Sekitar seminggu sebelum pulang ke tanah air kami diundang makan malam di rumah teman.
Teman suami saya, sebut saja namanya Elyasa, adalah seorang botanis yang sedang menempuh pendidkan doktoral di kampus yang sama dengan suami saya. Isterinya bernama Avivah, seorang sejarawan yang sedang membangun karir sebagai akademia dan sedang menyelesaikan program posdoktoral keduanya di University of Chicago.
Mereka orang yahudi taat, Elyasa selalu menggunakan kipah (topi orang yahudi yang mirip peci itu), tapi saya dan suami tidak tahu kalau mereka ternyata vegan dan vegetarian. Kami membawa makanan non vegetarian!
Mereka merasa sangat tidak enak karena lupa memberi tahu kami, tapi tak masalah kami tidak apa-apa dan dengan senang hati membawa pulang makanan yang kami bawa (yang kemudian kami berikan ke tetangga yang baru punya anak bayi). Mereka menyuguhkan makanan meksiko versi vegetarian, semua masakan Elyasa.
Mereka punya dua anak laki-laki berusia tujuh dan empat tahun. Kedua anak mereka sangat cerdas. Anak tertua terus mengajaki saya berbincang tentang ikan hiu.
“Kau tau lebih banyak hiu yang mati gara-gara manusia daripada manusia yang mati gara-gara hiu!”, kata dia.
Adiknya pun terus dengan lincah bermain dengan sang kakak dan mengajak bicara anak kami.
Suami saya mengagumi koleksi buku pasangan Elyasa dan Avivah, terutama koleksi taurat mereka yang memenuhi dua lemari.
“Taurat ini isinya seperti dialog jadi panjang sekali,” kata Avivah.
Bagi saya yang paling mengagumkan adalah bagaimana mereka menanggapi anak mereka ketika berbincang.
Saat makan malam, Avivah sedang membahas buku keduanya tentang Johannes Keppler. Si Sulung berujar dia akan terus mendengar tentang Keppler setelah sebelumnya dia sudah bosan mendengar kisah ilmuwan lain yang menjadi objek buku pertama ibunya.
Kemudian Si Sulung dengan antusias berujar dia juga ingin menulis buku. Elyasa dan Avivah menanggapi serius keinginan Si Sulung dengan seketika.
“Oh ya? Buku apa yang akan kamu tulis?”
“Buku tentang hiu!”
“Apa saja isinya?”
“Bahwa hiu bukanlah hewan jahat dan manusia sudah salah mengenal hiu!”
“Kamu mau bikin berapa seri?”
“Lima!”
Saya sangat terpana dengan bagaimana Elyasa dan Avivah berinteraksi dengan anak mereka yang baru berusia tujuh tahun itu. Bahkan di depan tamu mereka tidak segan mengelaborasi cita-cita anaknya, setara dengan obrolan dewasa di meja yang sama.
Setiap anaknya berujar sesuatu mereka diam dan mendengarkan. Opini anak di meja makan itu tidak dianggap sebagai opini anak bawang yang tidak berarti. Bagi saya, kultur yang mereka bangun begitu suportif. Tidak heran bila anaknya begitu percaya diri.
***
Hari ini ada pembicaraan di grup perkuliahan saya yang mengingatkan saya pada makan malam di rumah keluarga Elyasa dan Avivah.
Seorang adik kelas kami memasang opininya di laman media sosial setelah dia mendapatkan pengalaman yang dia rasa tidak mengenakkan dalam proses wawancara dengan media terkemuka tanah air.
Dia ditanyai tentang hal yang menurutnya tidak ada hubungannya dengan profesi yang dia lamar yakni sebagai jurnalis. Di antaranya dia ditanyai tentang etnis, pacar, diantar siapa, dll. Dia merasa dilihati dari atas ke bawah kemudian dinilai cocok-tidaknya dirinya sebagai wartawan. Pewawancaranya juga tidak memperkenalkan diri dan ketika ditanyai justru memamerkan sikap yang ketus.
Menurut si empunya laman, pengalaman ini sangat berbeda dibanding ketika dia melamar pada perusahaan berbeda yang meladeni dirinya dengan lebih baik.
