comment 0

Women’s March dan pandangan terhadap aborsi

Sabtu, 21/1, kami sekeluarga ikut meramaikan Women’s March Chicago. Berhubung kami lelet, kami berangkat sekitar jam 10. Teman kami yang lain berangkat dari Evanston menuju Grant Park Chicago sejak pukul 8 pagi. 

Di kereta kami bertemu banyak warga yang menuju pusat unjuk rasa, beberapa membawa balita seperti keluarga kami.

Minggu lalu menjadi kali pertama saya mengikuti unjuk rasa. Seru sekali meresapi psikologi massa yang terdiri dari berbagai lapisan. Remaja, anak kecil, dewasa muda, orang tua meriakkan seruan yang menjadi jimat di hari itu:

 “Show me how democracy looks like?”.

“This is how democracy looks like!”.

“No KKK! No Trump! No racist USA!”.

Sekitar 250 ribu warga memadati pusat kota, berbaris menuju Trump Tower. Setelah unjuk rasa dan membaca beberapa berita, saya baru tahu kalau unjuk rasanya ternyata dibubarkan oleh panitia, sebab panitia hanya mengestimasi lima puluh ribu pengunjuk rasa. Panitia takut akan ada masalah keamanan karena jumlah massa yang membludak.

Namun warga yang sudah berkumpul mana mau dibubarkan begitu saja. Unjuk rasa tetap terlaksana dengan tertib. Chicago menjadi kota dengan pengunjuk rasa terbanyak setelah Washington (500 ribu). 

Beberapa saat setelah saya menuliskan data di atas, saya baru tahu kalau di Los Angeles jumlah pengunjuk rasa mencapai 800 ribu! Padahal saya sudah menuliskan Chicago sebagai kota dengan demonstran terbanyak kedua di berita yang saya kirim pada stasiun televisi tempat saya kerja di Indonesia. Huft, kalau kasih informasi kurang tepat bayangannya selalu menghantui!

Oh iya, selama aksi damai minggu lalu beberapa kali saya menahan air mata. Terutama ketika melihat nenek yang membawa poster bertuliskan “Kami senang bertetangga denganmu,” atau “Kebencian tidak punya rumah di sini,”. 

Secara keseluruhan saya merasa bangga menjadi perempuan yang ikut menyuarakan aspirasi saya minggu lalu. Berikut beberapa poster yang saya setujui: 

Bisakah demonstran di tanah air memegang dua poster yang sama?

Resistance is female!

Bidadari surga


​​

Tadi saya lihat poster ini juga dipajang di depan rumah salah satu warga Evanston

Pro Pilihan

Suatu hari keluarga kami dan dua orang teman berkendara menuju supermarket. Mobil kami melewati Planned Parenthood. Saya pun berujar ke suami, 

“Pa, hati-hati loh, harus ke sini kita kalau aku tiba-tiba hamil lagi,”. 

Ternyata salah satu teman yang juga di dalam mobil tidak setuju dengan aborsi apabila “hanya” didasari keengganan orang tua untuk memiliki anak. Teman kami seorang perempuan yang sangat sadar dan paham tentang nilai dan peran gender. Dia pun menyebut proaborsi sebagai far left. 

Saya awam yang tidak paham betul dengan kiri-kanan-depan-belakang, namun dari beberapa tulisan saya mungkin sudah cukup tersirat posisi saya terhadap aborsi. 

Semenjak merasakan mengandung, melahirkan dan menjadi ibu saya semakin mengilhami paham “Their Body Their Choice”. 

Bayangkan bila saat hamil ternyata saya tidak berkenan, namun suami saya memaksa untuk melanjutkan proses kehamilan. Bisakah suami saya merasakan semua yang terjadi dalam tubuh saya? Tidak.

Suami atau semua orang yang berkomentar untuk seorang perempuan agar melanjutkan kehamilannya walaupun sang perempuan sebenarnya enggan niscaya tidak merasakan sepersen pun dari yang dialami sang perempuan. 

Selama sang perempuan itu hamil, apakah suami dan para komentator mual muntah selama tiga bulan? Apakah mereka sakit punggung? Kebelet pipis secara konstan? Sesak napas bila berjalan jauh? Sakit ulu hati? Tidak bisa pasang tali sepatu? Nyaris pingsan karena kurang zat besi?

Saat sang perempuan melahirkan, apakah suami dan para komentator merasakan kontraksi? Apakah penis dan vagina mereka ikut terkoyak sepuluh sentimeter? Apakah vagina dan penis mereka ikut sobek dan dijahit? Atau apakah mereka juga harus dibelah perutnya?

Setelah sang perempuan melahirkan apakah puting suami dan komentator ikut berdarah dan bernanah karena menyusui? Apakah payudara mereka juga bengkak dan sekeras batu? Apakah vagina dan penis mereka terus berdarah selama satu bulan? Apakah mereka semua ikut menyusui bayi baru lahir yang menangis kelaparan setiap setengah jam? Apakah nereka semua ikut merasakan depresi berat setelah melahirkan? 

Saya rasa bukan tanpa alasan seorang ibu hamil diperlakukan seperti pesakitan yang harus cek darah rutin, cek air seni, kontrol berat badan dan ketentuan klinis lainnya. Bahkan di negara maju pun ibu hamil dan melahirkan masih beresiko tinggi, mungkin terdengar berlebihan tapi benar bahwa nyawa ibu menjadi taruhan.

Hanya jiwa dan tubuh ibu yang berada di tepian hidup dan mati, dialah yang paling berhak memutuskan. Mengapa ada orang yang merasa ingin memilihkan seorang ibu untuk “tetap hamil” atau tidak? Saya tidak mengerti dan tidak menerima. 

***

Baru-baru ini saya menemukan obat aborsi yang dijual bebas di instagram. Saya prihatin membaca testimonial para pembeli. Dari kosa kata dan emoticon yang mereka gunakan sangat terlihat betapa mudanya mereka. Menyebut penjual obat dengan sebutan “Kak” mereka memohon untuk dibimbing pemakaian obat yang benar. 

Sewaktu saya hamil dokter saya berkata, 

“Kalau kamu berubah pikiran, bisa sebelum dua puluh minggu. Setelah dua puluh minggu jarang ada dokter yang bersedia melakukan tindakan,”. 

Saya bangga dengan negara yang begitu terbuka ini. Tanah air, di lain sisi, membuat saya ketakutan. Kasihan anak-anak perempuan itu, anak yang sendirian di kamar mandi menangis melihat darah bergumpal keluar dari vagina. Mereka mungkin tidak paham betul tentang yang mereka lakukan. 

Bagaimana mau membahas aborsi di tanah air? Hal seperti sex, kontraspesi bahkan tubuh pun seolah haram dibicarakan.

Saya dukung aborsi legal dan aman

Tinggalkan komentar