comment 0

Asing

Satu hal yang dapat saya observasi sebagai orang Indonesia setelah dua tahun berada di negeri abang Sam adalah perbedaan perilaku warga lokal terhadap warga negara asing. 

*

Sekitar enam belas tahun lalu keluarga kami menjadi tuan rumah bagi seorang pelajar sekolah menengah atas dari Australia. Tahun sebelumnya kakak saya mengikuti program pertukaran pelajar ke negara kangguru jadi tahun berikutnya keluarga kami menerima kunjungan balasan.

Sebut saja namanya Kalkun -sebenarnya Kalkun adalah panggilan kesayangan dia untuk kakak saya yang lain hehehe-. Kalkun seorang murid laki-laki yang baik hati, rambutnya panjang dan gemar bermain gitar bersama kakak laki-laki saya. 

Mama, bapak, keempat saudara saya dan saya menyambut Kalkun dengan suka cita. Sebelum dia tiba berbagai hal sudah kami antisipasi. Tetek bengek sampai ke masalah sendok, garpu serta jus apel untuk sarapan dia (kita tidak pernah minum jus macam begitu untuk sarapan) siap sedia.

Saya ingat sekali, rumah kami di Makassar waktu itu tidak memasang air panas untuk mandi, namun ketika Kalkun datang bapak menginstal air panas -setelah dia pergi dilepas lagi-.

Bukan hanya keluarga kami yang bersuka cita dan sangat mengantisipasi kedatangan Kalkun. Setiap hari Kalkun selalu sibuk karena banyak undangan dari sana-sini, belum lagi piknik bersama keluarga kami.

Kalkun diterima dengan sangat baik oleh semua orang yang dia temui di Makassar. Setelah satu bulan tinggal bersama kami, dia beberapa kali kembali mengunjungi kami. Di antaranya ketika kakak saya (yang waktu itu ke Australia) menikah, juga ketika kakak laki-laki saya (yang berbagi kamar dengan dia) menikah  dan tahun berikutnya ketika anak pertama kakak laki-laki saya itu lahir.

Selain Kalkun ada juga Sofia (bukan nama sebenarnya). Duduk di bangku sekolah menengah atas, sahabat saya menjadi tuan rumah bagi Sofia, gadis Jerman yang kebetulan ayahnya berdarah Indonesia.

Semua orang di sekolah saya ingin menjadi temannya, media lokal menulis artikel tentang dia. Satu kali saya berjalan bersama dia dalam sebuah acara pameran distro (hahaha jadul!) dan salah satu tenan memberikan kami jaket gratis! Asyik yah! Hihihi. Dia juga kembali ke Makassar ketika kakak sahabat saya dan sahabat saya menikah.

*

Bagaimana dengan pengalaman saya sebagai warga asing? 

Sebelum tinggal di Amerika, saya pernah menghabiskan waktu dua bulan di India dan satu bulan di Malaysia.

Di India, saya merasa warga lokal kurang lebih memperlakukan orang asing seperti halnya orang Indonesia memperlakukan orang asing. Saya tinggal di daerah bernama Visakhapatnam, mungkin sekelas kecamatan di Indonesia. Kalau di Sulawesi Selatan, Visakhapatnam seperti Pare-pare, kalau di Jawa mungkin seperti Cianjur. 

Saya di Visakhapatnam bersama delapan teman dari negara lain: Brazil, Cina, Uruguay. Dua di antara mereka kaukasian. Tidak jarang ketika jalan-jalan di pantai warga lokal mengajak kami berfoto terutama pada teman yang kaukasian (seperti halnya orang kampung di Indonesia yang suka mengajak bule berfoto).

Saya pernah menghabiskan waktu seharian jalan-jalan sendiri di pantai Vishakapatnam dan seorang warga lokal menawari dirinya untuk menjadi pemandu wisata saya. Dia laki-laki, hitam, besar, dan tidak memperkosa saya -seperti yang ditakuti oleh orang rumah saya, bahkan oleh teman-teman India saya-.

Terima kasih karena sudah menjadi manusia beradab yang tidak sembarangan memerkosa gadis polos seperti saya empat tahun lalu.

Teman-teman warga lokal yang adalah panitia program kami juga (jelas) sangat ramah menyambut kehadiran kami dan dalam melakukan aktivitas bersama.

Berbeda dengan Malaysia. Humm… saya sebenarnya tidak setuju dengan ‘sentimen anti Malaysia’ karena saya sendiri adalah penggemar Siti Nurhalizah, namun menurut pengalaman saya warga lokal Malaysia tidak sehangat orang India maupun Indonesia dalam berinteraksi dengan orang asing. 

Saya ke Kuala Lumpur, Malaysia sebagai hadiah karena mendapat predikat Mapres di kampus saya. Selain empat Mapres dari setiap jurusan ada beberapa mahasiswa yang ikut serta. 

Kampus tuan rumah merupakan salah satu kampus ternama di Malaysia. Mereka tentu menyiapkan agenda dan panitia untuk beramah-tamah menyambut kami. Namun dari pengalaman interaksi saya dengan warga lokal di luar kampus (seperti di pasar suvenir, di kedai dan di kendaraan umum), mereka tidak antusias, bahkan beberapa kurang ramah terhadap kami. 

