Ahmad Muhidin
Adiknya itu ajaib, dia dapat menelan tasbih lalu mengerluarkannya begitu saja dengan keadaan utuh. Dia juga dapat memakan silet tanpa mengalami luka apa pun. Nama adiknya Ahmad Muhidin, 39 tahun. Dulu Muhidin kerap memamerkan kebolehannya itu di depan kakaknya, Hasan Mustopa (43) dan anggota keluarganya yang lain. Alih-alih terpukau, Hasan yang menyebut pekerjaannya sebagai kolektor sayur, malah merasa was-was dan mengira ada yang salah dengan adiknya.
Muhidin mulai berubah sejak dia tidak jadi bekerja sebagai sopir karena kakak ipar yang menjanjikannya pekerjaan berangkat ke Arab Saudi, padahal untuk dapat belajar mengemudi mobil, Muhidin menjual emas seberat 27 gram hasil kerja di peternakan ayam yang sebelumnya ia hadiahkan kepada ibunya.
Muhidin lalu bekerja di sebuah perusahaan bingkai foto di Tangerang. Pada 1998 perusahaan itu kebakaran. Muhidin pun pulang kampung dan mulai menunjukkan perubahan sikap. Hasan percaya Muhidin depresi sehingga emosinya tidak terkendali. Dia kerap merusak barang, menghancurkan jendela, bahkan kaca jendela milik tetangga pun ada yang dirusak oleh Muhidin.
Ia juga sering berguling-guling di rumahnya ke sana kemari, sangat ribut sehingga ibu dan menantunya harus mengungsi ke rumah kerabat 1 kilometer jauhnya dari rumah mereka. Kuping Hasan pun sampai panas karena ada tetangga yang menyebutkan Hasan tidak mengurusi adiknya itu.
Karena tabiatnya yang tidak bisa dikontrol, Hasan dan keluarga yang lain memutuskan untuk merantai Muhidin di dapur rumah ibunya yang kini tinggal berdua bersama Muhidin.
Ketika ditanya mengenai penyakit Muhidin, sang ibu Titi Hunaenah (60) mengakui luapan amarah Muhidin karena kariernya yang tersendat lah yang mengakibatkan keanehan sifatnya. Selain itu, ibunya juga percaya Muhidin telah memasang susuk di tubuhnya ketika dia pernah berguru pada ‘orang pintar’.
Menurut Hasan, orang pintar itu kini telah wafat sehingga mustahil untuk mengangkat kembali susuk agar Muhidin kembali normal.
“Kita tidak bisa tahu pasti ini penyakitnya apakah di otak atau memang karena pasang susuk karena gurunya itu sudah meninggal,” tutur Titi.
Pada 2004 Muhidin sempat dibawa berobat ke Rumah Sakit Marzuki Mahdi di Bogor sebanyak empat kali. Kala itu Muhidin selalu berhasil kabur dari RS dan kembali ke rumahnya. Hasan menilai keberhasilan Muhidin untuk pulang ke rumah dari RS adalah sebuah pertanda bahwa adiknya sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
Tak lama berselang Muhidin kembali kambuh dan ia pun coba diobati kembali dengan jalan alternatif. Ketika segala daya dan upaya sudah dicurahkan untuk pengobatan Muhidin namun ia tidak kunjung membaik, keluarga pun pasrah.
Kader Puskesmas terdekat juga tidak ada yang mengunjungi Muhidin untuk memberikan penjelasan tentang penyakitnya. Pun pada waktu pertama dirawat ke RS Marzuki Mahdi keluarga memutuskan untuk menghentikan pengobatan di Ahli Hikmah dan mencoba pengobatan medis atas keinginan sendiri, bukan atas saran kader Puskesmas.
