keras berulang kali, kuning telurnya lalu hancur. Dalam video itu si dokter berkata hal yang sama dengan kuning telur akan terjadi pada otak bayi bila bayi diguncang.

Bagaimana saya tidak ketakutan sampai menangis meraung? Saya sangat merasa bersalah kepada bayi saya, kepada suami saya, kepada kakek-nenek bayi saya. Saya sangat takut bayi kami berubah karena jatuh.

Untuk menenangkan hati, tentu saja saya googling. Beberapa situs (seperti situs dr. Sears) cukup menenangkan risau hati. Di situsnya disebutkan anak yang jatuh, bahkan terjatuh di lantai keras, seringkali tidak mengalami cidera apa-apa. Tidak perlu terburu-buru dan mengambil resiko lebih besar (seperti tertular penyakit di RS) dengan membawanya ke unit gawat darurat. Situs bayi lainnya juga mengatakan hal yang kurang lebih sama.

Ketika bayi terjatuh, observasi selama tiga hari. Hal yang perlu diperhatikan bukan bagaimana dia jatuh tapi bagaimana kondisi dia setelah terjatuh. Beberapa poin yang saya baca -dan masih saya ingat- dari situs kesehatan bayi antara lain (1) apakah dia kehilangan kesadaran/tidur terus? (2) apakah dia menangis terus seperti kesakitan? (3) perhatikan pupil matanya, apakah besar sebelah?

Setelah suami saya pulang dia melihat bayi saya, dan langsung berkata bayi saya tidak apa-apa. Ketika bayi kami bangun saya dan suami coba menekan-nekan bagian punggung dan kepalanya, tapi dia tidak seperti kesakitan. Dia bermain, menyusui, dan tidur seperti biasa. Setelah tiga hari berlalu dengan normal, saya sedikit lega.

Baru setelah kami bertemu dr. Curtis pada pemeriksaan bayi bulan ke-2, saya merasa benar-benar lega. Sama dengan yang tertulis di situs kesehatan, dr. Curtis bertanya bagaimana reaksi bayi setelah jatuh, apakah tidur terus? Apakah seperti kesakitan? Karena tidak ada tanda-tanda yang berbeda dari keseharian bayiku, “Well, she survive. But be careful next time!” kata dia.

Bayi Konstipasi?

Di hari yang sama dengan ‘pengakuan dosa’ saya kepada dr. Curtis, saya juga menceritakan tentang bayiku yang sudah tidak ee’ seminggu. “Ah, tidak mungkin bayi yang ngga ee’ seminggu begini. Masa’ ngga keluar biar cuma sedikit?” kata dr. Curtis yang melihat bayiku cerah ceria. Menjawab pertanyaannya, saya mengingat kalau bayiku memang sempat mengeluarkan sedikit bercak ee di popoknya.

Dr. Curtis lalu memeriksa bayi saya. Dia menekan-nekan perutnya dan berujar, “Ngga ada ee yang keras kok ini,” katanya sambil menunjukkan pada saya bagian perut bayi yang dia tekan.
“Awam memang bepikir bahwa ee sehari sekali itu wajib. Padahal tidak juga. Semua orang berbeda. Bila kita memaksa tubuh yang tidak mau ee untuk ee setiap hari, justru akan mendatangkan masalah baru,” jelas dr. Curtis.

Dia melanjutkan, bila bayi saya seperti kesusahan coba masukkan termometer rektum. “Bayimu akan ee, itu refleks,” terang dr. Curtis.

Keesokan harinya ketika bayiku menangis tidak jelas, saya coba masukkan termometer ketika mengganti popoknya. Voila! Ee yang telah satu minggu saya tunggu akhirnya keluar. Melimpah! Yeay! Mungkin ini pertama kalinya saya bahagia melihat begitu banyak ee.

Setelah percobaan termometer rektum, bayi saya ee setiap 4-5 hari. Saya santai saja asal dia tidak rungsing. Nanti pas dia saya bawa terbang ke tanah air, baru mulai ee beberapa kali sehari. Cerita lebih lanjutnya nanti ya!

Bayi demam, batuk, pilek

Bayi saya demam pertama kali setelah divaksin di usia dua bulan. Berbeda dengan di tanah air, di Amerika Serikat, bayi disuntik langsung tiga kali (vaksin pertama langsung 6 macam vaksin). Di klinik setelah vaksin, bayi saya menangis kencang tapi langsung tidur setelah disusui.

