comment 0

Perempuan, laki-laki dipasung sejak belasan tahun

Ilah RohilahBau pesing menyengat hidung menyambut kedatangan saya. Aroma itu berasal dari ruang yang terletak berdampingan dengan rumah bercat hijau yang berbatasan langsung dengan area persawahan.

Di dalamnya, Ilah Rohila, 28 tahun, tampak duduk santai di atas sumur tua dalam kegelapan. Tak jauh di belakang sumur terlihat dipan dari bambu yang sepertinya adalah tempat tidur Ilah.

Tidak tampak sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Kulitnya hitam manis, rambutnya hitam panjang. Ketika disapa ia tersenyum bahagia, polos seperti anak kecil. Kedua telapak tangannya ia satukan dan digosok satu sama lain. Ia terus tersenyum tanpa merasa risih dengan kamera yang terus mengabadikan rupanya.
Sudah lebih dari sembilan tahun sejak Ilah pulang dari Arab Saudi. Satu setengah tahun ia bekerja di sana, sama seperti saudara perempuannya yang lain. Ia dipulangkan karena sakit. Pihak sponsornya di Jakarta tidak menerangkan penyebab sakitnya Ilah, yang keluarga tahu majikannya baik hati dan tidak melakukan kekerasan terhadap Ilah.

Adik perempuan ibu Ilah, Iis (33) yang tinggal di dekat rumah Ilah angkat bicara. Menurutnya Ilah sakit karena kaget mendengar kabar perceraian orang tuanya. Pada 2004 ketika dia pulang dari Arab Saudi lalu diantar ke rumahnya di kampung Purabaya, Kecamatan Cilaku, Cianjur, tubuh Ilah kaku, seperti batang pohon. Ilah bahkan tidak bisa berjalan sampai sang ayah mengulik dan memijat kaki Ilah sampai bisa berjalan lagi.

Kini Ilah tinggal bersama ayahnya Ibin (45), dan adiknya Nanang (26). Ketika sampai rumah dan terlihat gelagat aneh dari Ilah, Nanang pergi mengantarnya berobat ke kampung. Dua kampung sudah dikunjungi tapi tidak ada perbaikan.

Ayahnya tidak pernah mengantar Ilah berobat. Ayahnya yang bekerja sebagai pengusaha percetakan batako merasa Ilah seperti orang ‘hilang akal’, tidak bisa mengurus diri sendiri bahkan membuang feses di seluruh ruangan di dalam rumah. Ibin lalu berkreasi membangunkan Ilah tempat sendiri. Itulah ruangan yang sampai saat ini digunakan Ilah untuk menghabiskan hari-harinya. Oleh sang ayah, Ilah selalu diberikan baju, tapi ia tidak mau memakainya. Ia pakai sebentar lalu dia lempar ke sumur.

“Elingnya mah dahar hungkul,” ujar Ibin.

Ilah juga sempat tinggal bersama ibunya selama satu tahun, tetapi karena ibunya sudah menikah lagi dan sibuk mengurus cucu, Ilah dikembalikan kepada ayahnya. Menurut penuturan Nanang dan Ibin, di tempat ibunya Ilah ditempatkan di kandang domba.

“Ditaruh sama embek,” tutur Ibin.

Kini ibu Ilah hanya datang sesekali untuk memandikan Ilah.

Ibin dan Nanang belum pernah membawa Ilah ke dokter. Ketika ditanyai tentang nama penyakit Ilah mereka kebingungan, Ibin hanya menyebut penyakit Ilah sebagai ‘hilang akal’. Ibin sebenarnya ingin mengajak Ilah ke dokter tetapi ia yang bekerja sebagai pengusaha pencetak batako dengan penghasilan sekitar Rp 2.000.000 per bulan merasakan adanya keterbatasan biaya untuk ke dokter. Ia pun sangsi ada dokter yang mampu menyembukan Ilah.

“Ini kan penyakitnya di perasaan,” jelasnya.

Ibin pernah menyaksikan orang yang sakit seperti Ilah di televisi. Dari acara itu, ia menyimpulkan orang yang sakit seperti Ilah harus ditaruh di penampungan. Ibin masih menginginkan Ilah bisa sembuh, tapi bagaimana caranya Ibin masih kebingungan. Menerutnya, kesembuhan Ilah adalah kuasa Tuhan. Setelah diberikan kartu Jamkesda oleh Komunitas Sehat Jiwa, Ibin mengaku akan mencoba jalur medis. Apabila ada tanda perbaikan, ia akan melanjutkan pengobatan.

Misbah
Okoy (57) wanita bertubuh kecil berkulit hitam manis yang sangat pemalu hanya tinggal berdua dengan anak bungsunya Misbah (17) di rumahnya di Kampung Cisempung Kecamatan Cibeber. Rumah kayu sederhana berdinding bilik itu tidak memiliki banyak perabotan. Di ruang tamunya hanya ada tikar sebagai alas duduk dan tirai-tirai yang berfungsi sebagai pembatas antar ruang tamu, dua kamar dan dapur.

