Sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis di sini. Sejak dua bulan lalu saya bekerja paruh waktu di sebuah agensi hubungan masyarakat. Walaupun hanya bekerja paruh waktu, dari jam lima subuh sampai jam sepuluh pagi, namun kegiatan ini cukup membuat saya kehilangan waktu untuk melamun dan merangkai kata-kata, hahaha.
Tadi malam di perjalanan pulang dari rumah ipar, saya berpikir, mengapa tidak saya terbitkan saja tulisan saya dari bahan penelitian dulu. Toh dengan demikian akan lebih banyak orang yang membacanya, daripada sekedar teronggoh di situs kampus dan di lemari buku saya. Saya akan sangat senang apabila tulisan ini bermanfaat bagi orang lain. Ya sudah, akhirnya mulai hari ini setiap harinya saya akan menerbitkan bagian dari skripsi saya.
Skripsi saya secara garis besar menceritakan kisah sepuluh keluarga yang waktu itu sedang atau pun pernah memasung anggota keluarga mereka. Saya berusaha untuk mecari tahu alasan di balik pemasungan mereka yang berkenaan dengan pemaknaan mereka terhadap kondisi yang dialami oleh sang anggota keluarga.
Oh iya, harus diingat bahwa skripsi ini saya tuliskan pada 2013, banyak hal yang sudah berubah. Waktu itu saja BPJS masih belum ada, Puskesmas pun masih tidak memiliki layanan kesehatan jiwa (setahu saya saat ini sudah ada beberapa yang memiliki).
Dengan diterbitkannya tulisan ini di dalam blog saya, saya juga berusaha untuk memotivasi diri untuk segera menanyakan perkembangan isu ini kepada Pak Nurhamid, begitu saya berkunjung kembali ke sana.
Selamat membaca!
“Anu gelo diurus, anu cageur oge lieur. Loba keneh anu kudu diurus!”
Demikian, Nurhamid (53), pendiri Komunitas Sehat Jiwa (KSJ) menirukan pernyataan salah satu kepala desa di Kabupaten Cianjur2. Sang empunya pernyataan adalah Haji Abo, Kepala Desa Sukarahaja, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur. Juli 2012, Nurhamid menyampaikan aspirasinya dalam sebuah forum informal antara Camat Cibeber dan beberapa Kepala Desa. Nurhamid prihatin karena banyak warga Cibeber yang mengidap masalah kejiwaan, dia meminta Camat dan Kepala Desa untuk memberikan perhatian lebih kepada warganya yang mengidap masalah kejiwaan. Namun, alih-alih simpati, yang dia dapatkan justru celetukan bernada acuh dari Haji Abo.
Dalam kesehariannya, Nurhamid aktif sebagai relawan di KSJ, komunitas konsumen kesehatan jiwa yang bermarkas di Cianjur, Jawa Barat. Komunitas yang berdiri sejak 1 April 2009 ini terkenal dengan aksi para relawannya yang membebaspasungkan Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) yang tersebar di berbagai desa di Cianjur. Berkat inisiasi dan semangat KSJ, Bupati Cianjur, Cecep Muhtar Sholeh, tergerak. Pada 2010, Bupati Cecep memberi kebijakan berkaitan pengobatan masalah kejiwaan berupa Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) untuk ODMK. Pemerintah daerah lalu menunjuk KSJ sebagai pihak yang berwenang memberi rekomendasi pemberian Jamkesda.
Per Maret 2013, KSJ telah memberikan lebih dari seribu rekomendasi. Seratus persen dari rekomendasi KSJ dikabulkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur. Data di lapangan menunjukkan jumlah pemasungan di Cianjur tidak sedikit. Nurhamid menuturkan per Maret 2013 KSJ telah membebaspasungkan 106 jiwa, namun penemuan terakhir menunjukkan masih ada warga Cianjur yang dipasung. Menurut sekretaris KSJ, Hadi, data yang KSJ dapatkan saat ini pun masih di permukaan, artinya masih banyak kasus pemasungan lain yang belum terjamah olehnya dan kawan-kawan.
Pasung merupakan cara tradisional yang dipilih oleh keluarga sebagai bentuk ‘penanganan’ ODMK. Salah satu anggota relawan KSJ, Ferri (35) menyatakan pasung adalah bentuk kasih sayang keluarga kepada anggota keluarganya yang memiliki masalah jiwa. “Ini kadedeh emak,3” ujar Ferri menirukan salah satu ibu ODMK yang dipasung. Daripada dia (ODMK) dibiarkan bebas berkeliaran dan dijahati warga lainnya, menurut emak, lebih baik dia sendiri yang mengurung anaknya di belakang rumah, anak kesayangannya pun dapat bebas dari celaan dan orang yang berusaha menyakiti.
