comment 0

Melamar dan mengurus izin kerja di Amerika Serikat: Employment Authorization Document (EAD) pemegang visa J2

Setelah mendapat surel perpanjangan langganan untuk lapak ini, saya pun kembali terpacu untuk menulis. Satu tahun penuh saya membawa anak saya untuk mengikuti suami yang sedang riset lapangan. Di mulai dari beberapa kota di Indonesia, Singapura, Belanda, Inggris sampai akhirnya kembali ke tanah tumpah darah anak saya.

Banyak sekali pengalaman baru yang menempa kami selama di perjalanan, jamak senangnya tapi fase stres dan depresi tak pelak menimpa -terutama yang berhubungan dengan masalah klasik pemegang paspor hijau: ketika keluar negeri harus selalu berurusan dengan perizinan (nanti kita bahas di tulisan selanjutnya).

Pengalaman yang sudah berlalu selama setahun belakangan pun secara harfiah harus kami bayar mahal. Berhubung hanya suami saya yang dibiayai oleh yayasan beasiswa, saya dan anak saya harus menguras tabungan agar kami tetap bisa bersama.

Mulai dari tiket pulang ke Indonesia yang saya bayar dengan upah menjual bakso dan makanan lainnya, tiket domestik Indonesia, tiket mancanegara, mengurus visa, asuransi, tempat tinggal, transportasi dan banyak lagi. Fiuuuhhh..! Totalitas pengeluaran.

Akhirnya setelah kembali ke Evanston, tujuan saya hanya satu: menabung!

Sebenarnya saya sudah memiliki surat izin bekerja sejak 2016, sebelum saya pulang ke Indonesia. Hanya saja ketika itu anak saya masih belum genap dua tahun, saya menyusui hampir setiap saat. Lowongan pekerjaan yang memungkinkan agar saya bisa bekerja dari rumah terbatas, saya pun beberapa kali ditolak.

Namun kali ini anak saya sudah tiga tahun. Didorong oleh pengalaman teman dari Indonesia yang sudah lebih dulu masuk ke dalam dunia kelas pekerja Amerika Serikat, saya pun membulatkan diri untuk ikut terjun ke sana. Teman saya, sebut saja Daniela bekerja di kafe dan restoran. Dia mewanti-wanti saya bahwa pekerjaannya begitu melelahkan, namun dorongan untuk menabung lebih kokoh daripada kaki saya yang lemah. Saya pun memberanikan diri mendaftar ke beberapa lowongan.

***

Wawancara kerja pertama saya di rumah jompo papan atas. Buset, tempatnya seperti hotel. Menurut teman yang menuliskan buku tentang dunia yang semakin menua, tempat ini adalah salah satu panti jompo yang terbaik dan termahal. Saya menemukan lowongan kerja di tempat itu dari situs Indeed.

Setelah membuat janji, membeli baju dan sepatu di Goodwill (karena baju saya banyak yang sudah saya sumbangkan di kotak sumbangan Leiden dan London), saya pun merasa siap bertemu dengan staf personalia panti jompo alias hotel itu. Dengan kaki yang terluka karena sepatu yang masih bagus tapi bikin kaki lecet itu, saya diwawancarai oleh staf personalia yang ingin tahu banyak tentang pekerjaan saya sebelumnya sebagai wartawan.

Kemudian perempuan sebaya saya namun berkulit putih itu mengenalkan saya pada penanggung jawab restoran, tempat saya mendaftar sebagai pramuniaga. Penanggung jawab restoran, lelaki berkulit hitam berusia sekitar 40 akhir atau awal 50, menjelaskan kepada saya karakter para residen dan bagaimana pramuniaga berinteraksi, dia menunjukkan bagaimana cara membawa nampan dan hal teknis lainnya. Kami banyak bercerita tentang latar belakang saya sebagai seorang ibu sambil dia tertawa karena mengingat isterinya.

Saya merasa proses wawancara berjalan baik, hanya kaki saya saja yang lecet sampai saya harus mengutus

suami untuk beli sandal jepit setelah wawancara. Beberapa hari setelah wawancara saya menerima surel yang menyatakan mereka akan meneruskan mencari pramuniaga meskipun staf personalia menyanjung latar belakang saya yang dia rasa menarik.

Saya pun melanjutkan mencari pekerjaan. Menurut Daniela, bekerja sebagai barista menjanjikan penghasilan yang cukup menggiurkan. Kebetulan sekali saat itu ada rekrutmen terbuka sebuah kafe populer di kota kecil ini. Walaupun bukan peminum kopi, saya mencoba mendaftar. Saya diwawancarai oleh manejer muda, trendi berambut ungu yang memancarkan pesona karamahan. Namun saya yang tidak biasa berbohong hanya bisa menjawab “hot chocolate” ketika dia menanyakan minuman favorit saya (sebenarnya minuman favorit saya air putih, tapi sepertinya jawaban itu akan jauuuuh tidak menyentuh ekspektasinya). Saya pun tidak mendengar kabar dari mereka setelah wawancara -yang berarti mereka tidak menerima saya.

Selain dari situs listing perkejaan, saya juga mencoba mendaftar langsung di situs-situs retail maupun restoran. Beberapa menolak saya, namun akhirnya setelah hampir satu bulan mencari kerja, saya menerima satu panggilan wawancara dari salah satu retail terkemuka Abang Sam.

Saya sudah membeli sepatu baru-tapi-bekas lainnya karena saya tidak ingin kaki yang terseok kembali menurunkan kesan pertama saya (haha). Saya diwawancarai oleh penanggung jawab departemen makanan siap saji, seorang perempuan keturunan Irlandia berusia 65 tahun, sebut saja namanya Dina.

