comments 2

Halo, Mama!

Suamiku bete. Di Facebook ada yang membagi gambar orang melahirkan yang sedang diepisiotomy* (*digunting satu bagian di vaginanya untuk membuka jalan keluar bayi).

*

Saya sangat ingin melahirkan di minggu pertama Agustus. Saya berharap akan bertemu OB saya, dr. Curtis, di rumah sakit sebelum tanggal sepuluh. Saya yakin (atau sangat berharap?) bayi saya akan lahir di awal bulan, saya pun terus menunda untuk bikin janji bertemu OB. 

Namun, manusia boleh ngotot tapi Tuhanlah yang berkehendak. Ketika Agustus sudah sampai pada hari kesebelas saya menelepon klinik untuk membuat janji.

Saya mendapat jatah bertemu Jumat sore, 14 Agustus 2015, satu hari sebelum prediksi kelahiran anak saya. Pada pengecekan minggu ke-40 itu saya bilang ke dr. Curtis kalau kadang saya merasa sedikit sakit di daerah selangkangan, tapi cuma sebentar sekali.

Dr. Curtis berkata mungkin yang saya rasakan itu kontraksi! Tadinya saya menolak untuk dicek pelvisnya, tapi karena saya mengaku merasa sakit akhirnya dr. Curtis memasukkan jarinya ke dalam sana -yang diiringi dengan teriakan saya, untung ditemani suami. Setelah pengecekan, dr. Curtis bilang pelvis saya sudah lembut tapi belum ada pembukaan.

Sehabis dari klinik, suami mengajak saya ke downtown. Dia ingin menghabiskan waktu di luar karena terus teringat gambar episiotomy yang dengan vulgarnya tersebar di media sosial. Kami ke sebuah kafe yang namanya Tempo, saya pesan waffle dan jus jeruk bali, suami pesan kopi.

Tak berapa lama seorang kawan kami yang kerja di sekitar downtown melintas di depan kafe. Kami yang nongkrong di teras kafe pun langsung geger dan memanggil dia untuk ikut nongkrong sebentar.

Selain kawan yang kerja di downtown ini, suami saya juga lagi janjian sama seorang mahasiswa S1 kampus Michigan yang sedang magang di Evanston. Sudah lama kami tidak mendengar kabar dari dia. Karena hari itu cerah sekali, kami pun memanggil dua kawan yang lain untuk ikut bergabung.

Jumat itu, saya terus menerus bolak-balik kamar mandi. Setelah saya diraba pada bagian dalam vagina, saya berdarah, untungnya tidak terlalu banyak, kondisinya seperti berdarah setelah pap smear.

Kami nongkrong santai sampai malam tiba. Teman kami yang datang dari Evanston ikut ke rumah. Ketika saya beristirahat di kamar rasa mulas semakin kuat, tapi saya masih bisa tertidur pulas.
Sabtu pagi saya masih merasa mulas, tapi mulasnya malu-malu. Hari itu saya makan telur rebus banyak sekali (mungkin 5 butir), kurma dan roti gandum diolesi madu, saya paksakan makan walaupun mual.

Saya juga membereskan rumah dan bergerak mengikuti gerakan SNSD lagu GEE dan Genie, juga lagunya Brown Eyed Girls yang Abracadbra (saya bukan penggemar K-Pop jadi lagunya jadul sekali, zaman kuliah cuma tau lagu ini dan joged-jogednya mereka dipakai untuk lucu-lucuan di kampus). Hari Sabtu ini darahnya sudah tidak sebanyak hari sebelumnya, kata teman saya yang dokter, darah yang kemarin itu bloody show.

Minggu pagi saya terbangun karena mimpi yang aneh dan perut mulas yang datang dan pergi dengan konstan. Saya bertanya di grup keluarga saya (yang tiga orang anggotanya adalah ibu) dan menurut mereka itulah kontraksi yang saya tunggu-tunggu!