Sejauh pengamatan saya, dibanding Jakarta, Kuala Lumpur lebih banyak disemuti warga internasional. Bisa jadi perlakuan warga lokal berbeda kepada turis ras kaukasian? Saya tidak tahu karena saya bukan kaukasian, hehehe.

*

Amerika!

Satu kali teman saya mengundang saya untuk ikut masuk ke dalam kelas di mana dia akan membawakan kuliah umum. Dia diundang oleh temannya yang professor di Northwestern University. Saya tentu saja mau ikut mencicipi bangku kuliah.

Teman saya, sebut saja namanya Teddy pernah tinggal di Indonesia pada tahun ’80an. Kami berkenalan di sebuah kesempatan dan dia meminta saya untuk menjadi tutor bahasa Indonesianya karena bahasa Indonesia yang dia tahu sudah kuno. Saya mengiyakan keinginannya dan kami pun menghabiskan minggu pagi untuk bercakap bahasa Indonesia selama satu tahun kemudian. 

Kembali ke bangku Northwestern. Setelah memberikan kuliah umum, Teddy, si Professor dan saya pergi ke sebuah kafe untuk mengobrol. Si Professor terus bercerita dengan Teddy yang beberapa kali meminta pendapat saya tentang apa yang dia bicarakan. 

Seusai nongkrong, di dalam mobil menuju rumah saya, Teddy berkomentar (kira-kira)

 “O, he was so rude! He is only want to talk about himself. I said that you are from Indonesia and he seems like he doesn’t interested in it!”.

Saya sangat terharu mendengar apa yang Teddy katakan, padahal saya santai saja sama si Professor, dia sudah tua dan saya mengerti orang tua suka membicarakan tentang diri mereka sendiri. 

Teddy bisa dibilang adalah warga Amerika yang paling baik kepada saya dan keluarga saya. 

Kenyataan bahwa dia pernah tinggal di Indonesia dan beberapa kali kembali ke Indonesia untuk menulis artikel bagi media asing membuat saya yakin Teddy pasti bertemu dengan banyak warga Indonesia yang beramah-tamah kepadanya. Dia ingin membalas keramahan orang Indonesia kepada saya dan keluarga saya yang kini tinggal di sini.

Ini adalah tahun ketiga kami diundang oleh ibu Teddy untuk menghabiskan Thanksgiving bersama di villanya di utara Chicago. Ketika saya masuk Rumah Sakit karena pendarahan dan Teddy berada di Indonesia, dia meminta isterinya untuk menjemput saya dari rumah sakit. Anak perempuannya yang adalah redaktur senior majalah Chicago mengajak saya untuk ikut di klub bukunya dan mengundang kami ke acara pertunangannya. Itu adalah sedikit keramah-tamahan Teddy dan keluarganya kepada kami.

Saya dan suami saya berutang budi banyak sekali kepada Teddy dan keluarganya.

Tapi tidak semua warga Amerika Serikat mengetahui akan sebuah negara bernama Indonesia. Tidak jarang saya dikira orang Amerika Selatan, Filipina atau Thailand. Salah satu orang yang membuat saya terpukau akan kenyataan ini adalah guru ESL (English as Second Languange) saya yang mantan dokter dan guru penuh waktu yang sama sekali tidak pernah dengar tentang Indonesia. Dia bahkan ragu dengan fakta-fakta yang saya katakan seperti jumlah pulau dan jumlah penduduk yang Indonesia miliki.

Bagi beberapa di antara mereka, terutama bagi para pendukung Donald Trump, warga negara asing seperti saya adalah “pencuri pekerjaan” dan “pencari bantuan kesejahteraan”. 

Banyaknya warga negara asing di Amerika membuat mereka kehilangan rasa antusias seperti yang kita (warga Indonesia) rasakan ketika bertemu dengan bule. 

Menjelang pemilu dengan kampanye yang sangat kasar, saat ini saya kadang bahkan merasa sungkan kepada warga lokal, seakan saya tidak diharapkan untuk berada di sini. 

Yaa.. saya rasa penilaian rendah pada diri saya sendiri di Amerika Serikat juga tidak lepas karena saya terlalu banyak menghabiskan waktu membaca artikel pemilu online serta membaca komentar para bigot di dalamnya. Padahal saya berada di Chicago, (Evanston masih diitung Chicago hehe), salah satu kota yang mayoritas liberal. Semua teman dan orang asing yang berinteraksi dengan saya di sini sangat ramah dan tidak sungkan membantu (saya selalu hampir menangis ketika ada yang menawari membantu mengangkat stroller di tangga stasiun kereta).

Walaupun warga lokal Amerika datar-datar saja kepada kami warga asing, saya bersyukur karena saya tidak pernah merasakan sendiri didiskriminasi atau pun menjadi korban kekerasan karena ras saya. Sekali lagi, sebenarnya ketakutan saya datang dari terlalu banyak menghabiskan waktu terkoneksi dengan media online.

Demikianlah observasi sementara saya tentang perlakuan warga lokal terhadap warga asing di beberapa negara yang pernah saya tinggali. Bila ada pengalaman baru mungkin tulisan ini akan bersambung, hihihi.

Tinggalkan komentar