Pada 2009 Komunitas Sehat Jiwa datang membawakan obat dan mendaftarkan Muhidin pada kartu Jamkesda. Muhidin pun rutin berobat, diantarkan oleh isteri Hasan ke RSUD Cianjur. Namun, sampai sekarang baik isteri Hasan, Yeyet (33), Hasan, maupun keluarga lainnya masih belum tahu pasti nama penyakit Muhidin. Hasan menyebutnya sebagai depresi atau stres. Nama depresi dan stres Hasan dapat dari acara di televisi yang menayangkan orang dengan perilaku sama seperti Hasan.
“Kalau pernah baca sih tidak pernah, tapi kalau dari televisi pernah ada yang persis seperti ini. Waktu itu saya pernah lihat juga dikasih pakai rantai seperti ini,” tutur Hasan.
Dokter yang menangani Muhidin juga tidak pernah secara gamblang menyebutkan nama penyakit Hasan. Menurut Yeyen, dokter hanya menanyakan keadaan Muhidin, kondisi tidurnya, dsb. tanpa memberitahu kepada Yeyen penyakit apa yang diidap Muhidin. Yeyen, Hasan dan Ibunya
tidak ragu memberikan obat kepada Muhidin walaupun mereka tidak mengetahui jelas apa penyakit Muhidin.
“Yang penting obatnya dari rumah sakit,” jelas Hasan.
Saepudin
Tidak tahan melihat anak ke-5 nya terus-menerus dikeroyok orang dan pulang berlumuran darah, Mamah Dedeh (78) memutuskan untuk memasung Saepudin (53) di dapur rumahnya di kampung Cisarua, kecamatan Cilaku.
Sembilan tahun Saepudin dipasung, kakinya sekarang tampak aneh, apabila berjalan dia harus melangkah lebih lebar. Saepudin yang terbiasa tinggal di dapur kotor itu juga setiap hari masih membuang urine maupun fesesnya di saluran di dapur tersebut.
Saepudin mengalami perubahan sikap sejak tahun 2000. Kala itu, lelaki beranak satu ini baru saja ditinggalkan oleh isterinya. Isterinya meninggal. Ia menikah lagi namun bercerai. Saepudin lalu memiliki hobi baru, ia gemar menuntut ilmu hitam. Ilmunya tidak sempurna. Menjelma lah Saepudin menjadi lelaki aneh yang sering mengamuk dan gemar mencari teman berkelahi di lingkungan rumahnya, tak jarang ia dikeroyok oleh keluarga warga yang pernah ia pukuli.
Sang ibu tidak tega melihat Saepudin terus pulang berlumuran darah, selain itu Dedeh juga tidak ingin anaknya mengalami nasib yang sama seperti seorang anak gadis tetangganya yang berperilaku sama, seperti hilang ingatan.
Sama seperti Saepudin, gadis yang hilang ingatan’ itu sering minggat dari rumah, satu kali ia pergi dan tidak kembali sampai sekarang. Dedeh tidak ingin anaknya terus babak belur atau pun hilang dari pandangannya, ia pun memutuskan memasung Saepudin.
“Emak mah bukan menyiksa, tapi karena sayang. Kalau pulang ke rumah emak suka nangis. Bertanya-tanya ini bagaimana nasib Pudin. Emak ridho, Pudin juga ridho dirantai. Kalau kabur emak gak enak perasaan, sedih. Kalau pulang bercucuran darah. Pudin sakit, emak sakit. Akhirnya emak merantai Pudin,”.
Kondisi Saepudin yang tidak memungkinkan dirinya untuk berobat jalan, serta kondisi Dedeh yang sudah sangat tua membuat Dedeh hanya bergantung kepada Komunitas Sehat Jiwa serta perawat yang datang ke rumahnya untuk memberi obat. Ketika Saepudin mengamuk karena terlambat diberi obat, Mamah Dedeh hanya bisa pasrah.
*Ilustrasi foto dari koleksi lukisan Galeri Nasional London. Tiada hubungan dengan tulisan, sekadar memperindah.