Yayah
Yayah, namanya. Wanita 33 tahun bertubuh kurus, kecil, dengan kulit putih dan tahi lalat di sebelah kanan bibir. Dia adalah janda beranak satu, menikah tiga kali namun terus berakhir dengan perceraian. Dia juga sempat merasakan kerja di Arab Saudi, tiga kali selama tiga bulan. Mulai 1995 anak ke-2 dari 4 bersaudara ini tidak bisa lagi beraktivitas seperti sedia kala. Dia sakit. Mohammad Ijung (72) ayah Yayah yang beberapakali mendapati dia ngobrol sendiri. Yayah juga sering keluyuran, mengambil serta merusak tanaman milik orang.

Ijung malu. Tetangga banyak yang protes. Bahkan ada tetangga yang mempertanyakan ‘kenapa anak seperti Yayah dibiarkan bebas begitu saja?’. Tidak tahan dengan desas-desus yang ia dengar dari para tetangga, Ijung dan isterinya (alm.) memutuskan untuk menahan Yayah di rumah.

Tujuh belas tahun lamanya Yayah tinggal di kamar yang dipermak oleh sang ayah. Di dalam kamar berlantai semen itu tidak ada tempat tidur, hanya ada jamban,

Di kamar itu Yayah dirantai pada sebatang bambu yang tertanam di lantai kamar. Tiga bulan setelah sakit keluarga Yayah mulai mendatangkan Ahli Hikmah ke rumah Ijung. Ijung mengetahui dari para Ahli Hikmah bahwa Yayah diguna-guna. Katanya ada mantan suaminya yang menjuruskan ilmu hitam pada Yayah.

Beberapa Ahli Hikmah datang silih berganti untuk mengobati Yayah, beberapa kali juga keluarga datang membawa air yang sudah dijampe untuk Yayah. Yayah sendiri tidak pernah dikeluarkan oleh Ijung, karena itu pengobatannya lah yang datang ke kamar Yayah. Namun, dari sekian banyak Ahli Hikmah yang pernah datang ke sana, Yayah tidak kunjung sembuh. Dia masih selalu melihat ular, ngobrol dan bernyanyi sendiri di kamarnya.

“Ada tetangga yang mengusulkan kalau mau sembuh Yayah harus ditaruh di tengah hutan, dibiarkan digigit nyamuk tengah malam. Bisa sembuh ceunah. Karunya pisan,”.

Untungnya lelaki paruh baya yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani ini mengaku tidak menuruti saran si tetangga itu. Menurut Ijung, pun tidak pernah ada tetangganya yang melakukan pengobatan semacam itu. Baik tetangga maupun keluarganya tidak ada yang mengalami hal seperti Yayah, tidak ada juga yang pernah dikurung di dalam kamar.

Pada 2009 Komunitas Sehat Jiwa (KSJ) datang dan memberikan obat untuk Yayah. Yayah pun bisa beraktivitas kembali. Mulanya obat disembunyikan dalam mie instan, seiring berjalannya waktu dia pun mau meminum obat tanpa harus disembunyikan. Sekarang dia sudah bisa masak, mencuci baju, dan membersihkan rumah. Dia rutin meminum obat, Aisyah, adiknya –yang kini sudah menikah dan tidak tinggal di rumah Ijung lagi- selalu mengantar Yayah ke dokter.

Ketika ditanya tentang penyakit Yayah pada Ijung, Ijung menerka-nerka sendiri. Ijung menyebutnya sebagai ‘gangguan perasaan’ atau ‘hilang akal’. Ijung mengaku pernah melihat tayangan televisi tentang orang yang sakit seperti Yayah. Dari tayangan itu yang ia lihat adalah orang diborgol dan dipenjara bambu.
Ijung yang sehari-hari bekerja sebagai kuli macul tidak pernah mengantarkan Yayah ke dokter karena Aisyah yang selalu mengantar. Apabila Yayah mendadak mengamuk ketika Aisyah tidak ada, Ijung pun mengaku akan kebingungan.

