Selama di Tanah Air saya bersyukur bisa kembali mencicipi kehidupan profesional (nanti akan saya ceritakan lebih dalam), namun banyaknya kegiatan ditambah urusan “cabut” dari Tanah Air berujung pada melompongnya blog ini. Berhubung tinggal di kawasan Jabodetabek, waktu banyak sekali terkuras di jalan padahal orang yang harus kami kunjungi bejibun selama pulang.

Kejadian yang telah berlalu sebenarnya sangat membekas pada saya, tapi entah mengapa ada keengganan untuk menuliskannya. Mungkin saja karena mengingatnya akan membuat saya kembali terluka.

***

Selama di Tanah Air saya ditolak oleh beberapa beasiswa untuk sekolah di Amerika Serikat.

Pada mulanya, ketika saya menemani suami saya di tahun 2014, saya berniat untuk langsung mendaftar sekolah. Namun, saya mendapati diri mengandung jabang bayi, empat bulan setelah tinggal di Chicago. Saya pun harus mengubah prioritas dari sekolah menjadi melahirkan dengan sehat dan selamat. Saya melahirkan pada 2015 dan melewati lebih banyak waktu di rumah menemani anak. Pada 2017 baru saya mendaftar sekolah. Saya memilih mendaftar di sekolah yang sama dengan suami saya, alasannya tentu sangat praktis karena ingin tetap tinggal bersama keluarga saya. Alasan kedua karena ingin membuktikan diri bisa diterima di sekolah yang sama dengan dia. Sekolah itu juga cukup ngetop, masuk 20 (atau 15?) jajaran kampus teratas dunia.

Setelah program Komunkasi Kesehatan kampus pilihan menerima saya, saya pun mendaftari beberapa lowongan beasiswa. Salah satunya meloloskan saya hingga tahap wawancara. Saya sudah bersiap, pasti saya akan dipandang sebelah mata karena saya hanyalah seorang ibu rumah tangga. Tapi saya tidak menyangka saya akan berhadapan dengan orang yang benar-benar menertawai saya secara harafiah.

Hidup dan tinggal bersama akademisi kemudian bergaul dengan lingkungan yang juga dipenuhi oleh akademisi dengan berbagai keilmuan mereka, saya tentu tidak butuh orang lain untuk mengingatkan betapa kecilnya diri saya.

Tapi mungkin pewawancara itu tidak tahu dan merasa perlu mengingatkan saya tentang hal itu. Ketika saya menjelaskan tentang keprihatinan saya mengenai keadaan orang dengan masalah kesehatan jiwa di Cianjur, pewawancara itu nyengir sambil mengatai saya dramatis. Dia lalu mengingatkan saya bahwa saya sudah hidup enak di Amerika Serikat selama tiga tahun dan tidak tahu bagaimana keadaan di Tanah Air.

Lelaki yang mengaku sebagai psikolog anak itu juga mengingatkan bahwa usia anak saya masih sangat muda untuk ditinggalkan ibunya. Tak lupa dia juga menekankan suami saya sedang dalam masa genting untuk menuntaskan sekolahnya. Sebagai ibu, menurut dia saya harus mengalah.

Tentu saja saya sudah menjawab pewawancara bahwa saya dan suami saya adalah tim. Kami berdua memiliki kewajiban yang sama untuk membesarkan anak kami, begitu pula kami seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi kami, juga untuk mengejar cita-cita.

Ketika dia mengingatkan bahwa saya tidak pernah punya pengalaman di bidang kesehatan walaupun saya telah menceritakan pengalaman saya mencoba menuliskan penelitian komunikasi mengenai kesehatan jiwa, saya hanya tercekat. Mungkin benar, saya bukanlah dokter, perawat, atau praktisi kesehatan lainnya. Tapi saya ingin membantu, di bidang yang telah saya pelajari dan saya minati. Bukankah para praktisi kesehatan harusnya bisa menyambut baik kolaborasi dengan bidang komunikasi? Mereka menekankan bahwa mereka tidak bisa melihat ketersinambungan kedua bidang ini. Mungkin Komunikasi Kesehatan adalah bidang keilmuan karangan saya belaka.

Pewawancara tidak puas dengan apa yang saya tawarkan, psikolog anak itu bahkan tertawa mendengar usaha saya membuka katering kecil-kecilan untuk membayar tiket pesawat saya ke Tanah Air. Ia pun menambahkan, “Jadi kamu di sini tidak ngapa-ngapain?”.