***
Seorang teman membagi tautan laman adik kelas ini (saya sendiri tidak kenal sih sama orangnya jadi kita sebut saja Adik Kelas) yang kemudian disambut dengan berbagai tanggapan.
Mayoritas menilai sikap adik kelas kami berlebihan. Kalau dia lebih santai mungkin dia akan diterima untuk bekerja di media itu.
Salah satu teman saya berujar kalau dia sudah jadi wartawan di lapangan toh tidak semua narasumber akan berhubungan dengan dia dengan cara yang santun. Beberapa mungkin akan lebih kasar daripada si pewawancara, sehingga si Adik Kelas seharusnya bisa belajar dari sana.
Pada umumnya semua sepakat: Adik Kelas berlaku seperti itu karena dia milenial, anak baru yang kinyis-kinyis, atau “biasalah fresh graduate,”.
Hum….
Saya sangat paham apa yang dirasakan oleh sang Adik Kelas. Saya juga pasti keki bila bertemu orang yang digambarkan seperti pewawancara. Tapi saya juga dapat memahami jalan pikir teman-teman saya.
Kami melalui tahapan yang sama ketika berada di kampus. Mulai dari ospek fakultas, penjurusan, perkuliahan, ospek jurusan (tiga versi: yang diospek, yang mengospek dan yang mengospek-pengospek), semua kepanitiaan di dalam himpunan, sampai job training.
Menurut hemat saya, seharusnya Adik Kelas bisa paham bagaimana keadaan di lapangan. Sejak di bangku perkuliahan, dalam perospekan serta ketika berkecimpung dalam dunia per-job training-an, semua sudah menjurus pada kenyataan di lapangan:
Apakah saya merasa diperlakukan serius ketika saya diospek? Tidak.
Apakah benar kultur di kampus egaliter, tanpa senioritas? Tidak.
Apakah saya merasa kultur media di Indonesia bebas dari bias gender ketika saya mencoba menjadi wartawan magang? Tidak.
Jadi ketika tiba di dunia nyata, diliriki dari atas ke bawah untuk kemudian dinilai dalam hati oleh pewawancara, diperlakukan seolah dongok atau digelontori guyon-guyon rendahan ala patriarkis oleh para “senior” sudah biasa saya alami bahkan sejak belum lulus kuliah.
Apakah karena sudah biasa lantas itu baik-baik saja? Jelas tidak! Makanya saya salut akan keberanian Adik Kelas mengungkapkan keberanian dia di laman media sosialnya yang bisa diakses oleh siapa saja.
Mungkin Adik Kelas melewati masa yang lebih baik daripada saya sehingga dia masih berniat untuk menjadi wartawan pada media tersebut ketika lulus kuliah.
Saya juga pernah berada di saat-saat ketika saya merasa pantas untuk “dikecil-kecilkan”. Saat saya baru lulus kuliah mungkin saya akan senyum-senyum saja mendapati perlakuan pewawancara seperti yang digambarkan oleh Adik Kelas walau pun dalam hati menggurutu.
Padahal seharusnya “pendidikan tinggi” membuat kita berilmu dan percaya diri untuk membangun bangsa, bukan sebaliknya: menghancurkan citra diri yang telah ada dan membinasakan cita-cita yang mungkin membara ketika memilih jurusan saat masih duduk di bangku sekolah. Lebih jauh, apakah perguruan tinggi justru mendidik kita untuk “paham posisi” dan tidak layak mengkritik otoritas?
***
Pelajaran paling penting dari renungan tiba-tiba ini yakni seperti judul di atas.
Sebagai orang tua saya sangat ingin membangun citra diri anak saya dengan sebaik-baiknya. Saya sepenuhnya terinspirasi oleh Aviviah dan Elyasa. Mereka sepasang suami-isteri yang saling mendukung satu sama lain, kuat dan menguatkan semua anggota keluarga. Tidak ada ketimpangan: yang satu kuat dan selamanya memperlakukan yang kecil seperti bayi.
Apa yang kelak anak saya alami di lingkungan luar akan membentuk dia semakin dewasa, namun paling tidak dia harus punya citra diri yang baik sejak dalam lingkungan keluarga. Semoga saya selalu bisa membuat dia merasa penting, merasa layak untuk diperlakukan dengan sopan, tetap membumi namun juga selalu merasa pantas memperoleh semua yang dia usahakan.