Kini Ijung berusaha untuk mengembalikan Yayah ke masyarakat, beberapa waktu lalu dia mengajak anaknya itu ke acara pernikahan ‘Ngiring prasmanan,’ katanya. Namun Yayah masih malu dan belum mau banyak berkomunikasi dengan orang lain.

Agus
Satu tahun lamanya, Agus 23 tahun di’kandang’kan oleh orang tua dan pamannya. Kandang untuk biri-biri itu tentu tidak seluas kamar untuk manusia, bahkan di dalam kandang itu untuk berdiri pun sulit. Ukurannya hanya pas untuk beberapa ekor biri-biri.

Di kandang yang terbuat dari kayu itu, Agus harus terus berjongkok. Tangannya dirantai lalu dikaitkan pada dasar kandang. Di sana Agus menghabiskan hari-harinya dengan makan, merokok, dan buang air.

Kandang itu tadinya adalah tempat bagi lima ekor biri-biri milik Unus (53) dan Idah (48), orang tua Agus. Namun, karena Agus harus dibawa ‘berobat’ ke sana ke mari, keluarga pun memutuskan untuk menjual biri-biri milik mereka satu per satu. Ketika biri-biri sudah habis terjual untuk biaya berobat, Agus tetap tidak menampakkan perbaikan. Agus yang kerap menghancurkan barang-barang di rumahnya pun akhirnya diungsikan dari rumah dan menempati kandang biri-biri yang telah kosong di belakang rumahnya itu.

Agus sakit sejak 2009, menurut pamannya, Abki (50) sakit Agus mulai pada satu malam yang menghebohkan. Kala itu pukul 00.00 tengah malam, Abki dibangunkan oleh Idah. Abki menyebut Idah digusur oleh Agus. Agus membangunkan dan menyeret ibunya menuju masjid.

“Hoyong dilandongan,” kata Idah, ingin didoakan.

Saat itu Idah membangunkan Abki, sang adik yang tinggal pas di depan rumahnya. Kejadian ini sudah berlangsung selama empat malam. Namun kali kelima, Agus membangunkan Abki.

Sejak kejadian Agus membangunkan dan menyeret paksa ibunya tengah malam, Abki, Unus dan Idah memutuskan untuk merantai Agus di dalam rumah. Abki berkisah, dia dan empat orang temannya yang merantai Agus.

Badan Agus cukup besar, kira-kira tinggi 175cm dan berat badan 70kg. Di dalam rumah sederhana berlantai kayu berdinding bilik berwarna putih itu Abki juga membuatkan Agus semacam ‘keranjang’ untuk tempatnya beraktivitas.

“Di sini Agus tinggal bersama Ayah, Ibu dan Kakaknya, namun dari mereka tidak ada yang berani sama Agus. Cuma saya yang berani. Dia sering mengajak saya berkelahi. Saya ladeni, sering galungan, biasa dua lawan satu juga di sini (menunjuk ke depan rumah antara pekarangan rumahnya dan rumah Agus),” terang Abki.

Baik Abki, Unus maupun Idah bersepakat yang terjadi pada Agus kala itu adalah ‘kalemparan’ meski tidak satu pun di antara mereka pernah menyaksikan secara langsung bagaimana kondisi orang yang ‘kalemparan‟’ Pun tidak ada di antara mereka yang juga pernah melihat ‘diikat’ sebagai usaha penyembuhan orang yang kalemparan24.

“Kalau di kampung ini emang begitu. Banyak sekarang mah. Banyak peristiwa gaib. Biasa jendela ada bunyi-bunyi padahal tidak ada apa-apa. Kalau saya lihat di kamar itu (menunjuk ke dalam rumah Agus) memang ada kelainan. Bulu kuduk saya suka berdiri kalau ke sana,” lanjutnya.

Abki berkisah, pada waktu itu mata Agus yang memandangi dirinya terlihat lain, penuh benci dan amarah. Dirinya yang mengaku bisa sedikit menerapkan ilmu supranatural pun pernah menyhalatkan Agus di masjid. Namun tetap tidak ada perbaikan.

