Hari ini untuk pertama kalinya saya mendengar umpatan F dengan penuh kebencian dikumandangkan di dunia nyata. Sudah pasti umpatan F itu sering saya dengarkan di film Hollywood, tapi hari ini perdana seorang di dekat saya mengatakannya. 

Saya berjalan dengan bayi saya di gendongan ketika kami melewati toko kain di dekat rumah kami. Bersandar di dinding, lelaki kaukasian berusia sekitar awal 50-an sedang marah-marah sambil menelepon.

“Let me speak with those f*ing Albanian!” pekik dia.

Energi marah lelaki itu begitu besar sampai-sampai ponselnya terhempas saat dia melangkah di depan saya.

“F***! I F*ING HATE THIS PLACE! WHAT A SH*THOLE!” lanjutnya, sambil memungut ponselnya.

Saya terhentak. Untuk pertama kalinya selama hidup saya di Amerika ada lelaki yang tidak bersikap layak di samping ibu yang menggendong bayinya. Saya ketakutan karena di sepanjang jalan itu hanya ada saya, bayi saya dan si lelaki pengumpat. Saya berjalan dengan lebih cepat sambil berupaya untuk tetap santai, bayi saya memandangi saya, bingung.

Saya merasa tenang ketika saya dapat melihat ada orang di seberang jalan: lelaki kulit hitam sukarelawan penyebrang pedestrian yang sedang berbicara dengan pedestrian, serta karyawan di toko kelontong langganan kami.

Sebelumnya saya merasa was-was karena lelaki pengumpat itu mengucapkan kemarahannya tepat di belakang saya, terus-menerus. Seolah dia memancing reaksi saya, seolah dia menujukan umpatannya untuk saya.
***

Tahun ini, Rabu di hari ke delapan November akan selalu dikenang sebagai hari Pemilu yang menasbihkan Presiden Trump sebagai komandan utama ke-45 Amerika Serikat. Seperti yang saya tuliskan di tulisan saya sebelumnya, lewat media massa dan komentar di media sosial, saya mengikuti proses kampanye negara Abang Sam yang tahun ini diwarnai dengan diksi yang vulgar serta penuh kebencian. 

Rasa takut sebagai minoritas, sebagai perempuan dan sebagai pendatang tentu menyeruak ketika electoral college memihak kepada si empunya kebencian dan kevulgaran sebagai Presiden.

Kurang dari dua puluh empat jam sejak Trump menyanyikan pidato kemenangan, warga penganut paham liberal serta-merta mengumandangkan penolakan mereka, dari New York sampai ke Califonia. Pemberitaan tentang penolakan lelaki berkulit oranye ini tumpah-ruah di media massa nasional dan internasional. Bukan hanya berita tentang protes yang membanjiri media massa, pemberitaan kebencian terhadap kulit hitam, imigran, muslim dan minoritas lainnya juga meluap ke permukaan. 

Di hari pertama Trump terpilih saya begitu terpukul, saya sesak sampai saya merasa perlu keluar rumah untuk bertemu dengan warga lokal lainnya. Saya percaya di salah satu kota terbiru Amerika Serikat ini, saya tidak sendiri.

Hari itu, seperti ada awan hitam tergantung di atas kepala warga Evanston dan Chicago. Sunyi. Di dalam gerbong kereta para penumpang seperti sepakat dalam kesunyian, kami paham, kami merasakan hal yang sama. Bayi saya menangis beberapa saat sebelum saya menggendongnya keluar dari kereta, seorang penumpang di sebelah saya berkata, 

“Yeah, that is how I feel,”. 

Penumpang di sebelah saya merasa ingin menangis seperti bayi dipelukan saya. Saya pun demikian ketika mengetahui Trump terpilih, saya menangis dan tidak bisa tidur semalaman. 

Hari ketiga Trump memenangkan pemilu saya mulai membuka hati. Saya mencoba memahami para rasis, para bigot, dan para seksis akan tetap hidup siapa pun presidennya. 

Mereka yang membenci keberadaan kami di negeri ini, mereka yang memandang rendah kepada kami yang menerima bantuan kesejahteraan, mereka yang menilai harga diri kami dari intensitas melanin yang kami miliki akan selalu ada di sini siapa pun yang terpilih. Kini mereka hanya lebih berani menampakkan diri. 