“Dipasung dalam pengertian KSJ adalah membuat orang tidak bisa bergerak dan dirampas kebebasannya,”–Nurhamid, 20 Januari 2013.
Penganaktirian masalah kesehatan jiwa di tanah air adalah kenyataan pahit di balik fakta prevalensi gangguan mental emosional dan gangguan jiwa berat penduduk Indonesia yang tidak sedikit. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional di tanah air mencapai 11,6%, presentase ini setara dengan 19 juta penduduk Indonesia. Peringkat paling tinggi nasional ditempati oleh Provinsi Jawa Barat dengan prevalensi gangguan mental emosional mencapai 20% dari jumlah penduduk. Sementara itu, riset yang sama menunjukkan 0,46% penduduk Indonesia adalah pengidap psikotik. Pengendapan terhadap penanggulangan masalah kejiwaan yang diidap penduduk di tanah air merugikan negara sebesar Rp 20 trilyun per tahunnya. Sebagai perbandingan, Prof. Ascobat Gani pada Seminar MDGs dan Kesehatan Jiwa (2010) menyandingkan kerugian yang disebabkan oleh TBC (Rp 6,2 trilyun).
Masalah jiwa biasanya menjadi sorotan ketika pihak internasional mengkritisi pencederaan Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di tanah air berkaitan dengan penanganan masalah kesehatan jiwa. Surat kabar harian Australia, Sydney Morning Herald, dalam pelaporannya yang dimuat 19 Juni 2010 berjudul The Face of Indonesia’s Shame menampilkan Yayasan Galuh yang merantai ODS. Pada Juli 2011 Yayasan Galuh kembali disorot oleh jaringan siaran publik Amerika Serikat, Public Broadcasting Service (PBS dalam PBS News Hour dengan laporan berjudul Indonesia Mentally Ill Face Neglect, Miss-treatment. Dari pemberitaan dua media asing di atas, dapat kita ketahui bahwa merantai atau memasung adalah cara yang digambarkan „dipilih‟ oleh masyarakat Indonesia untuk terapi kesehatan jiwa. Kedua media tersebut seakan memutuskan perwajahan masalah kesehatan jiwa tanah air serupa dengan rantai atau kayu untuk memasung.
Pakar dan aktivis masalah kejiwaan, dr. G. Pandu Setyawan, Sp. Kj mengakui hal ini.
“Masalah pasung bukan cuma di Indonesia, ada di seluruh dunia, tapi di Indonesia banyak. Ada yang bilang 20.000, ada yang bilang 40.000. Case findingnya tidak tahu seperti apa,” (wawancara dr. G. Pandu Setyawan, Jakarta, November 2011)..
Seperti yang sudah penulis uraikan di atas, penanggulangan masalah kesehatan jiwa di tanah air masih dilakukan dengan setengah hati. Menteri Kesehatan Endang Sri Rahayu (alm.) dalam sambutannya ketika menutup Jambore pertama Kesehatan Jiwa Nasional, 10 Oktober 2011, mengakui dari seluruh Puskesmas di Indonesia, hanya tujuh puluh yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Minimnya fasilitas dan sosialisasi dari negara untuk menyebarkan pemahaman tentang kesehatan jiwa mewariskan kewajiban ini kepada warga yang peduli, seperti komunitas konsumen kesehatan jiwa, KSJ, mengingat masyarakat adalah dasar dari piramida penganggulangan masalah kesehatan jiwa.
Di Cianjur, satu-satunya tempat bagi warga untuk berobat masalah kejiwaan adalah di Poli Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cianjur. Sama seperti banyak daerah di tanah air, belum ada Puskesmas di Cianjur yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Meskipun demikian, warga Cianjur dapat dikategorikan lebih beruntung daripada banyak daerah lain karena memiliki Kepala Daerah yang memudahkan warganya untuk berobat masalah jiwa dengan menerbitkan Jamkesda bagi ODMK. Cianjur juga memiliki KSJ yang sudah mengukir sejarah sebagai komunitas yang bergerak melawan pasung. Di balik kemudahan di bidang pelayanan kesehatan jiwa yang warga Cianjur miliki, tidak berarti masalah kejiwaan termasuk masalah pemasungan tuntas begitu saja.
