Dua garis biru di tongkat ajaib pengetes kehamilan itu mengubah hidup kami. Kami memutar otak untuk memutuskan, apakah saya akan menghabiskan masa kehamilan di Amerika atau di tanah air?

Saya dan suami tidak ingin berpisah, apalagi mengingat betapa sensitifnya saya ketika awal-awal hamil (belum lagi mual-muntah-letih-lesunya), rasanya enggan berjauhan dengan suami yang begitu menyayangi saya.

Problematikanya, saya tidak punya asuransi. Saya tidak akan bisa membayar ongkos persalinan dari dompet sendiri. Kondisi kami saat itu adalah pengantin baru yang menikah di bulan Agustus dan hamil di bulan November. Kami tidak punya banyak simpanan uang. Kami baru saja membayar uang tiket pergi ke Amerika untuk saya. Kami juga baru mengisi apartemen kami yang kosong dengan furnitur pokok agar hidup kami layak.

Untuk membeli tiket pulang ke Indonesia saya bisa mengusahakan kondisi keuangan agar dapat tercukupi, tapi melahirkan di Amerika Serikat tanpa asuransi niscaya butuh lebih dari $1000 (ongkos tiket pulang).

Kegusaran hati saya mulai menemui tepinya ketika suami saya bertemu dengan orang Indonesia yang punya anak dua di supermarket Vietnam langganan kami. Suami saya bertanya bagaimana kisah dia dan isteri melahirkan di Amerika. Orang itu pun menjelaskan prosedur mendapatkan asuransi kesehatan dari pemerintah, medicaid.

Di Amerika Serikat, ibu hamil dari keluarga berpenghasilan rendah (penghasilan di bawah $44.000 per tahun untuk keluarga beranggotakan dua orang) bisa mendaftar untuk mendapat bantuan pemerintah. Bentuk asuransi yang ditawarkan bernama medicaid. Suami saya pun mencari tahu cara mendaftar medicaid.

Cara yang kami tempuh yaitu pergi ke klinik kesehatan yang berafiliasi dengan medicaid. Di sana saya diperiksa untuk mendapatkan surat tanda bukti kehamilan. Untuk pertama kali datang kami membayar $60, namun suster yang menangani saya memberi tahu saya agar tidak usah khawatir karena setelah permintaan asuransi saya dikabulkan segala kebutuhan kesehatan akan gratis.

Klinik kesehatan yang kami datangi bernama Heartland Health Center cabang Devon. Letaknya hanya 1 mil dari rumah kami di Chicago. Selesai berurusan dengan suster yang menegaskan kehamilan saya, saya diarahkan menemui konsultan asuransi yang langsung mendaftarkan saya ke program Abe Illinois. Selama menunggu aplikasi saya diproses, saya mendapatkan asuransi emergensi yang berlaku selama satu bulan.

Selama itu pula saya mulai melakukan pengecekan kehamilan di klinik yang sama. Sayangnya, setelah satu bulan tidak ada surat dari pemerintah yang mengantarkan kartu asuransi saya. Hanya kartu asuransi sementara yang saya terima. Saya kembali memperpanjang asuransi sementara sambil melengkapi aplikasi saya.

Di situs Abe.Illinois saya dimintai untuk memasukkan Social Security Number, padahal sebagai pemegang visa J2, saya tidak dibolehkan langsung mendaftar SSN. Untuk mendapat SSN saya harus mendaftar untuk mendapatkan izin kerja dulu di kantor imigrasi yang prosesnya akan memakan waktu paling cepat empat bulan dengan ongkos $400.

Tidak berapa lama kemudian, saya pun menerima surat yang berisi penolakan aplikasi medicaid karena saya gagal memenuhi persyaratan kelengkapan data gara-gara tidak punya SSN.

Dalam situsnya dijelaskan para pendaftar asuransi ibu hamil (juga asuransi All Kids untuk balita nantinya) tidak membutuhkan SSN. Pendaftar hanya butuh melampirkan bukti hamil, bukti pendapatan keluarga, bukti domisili.

Namun, mengapa aplikasi saya ditolak karena tidak menyetor SSN? Di sini saya kembali ragu. Apakah saya pulang saja? Daripada uang $400 dipakai untuk urus SSN yang prosesnya lama, bukankah lebih baik bila dipakai pulang? Toh di Indonesia hidup saya akan lebih enak. Ada mama yang tahu semua seluk-beluk ibu hamil jadi saya tidak usah takut-takut sendirian. Di Indonesia juga ada pembantu, jadi saya bisa beristirahat, tidak melakukan pekerjaan domestik sementara saya sedang mual muntah.

Setelah berunding dengan suami, kami menemukan hasrat untuk bersama kami jauh lebih besar. Jadinya saya berkonsultasi dengan konsultan asuransi di klinik saya. Si konslutan mengirim fax ke kantor yang mengirimkan saya surat penolakan, selain itu dia juga menyarankan saya untuk langsung ke kantornya pagi-pagi sekali.