Saya pun mulai berdamai dengan kenyatan bahwa saya akan tinggal di negeri yang pemimpin tertingginya adalah bintang acara The Apprentice. Saya mulai melupakan ketakutan saya sampai tadi ketika pertama kalinya saya mendengar seseorang marah kepada suku bangsa tertentu sambil menggunakan kata umpatan dengan begitu terbuka.
***

Saya lalu mengingat buku yang beberapa bulan lalu akhirnya saya tuntaskan. Saya selalu ingin membahas buku itu di sini, namun satu dan lain hal membuat rencana itu terus terlupa. Saya rasa tidak ada masa yang lebih tepat dari hari ini, hari-hari awal terpilihnya Presiden Trump, untuk membahas Americanah.

Americanah ditulis oleh orang Nigeria bernama Chimamanda Ngozi Adichie. Menurut saya buku ini bacaan wajib bagi siapa saja yang ingin pindah dan hidup di Amerika Serikat. Ya, siapa saja.

Saya juga heran, bagaimana seorang perempuan dari Makassar, Indonesia bisa merasakan dan sepaham terhadap begitu banyak topik dengan seorang perempuan dari Lagos, Nigeria. Mungkin kah begitulah kemanusiaan, bahwa kita semua merasakan hal yang paralel.

Americanah bercerita tentang Ifemelu, gadis Nigeria yang terpaksa pindah ke Amerika Serikat karena kondisi di negaranya yang tidak memungkinkan dia untuk melanjutkan pendidikan tingginya. Konflik pemerintahan serta minimnya pasokan listrik -bahkan di kawasan pendidikan- membuat Ifemelu meninggalkan orang tua serta kekasihnya untuk mengawali kehidupan serba tidak pasti di tanah air Abang Sam.

Perjuangan Ifemelu yang awalnya berusaha menjadi “Americanah” sebelum akhirnya menerima diri apa adanya membuat saya lebih peka terhadap isu yang dimiliki oleh orang kulit hitam di negara ini. Salah satunya, saya jadi memerhatikan rambut perempuan kulit hitam, apakah mereka biarkan tergerai kribo, diluruskan, dikepang atau dibabat habis. Cerita tentang dia yang meluruskan rambut kribonya hanya untuk dianggap serius membuat saya merasa dekat karena saya pun pernah rebonding karena merasa rambut ikal saya jelek, berantakan dan tidak seindah rambut lurus teman saya terutama yang keturunan Cina.

Selain mengubah tatanan rambut contoh penyesuaian Ifemelu yang juga diceritakan adalah soal tata bahasa. Dia menata bahasanya seperti orang Amerika sebelum dia memiliki kepercayaan diri untuk berbicara dengan nada dan tatanan sesuai kebiasaan dia dalam berbahasa Inggris di Nigeria. Saya sepakat dengan pandangan Ifemelu, remaja Amerika Serikat selalu merangkai kalimat dan mengucapkannya seperti sedang bertanya.

Kisah Ifemelu pun tak lupa dibumbui oleh kisah cinta antar ras dan satu ras namun beda kewarganegaraan. Yaaa.. pada akhirnya bukunya tentang penemuan cinta sejati, sih, namun bagian yang paling saya sukai dan menurut saya paling bermanfaat adalah ketika Ifemelu membahas mengenai tribalisme di Amerika Serikat. 

Pada bagian pertengahan Americanah, penulis menggambarkan perspektif warga kulit hitam baik itu warga negara Amerika Serikat maupun non warga negara dalam menyambut presiden kulit hitam pertama mereka. Air mata menetes diiringi kewaspadaan yang meningkat. Kurang lebih serupa saat ini tapi pada kutub yang sepenuhnya antonim.

Penjelasan Ifemelu mengenai pengkotak-kotakan di Amerika Serikat sangat membantu saya memahami peri berkehidupan di sini. Americanah dengan singkat menjelaskan ada empat kategori yang melapisi populasi negara ini. Warga yang telah melewatkan seluruh kehidupannya di sini sudah makbul, namun pendatang harus mencari tahu sendiri karena kategori ini selalu melekat dalam atmosfir walaupun mungkin teman-teman Amerika kita tidak ada yang mau membahasnya.

