Lewat media sosial seorang isteri direktur perusahaan penyedia jasa tiket dalam jaringan (daring) membagikan foto dia mengenakan baju yang dia sebut seharga lima puluh ribu rupiah. Konon netizen jadi ramai karena kepercayaan diri sang ibu muda memamerkan baju murahnya di tengah meluapnya gaya hidup mewah di jagad maya.
Bak semut yang bergotong royong menggiring makanannya ke dalam sarang, media daring seakan berlomba menjadi tercepat memberitakan tentang pernyataan dan kutipan busana si ibu. Tulisan diolah untuk segera dilahap bagi mereka yang melewatkan waktu senggang menggeser jempol di atas layar. Sampai lah ia ke atas ibu jari saya.
***
Beberapa hari lalu suami dan saya membereskan lemari kami. Saya sudah sesak napas melihat lemari kami. Humpfh, lemari di apartemen kami sangat tidak keamerikaan!
Di apartemen kami yang sebelumnya semua lemari menyatu dengan dinding, istilahnya closet. Saya dan suami masing-masing punya satu lemari yang panjangnya setengah lebar kamar. Tempat untuk menyimpan baju bahkan buku suami saya melimpah.
Keadaannya sangat berbeda saat ini. Lemari kami di apartemen yang sekarang seperti lemari kami di kampung suami saya, lemari dua pintu. Saya dan suami sering bercanda kalau di dalam kamar kondisi kami lebih mirip Cirebon daripada Amerika karena lemari yang sudah tidak bisa ditutup ini.
Bayangkan, kami hanya punya satu lemari untuk saya dan suami saya. Pakaian yang kami miliki termasuk mantel musim dingin super tebal menyesaki ruang lemari yang sempit.
Di dalam lemari juga tidak ada sekat tempat menyimpan baju yang sudah terlipat. Hanya ada satu kayu panjang untuk menggantung baju. Saya pun berinisiatif memasukkan satu rak buku pendek ke dalam lemari guna menjadi tempat baju suami.
Berhubung sudah masuk musim dingin, banyak perubahan dalam lemari. Mantel yang tadinya hanya terlipat rapi di bagian atas sudah mulai keluar dari rumahnya dalam lemari kayu tua berwarna cokelat muda.
Yah… banyak pergerakan dalam lemari yang padat mengakibatkan suasana yang semakin riweuh. Untuk mengurangi kegusaran hati, kami pun menghabiskan semalam merapikan lemari. Hasilnya enam bungkus baju yang kami masukkan ke dalam pos penerima baju bekas.
Saya merasa sangat bersyukur dengan adanya pos penerimaan baju bekas. Kami tidak perlu bertemu dengan siapa pun, cukup masukkan baju, sudah! Masalah baju mana yang akan didonasi maupun didaur ulang itu sudah ada yang mengerjakan. Tugas kami cukup mengantarkan ke pos.
Walaupun tampak luarnya masih menyedihkan, dengan lemari yang rapi dan lega saya merasa hidup menjadi lebih ringan.
***
Oh iya, jadi apa hubungannya dengan sekilas info di atas tentang isteri CEO berbaju seharga lima puluh ribu?
Setahu saya di negara maju, beberapa orang dengan pemikiran yang lebih jauh justru oposisi terhadap busana murah.
Pasalnya kini ada banyak sekali baju murah, bahkan di Amerika Serikat. Meledaknya H&M, Forever 21, dan merek-merek lain yang menawarkan busana trendi dengan harga miring berujung pada membludaknya baju di tempat penampungan donasi, seperti Goodwill atau pun Salvation Army.
Belum lagi ada kenyataan pahit di balik maraknya baju murah: buruh pabrik yang diupah hanya sekitar $1 per jamnya.
Saya mengerti dengan gaya hidup mewah dan konsumtif yang menjadi kiblat netizen terutama dalam media sosial berbagi foto seperti instagram. Semua seolah berlomba menjadi termodis, menjadi bagian kelas atas.
Bukan hanya menambah jumlah tagihan kartu kredit, benda mahal menempelkan cap gengsi bagi penggunanya seakan serta-merta mengangkat harkat dan posisi mereka di mata pemirsa (pemirsanya siapa?).
Seorang ibu yang mengkritisi gaya hidup mewah ini pun maju dan membuka harga pakaiannya agar menjadi contoh bagi mereka. Mungkin niatnya baik, namun apakah baju Rp 50.000 di Thamrin City tidak laku sebelum diiklankan oleh sang ibu?
***
Sewaktu saya pulang ke tanah air, saya tidak membawa terlalu banyak pakaian. Saya pun membeli dua baju terusan cantik masing-masing seharga Rp 50.000 untuk saya pakai sehari-hari. Saya juga tidak berpikir panjang sebelum membeli, toh saya memang kekurangan baju.
