comment 0

Depresi dan tendensi bunuh diri

Tiga tahun lalu saya menulis skripsi tentang para pasien skizofrenia yang dipasung oleh keluarga mereka sendiri. Pengalaman menuliskan skripsi yang sebelumnya diawali dengan penulisan laporan mendalam seputar undang-undang kesehatan jiwa membuat saya merasa dekat dengan topik ini.

Berdiskusi, menulis dan berbicara tentang masalah kejiwaan adalah satu hal, namun mengalami masalah kejiwaan merupakan hal yang sepenuhnya berbeda. Saya bisa saja mempunyai pengalaman dari hasil observasi saya terhadap narasumber peliputan dan penelitian saya, tapi ketika masalah kesehatan jiwa ini menyenggol kehidupan saya secara langsung apakah saya bisa berpegangan lebih erat terhadap pengetahuan saya daripada awam yang sama sekali tidak terterpa hal serupa? 
***

Waktu itu (sekitar 2011 atau 2012) adik saya duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah atas. Dia bersekolah di salah satu sekolah ternama di kota Makassar. Sekolahnya sangat berbeda dengan sekolah saya yang terkenal karena murid-murid “bureng” (istilah orang Makassar kependekan dari “buru rengking”, bahasa gaulnya “nerd”), sekolah adik saya terkenal sebagai sekolah anak gaul dan anak orang kaya.

Adik laki-laki saya sangat manis. Dia tidak merokok dan hobi berolah raga, pandai bergaul serta loyal kepada teman. Meskipun kadang suka manyun, tapi dia selalu mau membantu dan tidak menolak untuk dimintai tolong.

Kala itu adik saya ditunjuk menjadi ketua panitia dalam sebuah acara di sekolahnya. Ternyata dia memiliki masalah dalam perjalanannya sebagai ketua panitia. Dia merasa tertekan, seakan teman-temannya menyerahkan segala tanggung jawab kepanitiaan hanya untuk dirinya. Semua itu terlalu berat bagi adik saya yang baru pertama kali memanggung tampuk kepemimpinan dalam skala lumayan besar (satu angkatan sekolah dia). 

Dia kalah. Dia enggan bersekolah. Berkali-kali temannya datang untuk membujuknya namun dia enggan. Dia diam di rumah, tidur sepanjang hari. Satu kali dia bahkan pergi sendirian mengendarai motornya sampai ke luar kota, Pare-pare, dan tinggal di sana beberapa malam (saya lupa berapa lama). 

Beberapa kali mama saya menghubungi saya untuk membujuk dia, namun dia tidak mau bercerita kepada saya.

Saat kejadian ini berlangsung saya sudah tidak tinggal dan beraktivitas di Makassar, saya melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa. 

Di kampus saya dekat dengan beberapa teman aktivis musik lokal. Ketika adik saya merencanakan acara yang dia pimpin -sebelum dia akhirnya berhenti sama sekali untuk mengurasi acara itu- dia memanggil grup musik teman saya untuk mengisi acara sekolah mereka. Saya ikut mengantar grup musik itu ke Makassar.

Saat pulang ke Makassar, saya menemui mama saya sudah menjadi sangat kurus dan adik saya berubah gendut dan gondrong. Saya menangis melihat mama saya, saya pun menangis melihat adik saya yang tidak mau bergerak dari tempat tidurnya.

Acara yang adik saya inisiasi tetap berjalan walaupun tanpa dinahkodai pemimpinnya yang sudah menyerah. 

Adik saya tetap mau mengantar saya selama mengurus acara sekolahnya di Makassar. Di mobil saya selalu berusaha membujuk dia untuk kembali bersekolah dan meyakinkan dirinya bahwa teman-temannya bersedia menerima dia kembali. Namun ternyata saya salah, adik saya yang tidak mau menerima teman-temannya. Acara berlangsung aman dan lancar, saya beserta rombongan grup musik pulang ke Jawa.
***

Saya pertama kali bergelut dalam pelaporan mendalam tentang isu kesehatan jiwa pada 2010 sehingga saya familiar dan cukup yakin bahwa adik saya depresi. Namun pada penerapannya, susah sekali membujuk keluarga dan adik saya untuk berobat ke psikiater. Terkadang mama saya berujar bahwa adik saya hanya manja, cari perhatian dan mungkin dia tidak cukup pintar makanya dia menjadi pecundang menjelang ujian nasional. 