Saya langsung meminta suami untuk ikut mengunduh aplikasi pencatat jumlah dan frekuensi kontraksi. Pagi itu saya kembali makan telur yang banyak, roti gandum madu, dan kurma. Tidak lupa melakukan butterfly pose, jongkok berlama-lama juga joged-joged SNSD.

Wajah saya yang tadinya happy dan berseri-seri sudah mulai berubah menjadi wajah keletihan ketika suami saya terus mengajak untuk ke rumah sakit.

“Nanti dulu, sayang. Kalau datangnya belum bukaan 4 ntar kita disuruh pulang lagi loh,” kata saya.

Suami rungsing karena menurut hitungan dia pola kontraksi saya sudah 4-1-1 (seperti diajarkan waktu childbirthing class: kontraksi setiap empat menit, lama kontraksi satu menit, berlangsung satu jam). Suami pun menelepon rumah sakit, staf yang menjawab telepon memberi saran agar kami ke RS untuk dicek. Saya masih meminta suami menunggu sampai jam 1 siang.

Sekitar setengah dua, kami pun bersiap, tas perlengkapan saya dan suami, tas perlengkapan bayi dan carseat sudah saya taruh di ruang tengah sejak dua minggu sebelumnya. Belakangan saya agak nyesal karena terlalu banyak bawa barang (gara-gara pinterest!!!), harusnya saya mendengar kata pelatih waktu childbirthing class: ngga usah bawa apa-apa (selain baju pulang suami-isteri), semua tersedia di RS.

Sekitar jam 2 siang kami sampai di Swedish Covenant, tempat saya akan melahirkan. Saya diperiksa oleh bidan jaga. Dia bilang, dr. Curtis dari klinik saya tidak bekerja di hari Sabtu-Minggu, jadinya saya akan ditangani oleh seorang bidan dari grup klinik saya.

Dalam hati saya merasa doa saya didengar oleh Tuhan. Di akhir masa kehamilan saya memang sangat ingin melewati proses persalinan bersama bidan. Saya ingin ditemani sosok keibuan berhubung mama saya tidak bisa menemani, tapi bidan di Swedish Covenant tidak menerima pasien yang sudah masuk trimester ketiga. Eh, karena melahirkan di hari Minggu, jadi deh ditangani bidan.

Bidan jaga yang pertama mengecek saya, dia memulai pemeriksaan dengan melakukan tes ultrasound (USG), lalu kembali melakukan perabaan bukaan (saya kembali teriak-teriak). Dari pemeriksaan USG, janin terlihat sudah di bawah, tapi kata bidan dia menghadap ke depan “sunny side up”. Kata dia janin yang menghadap ke depan prosesnya lebih lama, makanya saya belum mengalami pembukaan sama sekali.

Bidan jaga pun kembali ke posnya, setelah itu suster yang menyambut kami datang kembali untuk membantu saya bersiap-siap pulang. 

“Lebih baik kalau kau pulang, kalau di rumah sakit, kau harus mengikuti jadwal kami,” kata si suster. 

Saya paham maksudnya, bila sudah diterima, pasien harus melahirkan paling lambat 24jam sejak masuk rumah sakit.

Selagi dia membereskan kabel-kabel monitor di perut saya, saya merasakan ada yang mengalir di dalam area vagina saya. Saya tidak yakin, apakah saya pipis (ibu hamil suka susah tahan pipis, beneran!) atau itu adalah air ketuban. Saya diam saja waktu saya merasa kan sensasi air mengalir (malu, barangkali pipis 😂). Baru ketika si suster pergi, saya bilang ke suami kalau saya merasa ada air mengalir, entah pipis atau air ketuban. Suami saya pun memanggil suster yang tadi.

Si suster coba mengambil sampel air yang ada di vagina saya.

“Saya tidak yakin itu pipis atau air ketuban,” kataku.

Dia melihat ke cotton bud panjang yang dia gunakan.