Setelah membaca banyak artikel tentang bagaimana proses sebuah baju agar bisa berharga miring, juga bagaimana keadaan surplus baju di dunia ini, saya menjadi semakin peka dan hati-hati saat membeli busana. Bukan sekedar memilih yang murah ketimbang yang mahal.
Warga negara maju yang oposisi terhadap fesyen cepat atau fast fashion, lebih memilih membeli baju berkualitas yang umurnya lebih dari satu-dua tahun atau membeli baju dari tempat penjualan baju bekas.
Saya juga sangat setuju dengan gaya hidup minimalis yang sedang trendi di Jepang di mana mereka mengurangi benda dalam hidup termasuk busana.
Saya sendiri tidak terlalu terobsesi dengan benda, mahal maupun murah. Salah satu hal yang tidak saya suka adalah tumpukan benda.
Dari dulu saya jarang membeli baju. Mungkin karena terbiasa sedari kecil: baju baru cuma dibelikan satu pasang setiap lebaran atau oleh-oleh dari Jakarta. Tas dan dompet pun selalu pemberian mama atau oleh-oleh dari pacar (sekarang juga tas ransel saya pemberian suami yang kasihan karena saya masih pakai tas ransel pemberiannya waktu masih pacaran).
Waktu masih bekerja sebagai reporter gaji saya yang Rp 3,4 juta itu lebih banyak habis untuk pijat di salon dan makan enak.
Sahabat saya sempat terpukau ketika dia mendapati saya masih memakai baju pemberiannya beberapa tahun lalu. Dia mengaku setiap bulannya dia merasa selalu harus membeli baju baru. Sekarang dia sampai berhenti main instagram hanya untuk menghindari kebiasaan membeli baju dari mba-sis instagram.
Setelah menjadi isteri dan ibu rumah tangga, saya menjadi lebih perhitungan pada pengeluaran. Untungnya sekarang sudah bisa masak dan suami mau bantu mijitin saya. Di awal bulan uang seringnya langsung saya pindahkan ke dalam rekening tabungan dan saya usahakan untuk tidak ganggu gugat.
Tentu saja saya harus membeli beberapa pakaian di Amerika, seperti baju hangat dan buts salju. Di sini ada berbagai cara untuk mendapatkan busana hasil mendaur ulang. Mayoritas baju kami beli dari toko baju bekas, thrift shop. Selain bisa mendapatkan pakaian berkualitas dengan harga miring, rasa bersalah ketika membelinya juga lebih sedikit. *Baju-baju yang kami bereskan kemarin sih tidak masuk kategori “bermerek” dan pastinya hanya akan ditertawakan kalau kami bawa ke thrift shop langganan kami 😁.
Dari hasil bacaan saya, kita tidak boleh sama sekali membuang baju ke tempat sampah. Walaupun baju itu sudah jelek, lebih baik diantar ke pos donasi. Para pekerja yang menerima baju bekas akan menyortir baju yang layak untuk donasi, dijual kembali atau untuk didaur ulang.
Belakangan saya jadi penasaran juga sih, bagaimana orang di Indonesia menyortir baju bekasnya? Menurut pengalaman saya waktu KKN (kuliah kerja nyata), liputan maupun penelitian di kampung masih banyak warga yang pilihan bajunya tidak sebanyak warga di kota.
Beberapa warga di kampung yang saya temui, sehari-hari menggunakan baju pembagian atribut kampanye. Seorang perempuan skizofrenia yang saya temui dipakaikan baju sekolah untuk laki-laki oleh keluarganya.
Saya masih ingat beberapa kali mama saya meminta saya untuk menisahkan baju yang masih saya pakai dan tidak.
“Mau dikasih orang,” ujar mama saya, tanpa saya tanya balik siapa yang akan dia kasih. Saya tahu mana biasa memberi ke keluarga jauh atau ke asisten yang bekerja di rumah kami.
Selain diberikan langsung kepada yang meminta ke rumah, bagaimana yah tata cara donasi, sortir dan daur ulang baju di tanah air? Tren fesyen cepat ‘kan juga sudah menjajaki bumi pertiwi.
Apabila baju yang sudah kita berikan ke orang lain sudah tidak dia pakai lagi, apa yang terjadi dengan baju itu? Dan apa yang seharusnya dilakukan apabila baju yang kita gunakan sudah ingin kita musnahkan? Apakah dibuang begitu saja di tempat sampah, tanpa mengindahkan konsekuensinya terhadap lingkungan hidup? Pada siapakah saya bisa bertanya dan mengharapkan jawaban? Hhhm….