Kartini obati luka ditolak beasiswa

Selama di Tanah Air saya bersyukur bisa kembali mencicipi kehidupan profesional (nanti akan saya ceritakan lebih dalam), namun banyaknya kegiatan ditambah urusan “cabut” dari Tanah Air berujung pada melompongnya blog ini. Berhubung tinggal di kawasan Jabodetabek, waktu banyak sekali terkuras di jalan padahal orang yang harus kami kunjungi bejibun selama pulang.

Kejadian yang telah berlalu sebenarnya sangat membekas pada saya, tapi entah mengapa ada keengganan untuk menuliskannya. Mungkin saja karena mengingatnya akan membuat saya kembali terluka.

***

Selama di Tanah Air saya ditolak oleh beberapa beasiswa untuk sekolah di Amerika Serikat.

Pada mulanya, ketika saya menemani suami saya di tahun 2014, saya berniat untuk langsung mendaftar sekolah. Namun, saya mendapati diri mengandung jabang bayi, empat bulan setelah tinggal di Chicago. Saya pun harus mengubah prioritas dari sekolah menjadi melahirkan dengan sehat dan selamat. Saya melahirkan pada 2015 dan melewati lebih banyak waktu di rumah menemani anak. Lanjutkan membaca “Kartini obati luka ditolak beasiswa”

Dianggap sebagai biang keributan, ibu pasung buah hati

Ahmad Muhidin
Adiknya itu ajaib, dia dapat menelan tasbih lalu mengerluarkannya begitu saja dengan keadaan utuh. Dia juga dapat memakan silet tanpa mengalami luka apa pun. Nama adiknya Ahmad Muhidin, 39 tahun. Dulu Muhidin kerap memamerkan kebolehannya itu di depan kakaknya, Hasan Mustopa (43) dan anggota keluarganya yang lain. Alih-alih terpukau, Hasan yang menyebut pekerjaannya sebagai kolektor sayur, malah merasa was-was dan mengira ada yang salah dengan adiknya.

Muhidin mulai berubah sejak dia tidak jadi bekerja sebagai sopir karena kakak ipar yang menjanjikannya pekerjaan berangkat ke Arab Saudi, padahal untuk dapat belajar mengemudi mobil, Muhidin menjual emas seberat 27 gram hasil kerja di peternakan ayam yang sebelumnya ia hadiahkan kepada ibunya.

Muhidin lalu bekerja di sebuah perusahaan bingkai foto di Tangerang. Pada 1998 perusahaan itu kebakaran. Muhidin pun pulang kampung dan mulai menunjukkan perubahan sikap. Hasan percaya Muhidin depresi sehingga emosinya tidak terkendali. Dia kerap merusak barang, menghancurkan jendela, bahkan kaca jendela milik tetangga pun ada yang dirusak oleh Muhidin.
Lanjutkan membaca “Dianggap sebagai biang keributan, ibu pasung buah hati”

Tetangga, paman sarankan pasung sebagai solusi

Yayah
Yayah, namanya. Wanita 33 tahun bertubuh kurus, kecil, dengan kulit putih dan tahi lalat di sebelah kanan bibir. Dia adalah janda beranak satu, menikah tiga kali namun terus berakhir dengan perceraian. Dia juga sempat merasakan kerja di Arab Saudi, tiga kali selama tiga bulan. Mulai 1995 anak ke-2 dari 4 bersaudara ini tidak bisa lagi beraktivitas seperti sedia kala. Dia sakit. Mohammad Ijung (72) ayah Yayah yang beberapakali mendapati dia ngobrol sendiri. Yayah juga sering keluyuran, mengambil serta merusak tanaman milik orang.

Ijung malu. Tetangga banyak yang protes. Bahkan ada tetangga yang mempertanyakan ‘kenapa anak seperti Yayah dibiarkan bebas begitu saja?’. Tidak tahan dengan desas-desus yang ia dengar dari para tetangga, Ijung dan isterinya (alm.) memutuskan untuk menahan Yayah di rumah.

Tujuh belas tahun lamanya Yayah tinggal di kamar yang dipermak oleh sang ayah. Di dalam kamar berlantai semen itu tidak ada tempat tidur, hanya ada jamban,

Di kamar itu Yayah dirantai pada sebatang bambu yang tertanam di lantai kamar. Tiga bulan setelah sakit keluarga Yayah mulai mendatangkan Ahli Hikmah ke rumah Ijung. Ijung mengetahui dari para Ahli Hikmah bahwa Yayah diguna-guna. Katanya ada mantan suaminya yang menjuruskan ilmu hitam pada Yayah.