Malam harinya bayiku panas. Saya takut sekali. Sekali lagi malam itu saya hanya berdua, suami pergi ke jamuan makan malam. Hari itu kami tidak sempat menebus obat penurun panas bayi karena suami saya harus buru-buru ke jamuan makan malam dan saya tidak berani membawa bayi saya yang sedang kesakitan pergi ke apotek sendiri.

Alhasil saya menggendongnya, membuka baju saya dan dia, berpelukan sepanjang malam, bahasa kerennya skin to skin.
Sepanjang malam saya terjaga. Saya sempat sangat panik karena bayiku dua kali terbangun dari tidur, mengencangkan dan meluruskan semua badannya (seperti kita kalau lagi ngulet), membuka matanya, lalu tidur lagi. Saya takut, apakah ini kejang demam? Saya yang sendirian di rumah cuma bisa mengandalkan google.

Hasil googlingan saya ternyata membuat saya justru menjadi lebih ketakutan. Sangat banyak aktivis antivaksin yang menyelundup ke forum situs kesehatan bayi. Kata-kata mereka sungguh membuat saya ketakutan dan bertanya-tanya. Apakah vaksin ini memang tidak baik untuk bayi?

Belakangan saya melihat video bayi yang batuk pertusis, saya pun yakin vaksin untuk yang terbaik. Keesokan harinya setelah semalaman tidur berpelukan, bayi saya pun tidak panas lagi.

*

Panas kedua bayi saya datang ketika saya di tanah air. Malam itu ada saudara alm. Nenek saya yang menginap di rumah. Kasur di kamar tamu saya masukkan ke kamar saya karena saya ingin mama menemani saya tidur bersama bayi saya. Hasilnya nenek ikut tidur bersama kami. Nenek batuk-batuk. Selain itu dia juga beberapa kali ingin menggendong bayiku.

Bayiku demam ketika nenek sudah pulang. Saya takut sekali. Hari pertama dia demam bertepatan dengan klimaks PMS saya (setiap kali saya PMS gejalanya luar biasa: sakit kepala, sakit seluruh badan, letih, lesu, pokoknya saya benar-benar tidak berdaya). Untungnya keesokan harinya bibi tukang pijat datang menyelamatkan tubuh saya. Saya langsung baikan dan bisa fokus merawat bayi.

Di hari pertama panas bayi saya 38.3C, di hari kedua saya mengukur suhunya 39C. Risau saya semakin menjadi karena bayiku juga batuk dan tidak bisa meminum obatnya (selalu dimuntahkan). Malam harinya, saya diantar oleh kakak saya untuk pergi ke dokter anak.

Dokter anak kakak saya ternyata baru mulai praktik jam 9 malam, saat kami tiba baru jam 7. Kami pun beranjak ke dokter lain yang disebutkan mama saya. Dokternya bergelar professor dan konsultan. Dokter memeriksa anak saya dan mengabarkan kalau bayi saya pilek dan sedikit radang. Dia memberikan resep obat puyer dan vitamin. Saya berunding dengan kakak saya dan akhirnya memilih untuk hanya menebus vitamin dengan beberapa pertimbangan.

Sepulang dari dokter, sesuai sarannya, saya meminumkan obat kepada bayi saya dengan cara dicampur terlebih dahulu dengan ASI. Kala itu bayi saya berusia lima bulan dua minggu, belum bisa minum ASI dari botol. Saya mencampur ASI yang telah saya perah dengan obat penurun panas, lalu saya masukkan kembali ke pipet obat. Butuh 4-5 tetes sampai ASI dan paracetamol habis.

Dalam memberikan obat, saya harus dibantu oleh mama. Mama menutupkan hidung anak saya. Bila tidak ditutup, obatnya akan dia muntahkan bersama lendir. Kasihan sekali bayi saya. Dia seperti sudah mengenali bentuk pipet obatnya, baru saja melihat dia sudah “hoek-hoek”. Sungguh tidak tega.

Di hari ketiga panas anak saya sudah turun sementara batuknya masih keras, frekuensinya dekat. Saya terus berusaha menguapi kamar dengan air mendidih dan minyak kayu putih, sesering mungkin. Hari keempat dia masih lemas, kerjaannya bangun-celingak-celinguk-batuk-manyusui-tidur. Pada hari kelima bayiku sudah mulai bisa diajak bermain dan bercanda. Pas seminggu batuknya mereda, dia hanya batuk ketika tidur. Hari ke delapan tidurnya sudah bebas dari batuk.