Mula-mula dia bertanya tentang pengalaman kerja saya yang terakhir di Indonesia sebagai media monitoring officer. Tak lupa saya menceritakan pengalaman saya menjual makanan kepada sesama teman Indonesia di sini. Tak berapa lama kemudian, perempuan itu memanggil lelaki berkaca mata untuk duduk bersama kami. Lelaki itu bertanya beberapa pertanyaan, seperti: apakah kamu yakin mau di departemen makanan siap saji? Apakah kamu yakin bakal kuat kerja retail? Susah loh. Saya pun menjelaskan tentang pengalaman saya senagai wartawan ketika harus mewawancarai masyarakat yang lalu-lalang dan diacuhkan oleh mayoritas orang. “As if you are invisible?” tebak Dina, tepat sekali.

Akhirnya, Dina dan lelaki berkaca mata itu beranjak dan berdiskusi meninggalkan saya sampai beberapa saat kemudian Dina kembali duduk bersama saya sembari membawakan kertas. Saya diterima dan lelaki berkaca mata tadi ternyata adalah orang tertinggi di toko itu.

Dina menjelaskan tentang gaji awal saya dan kapan saya harus masuk untuk orientasi. Dalam 48 jam saya pun harus mengakses sebuah situs yang mengonfirmasi bahwa saya menerima perkerjaan ini. Berhubung retail tempat saya mendaftar adalah perusahaan besar, hal yang lebih detail dijelaskan pada saat orientasi. Dari orientasi itu saya belajar banyak sekali tentang bagaimana perusahaan besar di Amerika Serikat mengurusi pegawainya salah satu yang paling krusial, terutama bagi yang bukan warga negara Amerika Serikat adalah masalah perizinan.

***

Izin kerja, EAD

Ketika mengonfirmasi kesediaan untuk bekerja di perusahaan itu, masuk surel susulan yang mengingatkan saya untuk membawa bukti izin kerja. Mereka menautkan daftar dokumen yang dapat dibawa baik oleh warga negara AS maupun non-warga negara yang secara legal dapat bekerja.

Dokumen ini digunkan untuk verifikasi I-9. Saya pun membawa izin kerja alias EAD saya yang akan berhenti masa berlakunya di bulan November (kala itu sudah bulan Juni). Walaupun masa berlaku EAD kurang dari setahun, pihak perusahaan tidak mempermasalahkan. Pada September, manajer personalia mengingatkan saya untuk membawa dokumen izin kerja baru yang akan segera kadaluarsa.

Huaah.. seperti biasa, mengurus perizinan macam begini membuat saya depresi. Saya mengirim dokumen untuk memperbarui EAD di bulan Juli, ketika saya sudah terkonfirmasi mendapat perkejaan. Saya tidak mau rugi, biaya memperpanjang EAD $410.

Dua minggu kemudian, pihak USCIS (silakan google kepanjangannya) mengirimkan notifikasi I-797C yang memberitahukan saya bahwa dokumen saya telah diterima dan kasus saya sedang dalam proses.

Memasuki Oktober saya mulai panik. Ternyata menurut ketentuan terbaru, USCIS tak lagi wajib mengeluarkan izin kerja dalam jangka waktu tiga bulan. Alih-alih tiga bulan, kini proses pembuatan dan pemanjangan EAD bisa memakan waktu sampai enam bulan.

Saya pun begitu pasrah dan memberitahukan kondisi ini kepada manajer personalia yang telah mengirimkan surel tagihan dokumen verifikasi I-9 sejak Oktober. Dia pun menjelaskan, bila EAD saya telah masuk masa kadaluarsa saya bisa mendapatkan cuti tanpa bayaran sembari menunggu izin kerja terbit.

Mungkin saya beruntung karena sekitar seratus hari sejak dokumen saya diterima, akhirnya EAD saya terbit tanpa harus mengajukan cuti. Fiuh! Namun setelah saya baca lagi, EAD saya hanya berlaku satu tahun, tidak dua tahun seperti EAD sebelumnya.

Saya yakin hal ini karena DS2019 saya hanya berlaku sampai Juni 2019, untungnya mereka memberikan surat sampiran yang akan membuat pengurusan EAD selanjutnya lebih cepat (yang mana jika proses EAD memakan sampai enam bulan berarti saya harus kembali memperpanjang EAD saya bulan ini! $410 😭).

Belakangan saya baru menyadari dari satu pengumuman yang tertempel di ruang rekreasi keryawan bahwa perusahaan di Amerika Serikat tidak boleh menolak karyawan hanya berbasis dari kewarganegaraan mereka. Perusahaan Amerika Serikat tidak boleh mendiskriminasi dan hanya menerima warga negara. Pemerintah Abang Sam juga mengharuskan perusahaan untuk memberi waktu, bantuan dan kesempatan bagi karyawan yang mengalami permasalahan dalam mengurus izin kerjanya.

Oh iya, dokumen yang harus disertakan bisa di-googling, saya sukanya pakai versi dari kampus suami: dokumen I-765 yang sudah diisi, cek $410, fotokopi DS pasangan dan diri, fotokopi nomor I-94, fotokopi visa, fotokopi buku nikah, fotokopi bagian biodata paspor, dua foto berwarna ukuran paspor, surat pengantar, serta fotokopi EAD sebelumnya.

Nantikan kisah pengalaman bekerja sebagai pegawai retail Amerika Serikat saya selanjutnya! *krik-krik*

Tinggalkan komentar