“Ya, saya rasa ini air ketuban, tapi kita harus cek dulu. Wow, kamu tidak jadi pulang!”. 

Bidan jaga kembali datang dan dengan riang menyelamati kami yang sudah berhasil menghemat ongkos Uber.

*

Ketika kami sudah di LDR (labor and delivery room) bidan jaga menginformasikan kalau hasil tes air ketuban saya menunjukkan janin saya sempat BM (bowel movement) alias ee’ dalam perut saya.

“Makanya tadi kau lihat kan airnya agak kehijauan,” kata bu bidan.

Mengenai janin yang ee, kata dia tidak ada yang harus ditakuti, hanya saja selagi saya melahirkan akan ada dokter yang menemani, kalau-kalau anak saya lahir sambil menelan air ketuban dan tidak menangis. Walaupun disuruh untuk ‘jangan khawatir’, mendengar ini tentu saja saya jadi takut-takut. ‘Untungnya’ beberapa saat kemudian rasa sakit karena kontraksi mengalihkan ketakutan saya.

Kami masuk LDR sekitar 3.30 sore, setelah bidan jaga pamit dan menyesal bukan dia yang menenani persalinan saya (saya suka dia! Ibu-ibu baik hati ❤️❤️) suami saya pergi untuk beli makan, saya mondar-mandir di kamar.

Beberapa saat kemudian bidan pengganti dr. Curtis datang, namanya keren sekali, Anne Conquest. Sepertinya dia campuran kulit hitam dan putih, atau kulit hitam dan latin. Rambutnya “natural hair” kribo dan diikat dua. Bidan Anne sangat berbeda dengan bidan jaga, dia masih muda, badannya tinggi, tegap dan kekar. Saya bertanya tentang posisi bayi back to back (atau sunny side up) dan apa yang harus saya lakukan biar badannya berputar. Bidan Anne menyarankan saya berdiri sambil nungging bertumpu pada sesuatu dan menggoyangkan pinggul ke kiri kanan (mirip-mirip goyang itiknya Sazkia Gotik tapi sambil pegangan).

Setelah dia pergi saya bergoyang itik dan mondar-mandir sambil menunggu suami saya datang kembali. Menjelang maghrib baru suami saya datang, dia pun makan (kasihan, pasti kelaparan). Saya tidak nafsu makan, cuma nyicip-nyicip salad pesanan saya sedikit lalu kembali mondar-mandir.

Tak lama kemudian ada dokter muda yang masuk memperkenalkan diri. Dia adalah dokter jaga yang akan ikut selama saya bersalin (untuk jaga-jaga bila janin minum air ketuban), dia juga berpesan kalau mau epidural saya tinggal pencet tombol panggil.

Sekitar pukul 7, bidan Anne datang untuk mengecek bukaan saya. Saya tetap konsisten untuk berteriak 😂. Kata bidan Anne saya sudah bukaan 4, dia cukup terpukau karena selama kurang dari 4 jam saya berangkat dari bukaan 0 ke bukaan 4.

Sebelumnya suster saya berkata dari bukaan 0-5 itu paling lama prosesnya. Bidan Anne meninggalkan kami dengan menyarankan saya untuk rileks dan coba mandi.

Saya mengikuti sarannya. Selama mandi, saya merasa kontraksi semakin hebat. Saat menyeka badan dengan handuk juga demikian, saya gemetaran, kedinginan sambil kesakitan karena kontraksi. Selesai berpakaian (saya menggunakan gaun malam hitam punya saya sendiri) saya menatap suami saya dalam-dalam.

“Pa, apa pakai epidural saja ya?” kataku. 

Sebelumnya, saya selalu mewanti-wanti suami saya “Pa, nanti kalau aku mau epidural atau csec jangan dikasih ya!”. Tapi setelah saya mandi, kontraksinya semakin hebat, saya tidak bisa menahan lagi.