Saya sempat sangat gusar, apalagi mendengar suara batuknya seperti keras sekali. Saat dia tidur pun dari dadanya seperti ada gemuruh, mungkin dahak yang tertinggal di dalam. Mama saya terus menekan dan mempertanyakan kenapa saya tidak menebus obat puyer yang sudah diresepkan.

Saya sudah meniatkan bila seminggu batuknya masih keras sekali, saya mungkin akan ke dokter lagi (kalau bisa ke dokter yang tidak pro-puyer). Untungnya kondisi bayi saya terus membaik.
Pegangan saya adalah kutipan di situs parenting yang menyebutkan Akademi Dokter Spesialis Anak Amerika menyarankan orang tua untuk menghindari pemakaian obat batuk pilek untuk anak di bawah usia enam tahun karena menurut penelitian obat-obatan itu tidak berfungsi untuk anak dan kemungkinan dapat mendatangkan efek samping. 

Biang keringat

Di Amerika saya sempat melihat ada merah-merah di leher bayiku. Hasil googling menyarankan bayi dibiarkan bebas bertelanjang lebih lama, jangan gunakan baju yang terlalu ketat, serta hindari penggunaan losion nanti luka (blister) bisa lebih parah. Merah-merah di leher bayi saya pun bisa hilang dengan cepat.

Sesampainya di Indonesia, ketika pesawat baru saja mendarat di bandara Soetta, pipi dan leher bayiku langsung kemerahan. Di rumah Jakarta (lebih tepatnya Tangerang Selatan) kamar saya sudah satu tahun tidak ditinggali.

Walaupun kamar saya baru dibersihkan tapi tetap saja, kamar yang lama tidak ditinggali pasti mengendapkan debu. Ditambah panasnya udara di tanah air, hari-hari awal bayiku di Indonesia dia lewati penuh dengan merah-merah di seluruh tubuhnya.

Saya tinggal di rumah Jakarta selama tiga hari untuk memulihkan stamina saya dan bayi. Setelah itu kami berangkat ke Cirebon untuk bertemu kakek-nenek bayiku, mertua saya. Di sana, kakeknya langsung membawa kami ke dokter anak.

Dari hasil pemeriksaan dokter anak di Cirebon, bayi saya diketahui alergi debu. Saya diberi salep yang mengandung garamicyn. Merah-merah di lipatan telinganya yang terlihat seperti luka lecet sembuh. Namun kulit bayi saya secara umum masih bermasalah. Pipi, leher dan sekujur tubuhnya tetap beruntusan alias biang keringat.

Baik di Cirebon maupun di Jakarta sekembalinya dari Cirebon kulit bayiku tetap tidak semulus seperti waktu di Evanston. Nenek Cirebon padahal sudah mencobakan resep yang dia sebut resep “dokter jadul”: bedak salicyl digabung obat cuci mata yang dipakaikan ke seluruh tubuh. Namun hasilnya nihil.

Nanti setelah tiba di Makassar baru saya coba mencari losion yang saya pakaikan ke bayi saya sehari-hari di Evanston. Merknya Aveeno. Sayangnya saya tidak menemukannya di Makassar. Di Toko Tiga, penjual kebutuhan bayi dan balita yang cukup lengkap di Makassar, saya memutuskan untuk mencoba losion bermerk Biolane. Botolnya berwarna biru dan diklaim untuk perawatan kulit yang sangat kering. Losion buatan Prancis itu dengan ajaib memperbaiki kondisi kulit bayi saya. Dalam beberapa hari kulitnya sudah bagus seperti semula.

Apakah mungkin kulit bayi saya telah beradaptasi dengan iklim Indonesia? Mungkin tanpa losion seharga Rp 236.000 itu kulit bayi saya akan kembali seperti semula, namun sewaktu bayi saya baru sembuh dari sakit, dia menolak ritual setelah mandi : pijat dengan losion. Baru dua hari kulit di pundaknya menjadi kering dan kasar karena tidak diberi losion. Waktu itu pipi bayiku juga jadi lebih gampang merah-merah, tapi ini bisa jadi karena saya mengurangi penggunaan AC sehingga biang keringatnya datang. Setelah sembuh dan AC nyala seperti biasa, kulitnya pun sudah tidak merah.
***

Tinggalkan komentar