Beberapa Ahli Hikmah datang silih berganti untuk mengobati Yayah, beberapa kali juga keluarga datang membawa air yang sudah dijampe untuk Yayah. Yayah sendiri tidak pernah dikeluarkan oleh Ijung, karena itu pengobatannya lah yang datang ke kamar Yayah. Namun, dari sekian banyak Ahli Hikmah yang pernah datang ke sana, Yayah tidak kunjung sembuh. Dia masih selalu melihat ular, ngobrol dan bernyanyi sendiri di kamarnya.

“Ada tetangga yang mengusulkan kalau mau sembuh Yayah harus ditaruh di tengah hutan, dibiarkan digigit nyamuk tengah malam. Bisa sembuh ceunah. Karunya pisan,”.

Lanjutkan membaca “Tetangga, paman sarankan pasung sebagai solusi”

Perempuan, laki-laki dipasung sejak belasan tahun

Ilah RohilahBau pesing menyengat hidung menyambut kedatangan saya. Aroma itu berasal dari ruang yang terletak berdampingan dengan rumah bercat hijau yang berbatasan langsung dengan area persawahan.

Di dalamnya, Ilah Rohila, 28 tahun, tampak duduk santai di atas sumur tua dalam kegelapan. Tak jauh di belakang sumur terlihat dipan dari bambu yang sepertinya adalah tempat tidur Ilah.

Tidak tampak sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Kulitnya hitam manis, rambutnya hitam panjang. Ketika disapa ia tersenyum bahagia, polos seperti anak kecil. Kedua telapak tangannya ia satukan dan digosok satu sama lain. Ia terus tersenyum tanpa merasa risih dengan kamera yang terus mengabadikan rupanya.
Lanjutkan membaca “Perempuan, laki-laki dipasung sejak belasan tahun”

Dipasung karena wasiat ayah; dipasung karena bakar rumah ayah

Abas
Rambutnya menjuntai panjang melewati bahu, kumisnya tumbuh melewati garis bibir. Ia selonjoran di dalam ruang kayu berukuran 1×2 meter itu dengan peci bertahta di kepalanya. Namanya Abas, 27 tahun. Enam tahun ia tinggal di ruangan itu. Ruang yang dibangun khusus untuknya di belakang rumah orang tuanya di kampung Babakan Hulu Wetan Kecamatan Cugenang, Cianjur.

Sejak kecil Abas lebih suka menyendiri. Berbeda dengan kelima saudaranya yang senang bercengkrama satu sama lain, anak ke-4 ini lebih suka menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri. Kakak Abas, Fatimah (30) dan adiknya Apit (26) sudah terbiasa melihat gelagat berdiam diri Abas. Saudara Abas yang keduanya bekerja sebagai buruh serabutan itu mengaku dulu keanehan Abas belum seperti sekarang, mereka masih bisa ‘nyambung’ dengan omongan Abas.
Lanjutkan membaca “Dipasung karena wasiat ayah; dipasung karena bakar rumah ayah”

Gara-gara daun jayanti dan ‘diikuti penunggu curug’

Dikdik Sodikin
Anak kesayangan Apuddin, 60 tahun, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani itu sangat gemar mengumandangkan adzan. Semenjak lulus SD, putra keduanya itu berangkat ke pesantren untuk meneruskan pendidikan. Ia sangat bangga, karena Dikdik Sodikin (33) adalah anak yang baik dan pintar.

Namun karena asal mendengar saran teman seperguruannya untuk memasukkan air sari daun jayanti ke dalam hidung agar suara menjadi lebih bagus ketika adzan, Dikdik menjadi aneh. Dikdik menjadi pendiam, suka berkhayal dan seakan hilang ingatan. Dia bahkan tidak ingat di mana harus membuang air. Rumah Apuddin di kampung Cikaraja kecamatan Karangtengah, Cianjur menjadi kotor dan bau. Apuddin tidak tahan.

Ia dan isterinya akhirnya memutuskan untuk memisahkan Dikdik. Dikdik dibangunkan ruangan sendiri berukuran 1×2 meter terbuat dari papan kayu. Dikdik beraktivitas di sana, merokok, buang air sambil menunggu ibunya mengantar makanan. Karena lama tinggal di dalam ruangan sempit dengan kaki yang selalu terlipat, Dikdik menjadi lumpuh. Selama delapan tahun Apuddin berjuang untuk kesembuhan anaknya. Apuddin kerap membawa propsal ke badan Amil Dzakat, DPRD Cianjur, dan ke beberapa yayasan untuk membantu kesembuhan anaknya, namun hasilnya nihil.
Lanjutkan membaca “Gara-gara daun jayanti dan ‘diikuti penunggu curug’”

Sepintas tentang hasil penelitian pasung di Cianjur

Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan yang sering kali dikesampingkan dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi mereka yang tidak pernah terterpa oleh informasi kesehatan jiwa yang mumpuni. Contoh nyatanya ketika seseorang (sebut saja Roni) mengalami stres atau kegagalan dalam pekerjaan. Roni terlihat sangat murung. Acap kali dalam lingkungan keluarga di Indonesia, keluarga atau kerabat yang melihat Roni akan berkata kepada Roni, “Sebaiknya kamu banyak-banyak lah bertobat dan berserah diri kepada Tuhan, semoga Tuhan segera memberi jalan yang terbaik,”.