Saya sedih. Saya percaya adik yang saya kenali yang periang, lucu dan gampang bergaul ada di dalam sana, dibalut oleh selimut tebal bernama depresi. Saya yakin adik saya pun sesak karena depresi seakan memeras badannya terlalu erat. Namun sangat, sangat, sangat susah. Kata-kata tidak sanggup melukiskan kepayahan saya untuk meyakinkan keluarga saya tentang masalah kesehatan jiwa. Semua memandang sebelah mata akan keyakinan saya. Saya yang tidak tinggal di Makassar pun hanya bisa khawatir dari jauh. Percuma.

Setelah beberapa bulan putus sekolah adik saya pindah ke Jakarta. Dia tinggal di rumah kami di kawasan Ciputat. Mama saya juga datang. Saya pun kadang menemani dia bila tidak sedang berada di kawasan kampus. Awalnya dia masih setengah bisu, keras kepala dan menyebalkan. Namun perlahan dia mulai terbuka dan berbicara kepada saya. Dia mulai mau kembali sekolah. Dia disekolahkan di kampung mama saya. 

Walaupun terlambat satu tahun dari teman-teman SMAnya saya bersyukur dia mau mengecap pendidikan tinggi. Kini dia berkuliah di perguruan tinggi swasta ibu kota.

Dia sempat sedih ketika pacarnya sejak SMP menikah dengan orang lain, namun kini dia sudah melanjutkan hidupnya, normal: kadang menyebalkan, sering super menyebalkan seperti halnya adik pada umumnya, tapi kadang juga baik hati bergosip dengan saya dari A sampai Z. Mulai dari masalah kampus dia hingga tentang masa-masa depresinya.

Satu ketika dia mengakui saat dia kalah, dia pernah mencoba bunuh diri dengan meminum baygon. Tapi dia tidak tahan dengan rasanya dan akhirnya memuntahkan isi perutnya. Mama saya yang juga berada di mobil saat dia bercerita kepada saya berujar,

“Memang belum saatnya, biar kau mau mati kalau belum saatnya Tuhan tidak izinkan,” begitulah kira-kira.

***

Ada ironi dalam kisah ini. Ingat teman yang saya antar ke Makassar untuk manggung di acara sekolah adik saya? Menejer grup musik itu adalah teman baik saya di organisasi kampus. Sebut saja namanya Adil. Waktu kami ke Makassar, Adil ikut membujuk adik saya untuk memaafkan teman-temannya dan kembali beraktivitas. Namun adik saya menolak. 

Beberapa bulan setelah membawa grup musik yang dia kelolah ke Makassar, Adil meninggalkan kami untuk selamanya. 

Saya terpukul. Saat itu saya sedang makan malam bersama kakak laki-laki saya dan beberapa temannya yang membantu saya berbenah untuk pindahan kosan. Masa perkuliahan saya telah selesai, tinggal menyelesaikan skripsi, saya pun berniat untuk tinggal di rumah Ciputat. Selesai makan, saya ditelepon oleh sahabat saya yang lain. 

“Eh, kamu baca twitter ga? Adil meninggal!” katanya.

Saya terperanjat. Tubuh saya seperti lilin yang sumbunya telah habis dimakan api. Saya tidak percaya. Waktu itu kami makan malam di Bandung, jasad Adil di Jakarta. Saya menelepon kembali sahabat saya untuk bertanya detail. 

“Kecelakaan,” kata dia.

Saya meminta kakak saya untuk mengantarkan saya ke tempat Adil disemayamkan.

Sepanjang perjalanan saya seperti bermimpi. Saya tidak percaya. Baru minggu lalu saya bertemu dengan dia yang sudah siap sidang kelulusan. Kami berpapasan, namun saya terburu-buru. Saya hanya menyapanya sebentar dan meminta maaf ketika menolaknya yang mau ngobrol dengan saya. Saya tidak bisa memaafkan diri saya, mengapa saya tidak meluangkan waktu sedikit untuk berbicara dengan dia hari itu?