Ifemelu menulisnya sebagai tribalisme. Empat tribalisme itu adalah kelas (kaya lawan miskin), ideologi (liberal lawan konservatif), regional (utara lawan selatan), dan ras. Dalam blognya, Ifemelu menjelaskan ras adalah tribalisme yang paling komplek. Di puncak ada kaukasian (kulit putih) dan terbawah adalah warga negara Amerika Serikat berkulit hitam. Hispanik, latin, asia dan yahudi berada di antaranya dengan rengking yang berbeda tergantung lokasinya. 

Oh ya, sama seperti Ifemelu, saya pun pada awalnya tidak menilai yahudi sebagai ras tersendiri. Saya tidak bisa membedakan yahudi dengan kaukasian. Malahan saya berteman cukup lama dengan Teddy sebelum saya tahu dia dan semua keluarganya adalah yahudi. Ternyata sampai saat ini pun yahudi dianggap sedikit lebih di bawah dari kaukasian.

Kembali ke tribalisme, keterangan Ifemelu mengenai empat tribalisme sangat membantu saya memahami Pemilu kemarin. Rangkuman Pemilu tahun ini dikaitkan dengan empat tribalisme secara tidak akademik dan secara awam -karena saya ibu rumah tangga belum jadi peniliti- kira-kira seperti ini:

Kelas kaya diwakili oleh Trump yang ingin pajak dikurangi karena dia rasa merugikan bisnis para pengusaha, sementara kelas miskin diwakili oleh Hillary yang ingin pajak lebih besar, salah satunya nantinya untuk program kesejahteraan sosial. Tentu saja ada juga kelas miskin yang memilih Trump, terutama di daerah rural dengan tingkat pendidikan rendah, juga di negara bagian seperti Michigan di mana mereka kecewa dengan kepemimpinan Obama yang membuat bangkrut Detroit (misalnya). Seorang teman saya yang tinggal di selatan Chicago brrcerita dia harus mengantre selama tiga jam sebelum akhirnya bisa memilih kandidat yang dia jagokan. Siapakah yang punya waktu luang cukup panjang di hari kerja untuk pergi ke cabang pemungutan suara? 

Ideologi konservatif diwakili oleh Trump salah satu cirinya kebijakan antiaborsi yang dia gadang-gadang saat kampanye: “pro kehidupan”, berlawanan dengan “pro pilihan” yang digadang oleh satu-satunya kontestan Pemilu perempuan yang seyogyanya lebih memahami kondisi tubuh dan emosional perempuan. 

Regional di dalam Americanah hanya dibagi dua, tapi dari pengalaman saya dalam Pemilu kemarin pembagian regional kelihatannya lebih kompleks dari sekedar utara dan selatan. Trump didukung oleh warga regional selatan dan tengah, sementara Hillary didukung di daerah pesisir timur dan pesisir barat serta, Hawaii dan Illinois di barat tengah.

Trump jelas mewakili ras kaukasian sementara Hillary meskipun berkulit putih namun harapan mayoritas ras kulit berwarna ada di pundaknya. Tentu saja pada kenyataannya ada juga kulit hitam, cokelat, kuning dan merah yang mendukung terpilihnya Trump seperti halnya banyak juga kulit putih yang memilih Hillary sebagai presiden.

Dari hasil penyilangan empat tribalisme dengan hasil Pemilu yang memenangkan Trump sebagai presiden, secara sangat generalistis saya bisa memandang bahwa yang “menang” adalah kulit putih kaya dengan ideologi konservatif. Saat ini banyak guyon yang berujar kalau Amerika kini adalah milik laki-laki kulit putih paruh baya yang heteroseksual oleh karena itu bagi yang perempuan, gay, lesbian, kulit berwarna, miskin dan masih muda, kehidupan mungkin bisa jadi akan lebih susah. 

Tapi Trump belum juga masuk gedung putih, bagaimana kalau kita mengikuti kata kontestan yang kemarin kalah: kita berhutang pikiran yang terbuka kepada sang presiden terpilih. Bagaimana? Bisa kah saya membuka pikiran saya, mengeluarkan semua ujaran vulgar Pak Presiden, dan memikirkan dia sebagai orang yang sepenuhnya lain? Yaa, seandainya semudah itu.

***

Tinggalkan komentar