Orang yang menyarankan Roni untuk berserah diri kepada Tuhan itu tidak tahu betapa dalamnya sakit yang dirasakan oleh Roni, bisa jadi dia tidak dapat sembuh hanya dengan sekedar ‘berserah diri kepada Tuhan’, Roni harus mendapatkan perawatan dari paramedis yang berkompeten dalam masalah kejiwaan, namun jamak terjadi keluarga maupun kerabat tidak terpikirkan akan adanya paramedis yang dapat merawat kesehatan jiwa.

Lain halnya apabila Roni terserang demam berdarah, keluarga dan kerabat tidak mungkin hanya sekedar menyarankan Roni untuk berserah kepada Tuhan, dan banyak bertobat. Ketika gejala demam berdarah tampak pada Roni, keluarga selaku orang terdekat yang menyayangi Roni pasti akan membawanya ke paramedis.

Di sinilah letak keunikan masalah kesehatan jiwa: Mata kita tak dapat melihat jiwa yang sakit.
Lanjutkan membaca “Sepintas tentang hasil penelitian pasung di Cianjur”

Pasung di Cianjur: Pengantar

Sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis di sini. Sejak dua bulan lalu saya bekerja paruh waktu di sebuah agensi hubungan masyarakat. Walaupun hanya bekerja paruh waktu, dari jam lima subuh sampai jam sepuluh pagi, namun kegiatan ini cukup membuat saya kehilangan waktu untuk melamun dan merangkai kata-kata, hahaha.

Tadi malam di perjalanan pulang dari rumah ipar, saya berpikir, mengapa tidak saya terbitkan saja tulisan saya dari bahan penelitian dulu. Toh dengan demikian akan lebih banyak orang yang membacanya, daripada sekedar teronggoh di situs kampus dan di lemari buku saya. Saya akan sangat senang apabila tulisan ini bermanfaat bagi orang lain. Ya sudah, akhirnya mulai hari ini setiap harinya saya akan menerbitkan bagian dari skripsi saya.

Skripsi saya secara garis besar menceritakan kisah sepuluh keluarga yang waktu itu sedang atau pun pernah memasung anggota keluarga mereka. Saya berusaha untuk mecari tahu alasan di balik pemasungan mereka yang berkenaan dengan pemaknaan mereka terhadap kondisi yang dialami oleh sang anggota keluarga.

Oh iya, harus diingat bahwa skripsi ini saya tuliskan pada 2013, banyak hal yang sudah berubah. Waktu itu saja BPJS masih belum ada, Puskesmas pun masih tidak memiliki layanan kesehatan jiwa (setahu saya saat ini sudah ada beberapa yang memiliki).

Dengan diterbitkannya tulisan ini di dalam blog saya, saya juga berusaha untuk memotivasi diri untuk segera menanyakan perkembangan isu ini kepada Pak Nurhamid, begitu saya berkunjung kembali ke sana.

Selamat membaca!
Lanjutkan membaca “Pasung di Cianjur: Pengantar”

Cita-cita: Belajar membesarkan anak dengan citra diri yang baik

Sekitar seminggu sebelum pulang ke tanah air kami diundang makan malam di rumah teman.

Teman suami saya, sebut saja namanya Elyasa, adalah seorang botanis yang sedang menempuh pendidkan doktoral di kampus yang sama dengan suami saya. Isterinya bernama Avivah, seorang sejarawan yang sedang membangun karir sebagai akademia dan sedang menyelesaikan program posdoktoral keduanya di University of Chicago. 

Mereka orang yahudi taat, Elyasa selalu menggunakan kipah (topi orang yahudi yang mirip peci itu), tapi saya dan suami tidak tahu kalau mereka ternyata vegan dan vegetarian. Kami membawa makanan non vegetarian!

Lanjutkan membaca “Cita-cita: Belajar membesarkan anak dengan citra diri yang baik”

Dian Sastro dan pelajaran tentang ‘personal space’

Salah satu teman saya bekerja pada sebuah produk kecantikan yang bintangnya adalah Dian Sastro. Di media sosial, dia membagi tentang Dian yang kehilangan pengikut di Instagram sebanyak 200 ribu akun beberapa saat setelah dia terlihat di instagram storynya menepis tangan seorang pengagum kemudian bergidik geli. Satu komentar berbunyi kurang lebih demikian:

“Diajarin dong mbaknya jangan seperti itu,”.

Lanjutkan membaca “Dian Sastro dan pelajaran tentang ‘personal space’”