Kali pertama saya ke sana untuk menyetor aplikasi hasilnya nihil. Kami menunggu selama dua bulan (dari Februari sampai April) tapi tidak ada panggilan. Saya sangat gusar dan kembali berkonsultasi. Saya disarankan untuk mendaftar ulang, mulai aplikasi baru dan langsung ke kantor itu, tidak lewat situsnya.

Di bulan Mei, baru lah suami saya mempunyai waktu yang cukup luang untuk menemani saya ke kantor pemerintah urusan bantuan kesejahteraan atau disebut Department of Human Services (DHS) itu. Hari itu juga kami diwawancara oleh petugas DHS, dia yang mendengar saya akan melahirkan di bulan Agustus memastikan saya akan mendapatkan kartu asuransi dua minggu dari hari itu.

Kami pun bisa bernapas lega.

Jangan takut!

Saya tahu, tulisan ini tidak dapat menyampaikan dengan komperehensif bagaimana lamanya proses menunggu aplikasi saya diterima. Kami ditolak dua kali!

Bila Anda mendapati tulisan ini karena sedang menghadapi masalah yang sama dengan saya pada saat itu, jangan takut. Melahirkan di Amerika Serikat, walaupun kita bukan anak oligarki Indonesia, bisa dilakukan.

Semua orang di klinik saya sangat membantu. Contohnya satu kali saya sedang dalam keadaan darurat medis karena suami saya terkena cacar air dan saya tidak imun dari virus varicella.

Saya menelepon klinik saya, dr. Buckley, salah satu OB yang menangani saya langsung menelpon balik saya dan mendikte apa yang saya harus lalukan.

Dr. Buckley bercerita dia dua jam menelepon ke sana kemari untuk mencari tahu di mana saya bisa mendapatkan Zoster Immune Globulin (ZIG) obat yang bisa memacu daya tahan tubuh saya agar tidak tertular virus cacar air. Ibu hamil tidak boleh divaksin varicella dan cacar air pada ibu hamil dapat berakibat fatal bagi janin dan ibu, oleh karena itu saya harus segera mendapat perawatan.

Dr. Buckley menyuruh saya untuk segera ke UGD Rumah Sakit Northwestern yang terletak di pusat kota Chicago. Sebelum menyuruh saya ke sana, di telepon dia mengabari kalau asuransi sementara saya sudah habis tapi saya tidak perlu risau karena dia sudah meminta konsultan asuransi untuk memperpanjang asuransi saya.

Bahkan seorang dokter yang sebenarnya penugasannya bukan untuk mengurusi asuransi pasien turun tangan memastikan saya, warga negara Indonesia berpenghasilan rendah yang hamil di Amerika Serikat, mendapatkan penanganan medis yang layak tanpa harus tercekik tagihan rumah sakit.

Contoh lainnya ketika saya mau membawa bayi saya pulang ke Indonesia, dr. Curtis meresepkan tylenol untuknya. Saya tidak yakin di mana kertas resep itu saya letakkan, saya pun bertanya “Tylenol itu obat konter kan? Saya bisa langsung beli saja?” yang dibalas oleh dr. Curtis “Ya, tapi lebih baik kau ambil dari apotek yang sudah kami tujukan untukmu dengan begitu asuransimu yang akan bayar obatnya,” jawabnya.

Sebelumnya saya mengira pelayanan para petugas kesehatan akan setengah hati karena saya menggunakan asuransi pemerintah. Nyatanya saya salah. Mereka sangat profesional.

Semua kunjungan kehamilan saya, kunjungan ke UGD, kunjungan ke laboratorium ultrasound, kunjungan ke dokter gigi ketika saya hamil, dua hari menginap di RS ketika proses persalinan, serta dua kali menginap di RS karena pendarahan setelah melahirkan ditanggung oleh pemerintah daerah Illinois, Amerika Serikat.

Pantang menyerah walaupun prosesnya lama dan mungkin menguras kesabaran karena semua upaya itu sepadan!

Join the Conversation

  1. avatar Baguz BisnisMedia
  2. avatar Mama Rumahan
  3. avatar Tidak diketahui

4 Comments

    1. Halo! Terima kasih sudah komentar! Hidup di AS dan Indonesia dua-duanya punya sisi enak/tidak enak masing-masing. Ya, pelayanan kesahatan di AS memang terkenal sangat mahal. Khusus mengenai asuransi dari pemerintah, saya belum punya BPJS jadi saya tidak bisa membandingkan langsung perihal proses pembuatan kartu dan pelayanan pasien dengan asuransi pemerintah di Indonesia dengan di AS.

      Suka

Tinggalkan komentar