comment 0

Bully tersayang….

Waktu SMP, terutama waktu kelas satu dan dua, saya sering sekali dibully.
*

Lulus dari SD Negeri dengan nilai yang sangat tinggi, saya super percaya diri pasti akan diterima di SMP Negeri favorit di Makassar.

Nyatanya kala itu proses seleksi penerimaan murid SMP Negeri sarat dengan praktik nepotisme. Banyak yang diterima adalah anak dari orang-orang yang “bersikeras” walaupun secara tertulis anak mereka tidak diterima, sama seperti saya. Anak-anak yang berhasil masuk sekolah favorit berkat usaha orang tuanya, walaupun waktu pengumuman namanya tidak tercantum, di Makassar istilahnya “Letjen” alias Lewat Jendela -tidak lewat pintu seperti mereka yang lulus murni.

Sebagai langganan rengking 1-2 di salah satu SD Negeri terbesar Makassar, saya syok sewaktu tidak lulus. Orang tua saya mana mau bersikeras seperti orang tua para murid Letjen. Orang tua saya pun waktu itu sangat terkejut kala saya ditolak oleh SMP Favorit (nilai Matematika dan Bahasa Inggris saya cuma beda tipis dari 10!). Alhasil keluarga membesarkan hati saya dengan menawarkan sekolah swasta yang terkenal keren di Makassar.

Masuklah saya ke sekolah Swasta itu. Di Sekolah Swasta ini murid dibagi dalam tiga kelas berisi tiga puluh murid. Indeks A adalah murid dengan nilai tertinggi, berturut-turut ke indeks B kemudian C. Hari pertama saya dites oleh wali kelas A. Nilai saya kurang sedikit untuk diterima di kelas A, dia pun meminta saya mengisi soal yang saya biarkan kosong. Setelah memperbaiki jawaban, nilai saya pas untuk diterima di kelas A.

Ketika saya diterima di kelas A, saya menyadari ada wajah familiar, seorang anak perempuan yang pernah bersaing dengan saya dalam kompetisi Matematika tingkat SD.

Singkat cerita di kelas A saya ternyata tidak sepintar yang saya duga. Teman-teman saya sangat cerdas, rajin, dan berani mengemukakan pendapat. Tentu saja, mereka rata-rata menghabiskan waktu luangnya untuk les mata pelajaran tambahan. Mereka juga pintar olah raga, semua bisa berenang, karya tugas seni mereka bagus, dan kebolehan lain yang mencerminkan kualitas akademik yang sangat baik. Selama duduk di kelas A saya selalu hampir menjadi juru kunci, rengking 28-29 dari 31 murid.

Setiap selesai tes pertengahan semester dan semester, sekolah mengundang orang tua kami untuk datang dan mengamati nilai kami. Semua hasil tes saya dan teman-teman dijabarkan dalam selembar kertas sehingga orang tua dapat dengan mudah menandai anaknya ada diperingkat ke-berapa. Tidak lupa wali kelas akan menorehkan stabilo merah pada nilai yang berada di bawah rata-rata kelas. Saya selalu was-was setiap pertemuan orang tua dan guru walaupun setiap melihat nilai saya orang tua saya tidak pernah protes. Saya tertekan sendiri. Tekanan ini baru berakhir ketika saya duduk di kelas tiga dan digeser ke indeks B. Di sana saya berhasil masuk rengkin lima besar. Saya lulus di peringkat sebelas sekolah (yah nyaris sepuluh besar sekolah lumayan lah).

*

Tekanan tidak hanya dalam hal akademik. Saya pun tertekan dalam pergaulan.

Sekitar 2002, film Meteor Garden sedang marak-maraknya. Tokoh Sanchai ceritanya bersekolah di sekolah mahal padahal dia bukan orang kaya. Dia disebut sebagai “1%” dan selalu dibully oleh kelompoknya Dao Ming Tse. Saya merasa bisa merelasikan diri dengan Sanchai.

Waktu SMP saya merasa seperti 1%. Teman-teman SMP saya mayoritas adalah anak orang kaya, saya berteman dengan anak pemilik hotel, anak dokter terkenal, anak pengusaha kaya, dll. Setiap pagi kawasan depan sekolah kami akan macet karena banyaknya mobil berjejer yang mengantarkan murid Sekolah Swasta tempat saya menimba ilmu.

Saya merasa sangat kecil hati. Pertama karena ternyata saya tidak sepintar yang saya duga, kedua karena saya bukan anak konglomerat seperti teman-teman saya, ketiga (masih ada hubungannya dengan demam Sanchai di awal 2000an) karena kulit saya hitam dan rambut saya tidak lurus.

Oh iya, harus saya sebutkan mayoritas teman saya adalah warga keturunan Tiongkok sehingga tekanan untuk berkulit putih dan berambut lurus benar-benar terasa.