Ketika pertama kali Agus menunjukkan keanehan keluarga belum membawanya berobat. Dia hanya ditempatkan di dalam rumah dengan tangan yang dirantai. Karena tidak ada perubahan, keluarga pun memutuskan untuk membawa Agus berobat ke beberapa Ahli Hikmah yang tersebar di beberapa tempat di Cianjur, antara lain di daerah Cipanas dan Pasir Terong.

Di sana, Agus diobati dengan cara dimandikan, diberi minum air jampe dan diberi jampe-jampe. Dari banyak tempat yang sudah didatangi oleh Agus dan ibunya yang mengantar, tidak ada perubahan berarti pada kondisi Agus.

Agus juga sempat di bawa ke RSUD Cianjur, namun karena sejak malam pertama dirawat inap Agus langsung kabur, keluarga pun kapok dan tidak lagi membawa Agus ke sana. Untuk biaya pengobatan Agus selama kurang lebih 1 tahun mencoba berbagai pengobatan, baik klenik maupun klinis ibu dan ayahnya menghabiskan lebih dari Rp 5.000.000. Kehabisan ongkos, dan kondisi yang tidak membaik menginspirasikan sebuah gagasan pada Abki yang mengusulkan kepada Idan dan Unus agar menempatkan Agus di dalam kandang untuk mencegah kerusakan apabila dia sewaktu-waktu mengamuk.

Ketika itu Unus mengaku khawatir dan takut karena sikap Agus yang tidak bisa dikontrol. Unus takut dirinya celaka, Agus celaka atau tetangganya ikut celaka. Sebelum ada korban dan protes dari para tetangga –yang kebanyakan juga adalah keluarga mereka- Agus pun dimasukkan ke dalam kandang.

Untungnya, lokasi rumah Agus di kampung Marti Kolot kecamatan Karangtengah tidak terlalu jauh dari kecamatan Cianjur. Komunitas Sehat Jiwa (KSJ) yang waktu itu baru terbentuk langsung dapat mengendus kondisi Agus.

Sejak dikunjungi dan diberikan obat oleh KSJ, Idah rutin mengantarkan Agus berobat ke RSUD dua minggu sekali. Idah dan seluruh keluarga merasakan manfaat dari obat yang diberikan oleh pihak RSUD.

“Sae,” tutur Idah.

Namun, sudah hampir satu bulan Agus tidak minum obat. Idah, yang selalu mengantar Agus, sedang sakit kakinya. Mengapa tidak ayah atau pamannya yang mengantar?

“Teu tiasaan, ka abdi weh. Teu terangan,” jawab Unus.

Tetapi, Idah yang selama dua tahun rutin mengantarkan Agus ke RSUD ternyata tidak mengetahui pasti, sakit apakah anak bungsunya ini? Dokter yang selama ini ia kunjungi bersama Agus tidak pernah secara gamblang memberi tahu apa jenis penyakit Agus, jangankan nama ‘skizofrenia’ istilah ‘gangguan kejiwaan’ pun ternyata tidak familiar di telinga Idah.

Idah cuma tahu anaknya sakit syaraf dan mesti dibawa ke rumah sakit. Baik Idah, Unus maupun Abki juga tidak pernah mendapatkan informasi tentang gangguan jiwa di televisi maupun surat kabar, yang pernah membaca informasi tentang gangguan jiwa justru Agus.

Agus yang tamatan SD pernah melihat poster di RSUD yang berisikan tentang gangguan kejiwaan. “Saluran di otak bermasalah,” tuturnya ketika ditanya apa yang dia ingat dari poster itu.

Ketika telah rutin berobat dan ditanyakan apakah penyakit Agus ada di otak atau guna-guna, Idah, Unus dan Abki masih kebingungan. Unus kemudian angkat bicara, lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani ini menyimpulkan Agus memiliki kelainan di dalam otak yang mengakibatkan badannya ‘kosong’ sehingga pada waktu itu mudah ‘kalemparan’.

*Ilustrasi foto dari koleksi lukisan Galeri Nasional London. Tiada hubungan dengan tulisan, sekadar memperindah.

Tinggalkan komentar