Penelitian awal penulis (Januari 2013) menemukan, 17 orang dari 106 jiwa yang berhasil dibebaspasungkan kembali dipasung oleh keluarga mereka. Alasannya, regulasi baru RSUD Cianjur yang mengharuskan pasien untuk datang sendiri mengambil obat. Banyak dari mereka yang tinggal jauh dari RSUD4 selain itu beberapa pasien juga belum dalam kondisi yang memungkinkan untuk bisa berkendara jauh, mengingat di antara mereka ada yang dipasung bertahun-tahun sehingga keadaan fisiknya belum memungkinkan mereka untuk beranjak dari tempat tinggalnya. Sebelumnya, untuk meyakinkan keluarga yang memasung, KSJ memberikan obat-obatan medik kepada pasien yang masih dipasung. Ketika mereka akhirnya berhenti mengamuk, keluarga pun yakin dan membuka pasung mereka. Saat itu, Nurhamid dkk., bisa mewakili pasien untuk mengambil obat di RSUD, namun karena kebijakan baru yang berlaku sejak tahun lalu, pasien yang jauh dari RSUD kesulitan mendapat obat. Pasien yang berhenti berobat, kambuh, mengamuk, lalu kembali dipasung oleh keluarga.
Kembalinya beberapa keluarga memasung pasien psikotik skizofrenia yang mengamuk karena akses ke obat berhenti menimbulkan pertanyaan di benak penulis, sebenarnya sampai manakah sosialisasi tentang kesehatan jiwa -yang telah diupayakan oleh KSJ- menyentuh pemahaman dan pemaknaan keluarga tentang kesehatan jiwa, terutama pemaknaan terhadap keluarganya yang memiliki masalah kejiwaan, serta pemakanaan penggunaan pasung sebagai bentuk penanganan? Mungkinkah pasung adalah satu-satunya cara yang sudah turun-temurun mereka yakini dapat menanggulangi masalah ini.
Dr. Syafari Soma, psikiater yang bekerja di RSUD Cianjur selama 12 tahun dan juga pembina KSJ berpendapat keluarga yang akhirnya memasung berpendapat pasung adalah solusi yang terbaik.
“Keluarga yang memasung kebanyakan adalah keluarga yang tidak mampu, tapi tidak berarti yang tidak miskin pasti tidak memasung. Bagi mereka yang punya keterbatasan finansial, pasung adalah solusi. Bagi mereka this is the best. Pasung membuat mereka merasa lebih aman. Mereka tidak punya pilihan, kalau ada pilihan lain mungkin mereka tidak akan memilih pasung,”(wawancara dr. Syafari Soma,Sp.Kj, Bandung 12 Maret 2013).
Pada 21 Maret 2013, Peneliti mengunjungi rumah ODS yang dipasung dalam rangka prariset. Mereka yang Peneliti kunjungi adalah keluarga pasien Dikdik Sodikin (30) dan Aang Buhori (43). Peneliti mewawancarai Apuddin (60) ayah Dikdik dan Suyati (60) ibu Aang.
Apuddin mengaku ‘memisahkan’ kamar Dikdik ke luar rumah karena Dikdik seperti ‘hilang ingatan’ semenjak anaknya itu bereksperimen memasukkan sari daun jayanti ke dalam hidungnya agar suaranya merdu ketika adzan. Menurut Apuddin, Dikdik banyak melamun, ia bahkan lupa cara yang bijak untuk buang hajat. Apuddin dan isterinya yang tidak tahan karena rumah mereka –yang berukuran 3×5 meter- menjadi kotor dan bau, memutuskan untuk ‘memisahkan’ Dikdik dan membiarkan ia tinggal di sebuah kamar kecil berukuran 1×2 meter di luar rumah mereka.
Lain lagi dengan Suyati yang mengurung anaknya, Aang, di sebuah tempat yang terlihat seperti kandang berukuran 1×2 meter di dapur rumahnya. Anaknya kesambet kata Suyati. Suyati pun memutuskan untuk menurung anaknya. Dari segi finansial, Suyati mengaku sudah mendapatkan segala macam bantuan berupa ‘kartu sehat’, ‘Jamkesda’, ‘Jamkesmas’, namun dirinya yang seorang isteri buruh serabutan tetap sulit untuk mengusahakan kesembuhan anaknya.
Dua keluarga pasien, Apuddin dan Suyati, telah memberikan gambaran pemaknaan mereka terhadap skizofrenia yang dianggap sebagai kesambet atau penyakit ‘akibat asal memasukkan air sari daun jayanti ke dalam hidung’. Pemaknaan ini mereka konstruksikan dari pengalaman mereka sendiri dalam interaksinya dengan ODS.