*
Saya tidak bisa mengingat, apa yang membuat saya menjadi bahan bulan-bulanan para senior tukang bully. Kalau tidak salah sih karena saya masuk belakangan dan “belum di-MOS” sehingga mereka yang merasa berwenang merasa berhak mengerjai saya. Namun, “MOS” yang mereka berikan berkepanjangan dan keluar dari kaedah pengenalan sekolah.

Sering kali saya di”gep” (istilah orang Makassar untuk dibully) tanpa alasan yang jelas. Saya terus menerus ditanyai ini-itu oleh senior, disuruh ini-itu (menyanyi, joged, menebar pesona). Saya juga dimarahi dan diinterogasi. Bahkan mereka membaca buku harian saya dan mencemooh saya atas apa yang saya tulis di sana.

Saya mengutuki diri sendiri. Berkali-kali saya memohon kepada orang tua saya untuk dipindahkan ke sekolah lain, namun tidak pernah berhasil. Mama saya akan menyebut nama dua sahabat saya, “Nanti kan kelas tiga kamu akan karyawisata ke Bali sama X dan Y, tahan mih dulu,” kata dia.

Mendengar jawaban Mama saya hanya bisa menangis. Masa itu saya sangat depresi sehingga Mama saya hanya bisa pasrah karena setiap minggu saya pasti selalu tidak masuk 1-2 hari. Mama setiap pagi membangunkan saya dengan lembut dan membujuk saya untuk berangkat ke sekolah.

*
Saya kesal sekali setiap saya dibully. Saya mengutuki diri: apakah saya dibully karena saya bukan anak orang kaya? Apakah saya dibully karena saya tidak putih dan rambut saya tidak lurus

Teman-teman saya yang anak orang kaya tidak pernah dipermalukan oleh senior tukang bully. Hanya saya yang selalu diganggu.

Satu orang pernah menyuruh saya merayu-rayu senior laki-laki, kemudian dia akan berujar “Tenang, dia tidak mungkin sama kamu, seleranya dia tinggi,”.

Bully itu benar-benar merusak citra diri saya. Apakah saya sangat jelek? Apakah mereka menertawakan tas dan sepatu saya? Apakah mereka menertawakan rambut dan kulit saya?

Sewaktu SMP saya sangat malu bila harus pulang sendiri dengan Pete-pete (angkot). Setiap saya naik angkot saya selalu was-was takut dilihat oleh teman sekolah saya. Saya tidak ingin terlihat miskin!

Ketika itu saya pun merebonding rambut ikal saya karena saya tidak ingin dianggap dan diejek karena jelek. Saya juga menabung uang jajan saya supaya bisa membeli barang dari Planet Surf yang kala itu bergengsi dan bisa dibanggakan di sekolah.

*

Hahahaha….
Kalau sekarang saya mengingat masa-masa SMP rasanya sangat pahit manis. Ada gejolak yang membuat sesak dalam dada ketika saya mengingat perlakuan para tukang bully yang berusaha mempermalukan saya namun ada juga tawa karena menyadari betapa dulu saya culun dan meletakkan kepercayaan diri pada benda-benda yang sebenarnya tiada artinya.

Kecuali bila naik angkot membuat saya bodoh, saya yang hari ini tidak akan malu lagi menumpang angkot.

Kecuali bila naik mobil mahal membuat saya lebih pintar, saya yang hari ini tidak lagi terpukau dan terkagum-kagum kepada orang yang memiliki mobil mewah.

Kala itu tekanan dari bully membuat saya beberapa kali membayangkan bila saya mengakhiri hidup saya, ya saya sempat merangkai surat perpisahan dan membayangkan apa yang terjadi bila saya tiada. Namun saya bangga telah melewati masa-masa depresif dan penuh pencarian jati diri ketika saya SMP.

Lulus dari SMP saya berhasil masuk ke salah satu SMA terbaik di Makassar. Sekolah berisikan murid-murid cerdas yang mayoritas dari keluarga menengah, beberapa datang dari daerah pelosok. Teman-teman rendah hati yang mengajarkan kepada saya betapa tidak berartinya benda-benda yang saya banggakan kala SMP.

Begitu pula ketika kuliah, saya bersentuhan langsung dengan masyarakat sekitar Jatinangor, Garut, Cianjur. Saya sangat bersyukur dengan segala pengalaman yang telah saya rasakan.

Terima kasih saya yang dulu: saya yang culun, saya yang percaya pada kekuatan magis benda-benda mahal yang melekat pada tubuh akan mendatangkan kepercayaan diri. Hari ini dan sampai kapan pun di masa depan, saya yakin rasa percaya diri saya tidak akan terikat pada benda-benda yang hanya sekedar menempel pada saya.

Terima kasih terutama pada bully yang telah membentuk saya seperti sekarang. Bully yang bersusah payah mengerjai saya, membuat saya merasa kurang, membuat saya merasa jelek dan miskin. Berkat kamu saya mengerti tidak ada yang salah dengan saya.

Tinggalkan komentar