Saya bertemu dengan sahabat yang menelepon saya. Dia adalah orang yang paling konyol yang saya kenal, namun malam itu tidak ada senyum di wajahnya. Saya terus bertanya, Adil kenapa? Kecelakaan di mana? Sahabat saya tidak mau menjawab. Akhirnya pertanyaan saya dijawab oleh teman yang adalah vokalis grup musik yang waktu itu ke Makassar.

“Kamu tidak tahu? Adil…bunuh diri,” kata dia menggerakkan tangannya seperti pisau yang memotong leher.

Tangis saya pecah tak tertahankan. Bagaimana saya begitu bodoh? Apa yang saya dapatkan dari terjun di dunia kesehatan jiwa? Bagaimana bisa saya sok menuliskan tentang kesehatan jiwa bila ternyata saya sendiri tidak peka bila berhadapan langsung dengannya?
***

Depresi dan bunuh diri tidak hanya mengantui dia yang diselimuti langsung olehnya melainkan juga memengaruhi orang-orang terdekat mereka. Sayangnya depresi dan masalah kejiwaan lainnya tidak seperti kudis yang bisa kita observasi dengan kasat mata. 

Masalah kesehatan jiwa bagaikan The Riddler dalam kisah Batman yang gemar memberikan klu serta teka-teki. Acap kali, awam lebih sering menebak-nebak dengan kapasitas seadanya, menggunakan julukan lain padahal semua petunjuk mengarahkan jawaban dari teka-teki itu adalah depresi, bipolar, skizofrenia dan masalah kesehatan jiwa lainnya. Julukan yang lebih sering awam pilih dan akhirnya menjadi stigma adalah manja, cengeng, kekanakan, tidak bertanggung jawab, pengecut, diguna-guna, gila, dan lain-lain.

Sebagai perempuan yang setiap bulannya mengalami gangguan mood ringan karena gejolak hormon, sebagai ibu yang telah melalui masa-masa pascamelahirkan, serta sebagai isteri yang menghabiskan sebagian besar waktu di rumah, memasak dan membersihkan, depresi adalah teman lama yang masih rajin mengunjungi saya.

Satu hal yang paling saya takutkan ketika dia datang adalah bagaimana perilaku saya memengaruhi orang terdekat saya. Pengertian dari keluarga dan sahabat sangat penting. Saya tidak pernah meminum anti depresan, saya sendiri belum pernah berkunjung ke kantor psikiater sebagai seorang pasien. Saya beberapa kali bertemu dengan psikiater dalam kapasitas saya sebagai wartawan atau peneliti.

Dari hasil obrolan saya dengan para psikiater, saya tahu bahwa semua orang memiliki gen masalah kejiwaan di dalam dirinya, gen itu bersifat mati-hidup. Gen gangguan jiwa akan hidup bila lingkungan memberi kesempatan, makanya orang yang hidup dekat dengan garis kemiskinan biasanya lebih banyak yg menderita masalah kejiwaan.

 “Setiap hari mereka stres karena tidak tahu apakah besok mereka punya uang untuk makan,” kata sang psikiater.

Justifikasi saya dalam mendiagnosa diri saya sendiri adalah karena dalam banyak hal saya masih sadar dan terkoneksi dengan realitas. Saya mengobati diri saya sendiri dari cengkraman depresi dengan menari, meluangkan waktu menghirup udara segar, berjalan kaki atau menumpang kendaraan, serta berbincang dengan orang lain. Sebagai ibu saya beruntung memiliki buah hati pelipur lara, namun bagi saya salah satu obat depresi andalan yang tidak pernah habis adalah tangis.

Saya percaya kadang kita harus meluangkan waktu untuk kalah sebentar, dan itu tidak apa. Saya selalu mengingatkan diri untuk berdamai dengan kekalahan dan berdamai dengan kehidupan yang berlangsung di sekitar saya. 

Tinggalkan komentar