Suami memanggil suster. Suster datang dan langsung sigap ketika saya berkata saya ingin epidural. Ternyata, pemakaian epidural tidak langsung njus njus njus. Saya harus diinfus, perut saya harus kembali dipasangi kabel yang berarti saya harus tetap tiduran. Pada posisi bayi yang sunny side up konon punggung akan jauh lebih sakit, saya yang disuruh tetap tiduran pun langsung merasakannya.
Selama suster berusaha menusuk jarum infus di tangan saya, saya terus meraung sambil menutup mata. Suster yang tegang beberapa kali gagal memasang infus dengan sempurna, sampai akhirnya dia memanggil temannya.

Suami saya bilang ketika si suster salah tusuk, darah saya sempat menyembur karena saya mengencangkan badan sambil berteriak kesakitan karena kontraksi. Suami saya dan si suster cuma pandang-pandangan, tidak ada yang berani buka suara dan mau memberi tahu saya yang lagi tutup mata kesakitan tentang darahku yang muncrat. 

“Rasanya waktu itu aku pengen terjun aja dari jendela!” aku suami saya kemudian.

Suster kedua yang sepertinya lebih ahli dalam hal tusuk menusuk infus melihat saya yang penuh penderitaan berkata:

 “Wow, kau kontraksi back to back gini, sudah berapa lama? Mungkin harus dicek sama si bidan,” katanya. 

Suami saya juga nunjukin kalau saya keluar banyak sekali darah dari vagina.

Akhirnya sekitar jam setengah sepuluh malam bidan Anne datang melihat kondisiku yang sudah seperti orang kerasukan lagi di ruqiyah. Dia langsung memasukkan tangannya ke dalam vaginaku dan berkata:

“Huwooo! Buset, kau sudah bukaan sepuluh! Ayo! Kalau ngerasa kontraksi, lawan! Dorong!”.

 Saya yang disuruh untuk mulai dorong seperti dapat hidayah dari Tuhan. Saya laksana Goku yang menerima bola semangat dari seluruh penduduk bumi.

“I wanna squad!” kata saya pada bidan Anne. 

“Show me!” balasnya.

 Saya pun mengambil posisi jongkok dan mencoba mengedan.

“Kayaknya kamu lebih bagus tiduran miring kayak tadi deh,” kata bidan Anne.

 “Ngga. Aku bisa,” kataku.

Suamiku yang pintar langsung sigap mengambil posisi di belakangku, memelukku dari belakang, seperti yang telah kupesankan padanya sejak childbirthing class.
Saya mengedan sekuat tenaga. 

“Wow! Look at that! Wow!” Ujar bidan Anne (sejujurnya, suamiku lebih pandai menirukan si bidan yang mondar-mandir sambil nge-coach-in aku).

Waktu kepalanya sudah keliatan bidan Anne bilang saya bisa coba pegang kepalanya.

 “Uuu.. Not now!” kataku.

 “Oh my God! Sayaaang, sudah kelihatan!” kata suamiku.

Melihatku keletihan, bidan Anne sempat menyuruhku istirahat, berhenti sejenak mengedan.

 “No, I can do this,” kataku. 

Akhirnya saya mengedan dengan mengeluarkan kemampuan yang saya tidak tahu ternyata ada dalam diri saya.

Saya bisa merasakan ada yang terbuka di vagina. Ada kulit yang robek perlahan. Saya bisa merasakan kepala bayiku keluar, dan… Slorrrr….

Setelah dua puluh menit mengedan sambil memejamkan mata, saya membuka mata dan melihat bidan Anne menangkap bayiku. Bayiku menangis sekuat tenaga. Segala puji bagi Tuhan.
***

2 Comments

  1. Carolin

    Wah seru sekali ya mbak ceritany.. saya juga lg hamil 7 bln dan kemungkinan melahirkan di Chicago juga.. salam kenal ya

    Suka

    • Mama Rumahan

      Hai mba Carolin, di Chicago sebelah mana mba? Semoga lancar dan sehat semua ya mbaaa…

      Suka

Tinggalkan komentar