comment 0

Propaganda, oh propaganda 

Ada hal yang ramai di dunia maya kemarin. Selain kru La La Land dan Moonlight yang grasa-grusu di atas pentas Oscar, jagad maya sektor tanah air ramai dengan tagar Protes Makan Mayit. 

Setelah melihat media sosial seorang teman, saya menyadari keramaian ini. Saya sudah menjumpai beberapa foto acara Makan Mayit di media sosial seorang artis/aktivis sebelumnya. Saya lumayan terperangah dengan karya sang artis, namun tanggapan saya jauh berbeda dengan beberapa teman saya yang mengemukakan opini di media sosial.

Oleh teman saya (dan kawan-kawannya), pameran dan eksperimen sosial Makan Mayit mereka laporkan ke akun instagram gosip ternama untuk disebarkan kepada masyarakat luas (selanjutnya katanya akan mereka laporkan ke KPAI). Admin sosial media akun gosip langsung mengamini permintaan teman saya dan kawan-kawannya.

Jadilah Makan Mayit ini sebagai buah bibir nasional. Ujungnya sang artis menjadi gentong penampung sumpah serapah pengunjung media sosial akun gosip seperti halnya selebritis yang terus-menurus dibahas kehidupan pribadinya: Mulan Jamilah dan Ayu Ting Ting. 
***

Pengamatan saya dari beberapa foto yang tersebar, seniman yang membuat eksperimen sosial Makan Mayit mengespresikan dirinya lewat boneka bayi yang dimutilasi, makanan yang dicetak menyerupai bayi sekecil jempol, serta makanan berbentuk organ otak.

Dari hasil wawancara sang artis, saya mengerti bahwa dia berusaha untuk menciptakan sosial eksperimen tentang propaganda: bagaimana propaganda dapat mengubah persepsi dan mengontrol tindakan kita. Dalam hal ini tahu dan sayuran dikemas menyerupai organ manusia: apakah lantas kita akan tetap lahap menyantapnya? Sang artis pun mengantisipasi ruang diskusi bagi para undangan.

Dalam wawancaranya yang saya baca, dia menyebutkan inspirasi eksperimen sosial ini awalnya dari orang tuanya yang masih begitu ketakutan ketika dia memakai baju dengan gambar palu arit. Serta bagaimana film propaganda G30S/PKI dia rasa masih membuat kesan yang dalam terhadap persepsi masyarakat.

Berbekal pengalaman eksperimen sosial serupa di Jepang, di tanah air dia terinspirasi untuk membuat eksebisi bertema kanibal setelah mengetahui Sumanto telah keluar dari penjara. Sang artis berusaha mendorong dinding batas kewajaran, masuk ke dalam zona ketakutan masyarakat tanah air. Eksperimen sosialnya pun menuai kontroversi. Teriakan paling nyaring, yang saya saksikan dari lingkaran saya sendiri, datang dari seorang ibu muda. 

***

Teman saya merasa eksperimen sosial yang digelar oleh sang artis sangat tidak sensitif kepada para ibu. Dia menyebut ibu hamil, ibu pejuang ASI, ibu yang mengalami keguguran, ibu yang anaknya meninggal atau pun pasangan suami isteri yang telah berusaha keras untuk punya anak namun belum dikaruniai keturunan pasti terluka karena ulah seniman ini.

Kemarahan para pemberi protes semakin menjadi karena sang artis menyebut makanannya menggunakan ASI dan ekstrak keringat dari ketiak bayi (walaupun saya tidak pernah mendapati bayi saya basah ketek). Bagai bola salju, diangkatnya kasus ini dalam sebuah akun gosip ternama mengakibatkan bullying beramai-ramai kepada sang artis. 

***

Saya mengerti konten dari eksperimen sosial sang artis eksplisit dan dapat memacu amarah serta trauma bagi beberapa orang. Wajar apabila mereka mengemukakan pendapat dan protes kepada pihak yang membagi gambar itu kepada mereka tanpa peringatan. Namun, saya tidak setuju dengan protes yang berujung menjadi bullying kepada sang artis. 

Saya bertanya-tanya, apabila mereka merasa sang artis tidak sensitif kepada perasaan seorang ibu, lantas apakah membully dan menjatuhkan seorang artis perempuan juga adalah kegiatan yang pantas untuk dilakukan seorang ibu?

Puting saya pernah hancur, payudara saya pernah sekeras batu, leher, siku pundak, tulang belakang saya sudah berubah permanen karena menyusui bayi saya. Namun saya tidak setuju apabila para pembully membawa nama ibu dan pejuang ASI untuk menjatuhkan sang seniman.

Baru saja saya membaca Menteri Pemberdayaan Perempuan telah angkat bicara mengenai kasus ini. Sebagai ibu dari seorang anak perempuan, alih-alih menghukum sang seniman, saya lebih berharap ibu menteri bisa memberi ruang bagi para seniman perempuan berbakat, menjamin kebebasan mereka untuk berekspresi.

Mungkin Ibu Menteri bisa menjawab: ada berapa seniman perempuan tanah air yang telah melakukan pagelaran sampai ke luar negeri sambil membawa nama Indonesia?  Apa yang telah Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah lakukan kepada para seniman perempuan tanah air?

***

Secara keseluruhan saya merasa warga tanah air seharusnya bisa bijak membuka pikiran terhadap gagasan yang saya rasa penting dan signifikan dewasa ini. Setiap hari propaganda mendarat dalam genggaman kita dengan embel-embel “dari grup sebelah”. 

Di tengah hoax atau pun alternative facts yang terus meluapi kehidupan kita, apakah kita akan terus mempercayai suatu benda hanya sebatas pembungkusnya tanpa bisa berpikir kritis? Apakah kita akan terus percaya dengan apa yang kita baca hanya karena tulisan itu dari internet? Apakah kelak anak cucu kita juga masih akan membagi pesan berantai tanpa berpikir? 

Mungkin ada yang lebih seram dari memakan tahu dan sayur dari kepala boneka bayi: termakan propaganda dan selamanya tertelan dalam ketakutan.

***

Tinggalkan komentar