Ayah Misbah sudah lama meninggal, Okoy sempat menikah lagi dua kali namun semua berakhir dengan perceraian.

Misbah adalah pelajar yang duduk di bangku kelas VIII Sekolah Menengah Pertama (SMP) ketika ia meminta dibelikan motor untuk membonceng pacarnya. Sang ibu keberatan dan tidak menuruti permintaan anaknya. Misbah pun mulai ‘lain’.

Ke’lain’an Misbah Okoy rasakan sejak 2011. Dia sering melihat benda yang tidak terlihat oleh orang lain. Okoy sering melihat anaknya yang rajin mengaji itu main sendiri di sawah. Menurut Misbah yang saat itu saya wawancarai bersama dengan ibunya (Misbah telah bebas pasung) dia tidak sendiri, ada banyak temannya di sana yang bermain dengan dia.

Misbah dan kawan-kawannya itu bahkan bisa mengangkat dan memindahkan kayu serta batu yang berat. Setelah melihat sesuatu yang tak kasat mata itu, Misbah semakin aneh dengan kebiasaannya masuk ke rumah orang, lalu mengambil perabotan mereka.

“Di sini suka tiba-tiba ada gergaji, ada ketel. Itu kasur orang dia injak, bikin kotor rumah orang,” tutur Okoy.

Okoy berkisah anaknya itu memang pernah mengalami cedera ketika duduk di kelas I Sekolah Dasar (SD). Kala itu ia tertabrak mobil dan terluka cukup parah, sampai keluar darah dari telinganya. Oleh karena itu, ketika Misbah menunjukkan keanehan, Okoy langsung membawa anaknya itu berobat ke beberapa Ahli Hikmah sesuai saran keluarga dan tetangganya yakni di Sindang Barang, Kidul, dan akhirnya dia dirawat inap di Cirenjang. Semua daerah itu masih di kawasan kecamatan Cibeber.

Pengobatan di Ahli Hikmah dilakukan dengan cara diberi air minum yang sudah dijampe. Di Cirenjang ada yang sedikit berbeda, selain air minum jampe, Misbah juga diberikan minyak di punggungnya. Minyak itu lalu diolesi ke sekujur punggung dengan menggunakan kayu.

Pengobatan Ahli Hikmah yang pernah didatangi Okoy menaruh tarif ‘suka rela’, Okoy kerap membayar antara Rp 15.000 sampai Rp 20.000. Khusus untuk pengobatan Ahli Hikmah di Cirenjang, karena ‘dirawat inap’ mematok harga Rp 30.000 per hari. Misbah tinggal di sana selama dua bulan. Dirantai.

Mahalnya biaya ‘rawat inap’ membuat Okoy menarik kembali anaknya untuk pulang ke rumah. Tapi Misbah belum menunjukkan perbaikan. Dia masih sering mengamuk menghancurkan kaca dan melihat hal yang tidak ada: Nyi Roro Kidul, Robot Ken Arok, Dewi Kwan Im, dsb.

Merasa dirinya tidak mampu menangani Misbah sendirian, Okoy dibantu oleh Pe’i, sepupunya yang tinggal dekat rumah, dan juga beberapa tetangga memtuskan untuk memasung Misbah agar tidak memperpanjang keresahan sang ibu.

Selama dua bulan Misbah dipasung, kemudian relawan Komunitas Sehat Jiwa datang dan memberikan obat antipsikotik. Melihat kondisi Misbah semakin baik, ia jadi mudah tidur, pasungnya pun dilepas. Tetapi, sudah lima bulan ini Misbah tidak melanjutkan pengobatan padahal kartu Jamkesda disimpan sangat rapi oleh sang ibu.

Ketika ditanya, apakah ingin mengantarkan Misbah ke RSUD, Okoy hanya menjawab “Duka,”. Dia berkisah dulu waktu dibawa ke pengobatan Ahli Hikmah dia masih punya ongkos, tidak demikian dengan sekarang.

“Teu gaduh ayeuna. Dulu banyak yang bisa dijual, ada biri-biri. Sekarang sudah habis,” terang Okoy.

Okoy hidup dari uang pemberian anak-anaknya. Keempat kakak Misbah kadang memberi Rp 20.000, namun tidak setiap hari ada yang memberi. Dia juga biasa membabat rumput apabila ada yang membutuhkan tenaganya dengan upah Rp 20.000 perhari.

Okoy juga sudah menganggap Misbah 100% sembuh, oleh karena itu tidak perlu lagi dibawa berobat. Sampai sekarang Okoy masih bingung apa nama penyakit anaknya, kader Puskesmas terdekat yang hanya berjarak 3 kilometer dari rumahnya pun tidak pernah ada yang datang menengok dan memberikan penjelasan tentang penyakit Misbah.

Lalu bagaimana bila Misbah tiba-tiba aneh lagi?

“Duka atuh21,” jawab Okoy.

*Ilustrasi foto dari koleksi lukisan Galeri Nasional London. Tiada hubungan dengan tulisan, sekadar memperindah.

Tinggalkan komentar