Saya tak kuasa menahan rintik tangis ketika menemui suami dan anak saya yang menunggu di tempat parkir. Entah mengapa saya merasa perlu memohon maaf kepada suami saya karena saya telah banyak membuang waktu dan biaya untuk keperluan melanjutkan sekolah. Mulai dari tes bahasa, biaya mendaftar sekolah, biaya administrasi sekolah, tes kesehatan dan lainnya. Mungkin saya masih terpengaruh wawancara yang baru saja berlalu sehingga saya merasa tak pantas menerima investasi untuk pengembangan diri.

Saya begitu terpukul, saya pun mencari tahu ke teman saya yang juga berhadapan dengan tim pewawancara yang sama sehari setelah saya. Sama, teman saya yang juga seorang perempuan pun dibuat menangis. Topik yang membuatnya sedih pun sama, tentang keperempuanan kami. Untungnya teman saya lulus.

***

Saya tahu diri, pastinya pewawancara melihat jeda yang besar antara tempo saya bekerja penuh waktu sampai ketika saya mengajukan permohonan beasiswa. Terakhir saya bekerja penuh sebagai wartawan adalah tahun 2014, sementara saya mengajukan beasiswa 2017. Makanya pewawancara dengan gamblangnya mengatakan “Jadi kamu tidak ngapa-ngapain?”. Saya hanya menjawab singkat saya bekerja paruh waktu pada perusahaan konsultan komunikasi.

Barangkali benar kata psikolog anak itu, saya begitu dramatis hingga sampai saat ini saya masih mengingat banyak perkataan dia. Namun, barangkali juga saya terus mengingatnya karena saya ingin sekali bisa menjawab dia dengan menunjukkan apa yang saya telah lalui, bila saja dia mau mendengarkan.

Bagi dia mungkin mudah berhenti bekerja lalu pindah ke negara Abang Sam, hamil, melahirkan dan membesarkan anak jauh dari keluarga. Bila dia memakai sepatu saya, barangkali dia tidak pernah merasa sedih, depresi dan terisolasi.

***

Beberapa waktu lalu saya menonton film Kartini. Saya meninggalkan buku kumpulan surat Kartini milik suami saya di Tanah Air. Saya sangat menikmati samua tulisan Kartini, membacanya membuat saya membayangkan dia seperti gadis cerdas, riang, tidak bisa diam. Saya pun acap kali tertular energinya. Saya ingin sekali membacanya kembali, walaupun Kartini selalu mengingatkan saya betapa tragisnya hidup bagi perempuan kala itu.

Benarkah perempuan tidak bisa memenangkan semuanya? Benarkah dia tidak bisa menikah lalu sekolah? Bahkan bagi Kartini yang terus memperjuangkan keinginannya dan adik-adik perempuannya untuk sekolah. Kartini yang akhirnya menikah dan kemudian meninggal setelah melahirkan anaknya. Sementara proposal dia diterima beberapa saat setelah dia menikah, dia yang tidak bisa berangkat ke Belanda digantikan posisinya oleh seorang laki-laki! Ah, Kartini hidupmu begitu singkat nan puitis.

Namun, malam ini saat berbaring di kota Leiden saya telah menemukan banyak sekali wanita, ibu yang mengejar pendidikan sampai ke bangku doktoral di kampus idaman Kartini. Mereka semua memacu saya untuk tidak menyerah. Menikah dan punya anak bukan pantangan untuk punya karir dan berpendidikan tinggi. Seandainya Kartini lahir pada 1990, menikah, melahirkan dan bertahan hidup dia pasti masih akan mengejar pendidikan tinggi, bagaimana pun dunia coba memeluk kakinya: termasuk dia yang berada di simpang meja ketika meminta kesempatan yang sama untuk sekolah.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui
  2. avatar Mama Rumahan
  3. avatar oyen85

4 Comments

  1. Xora, aku juga punya pengalaman yang sama. Tapi bukan ketika wawancara beasiswa, melainkan wawancara kerja. Begitu disudutkan dengan berbagai macam pertanyaan sinis tentang tanggungjawab perempuan terhadap pekerjaan dan kodratnya sebagai ibu. Yang paling menusuk sih cara penyampaiannnya yang menuduh, walau aku tau itu hanya basa-basi khas HRD. Heran deh padahal yang wawancara juga sama-sama perempuan 🤦🏽‍♀️ Wawancara pun berakhir dengan aku nangis sesenggukan di gojek menuju kosan. Hahahaha :)))

    Suka

    1. 😭 i feel you sistaaah.. huu.. peluuuk..!! Semoga semua pintu terbuka bagi ibu2 yang melamar untuk sebuah kesempatan, semoga lain kali yg mewawancarai bisa lebih memilah dalam berkata2.. hu..

      Suka

  2. wahh baru baca secara lengkap mom, keen tulisannya. Sekarang gw juga lagi pengen nulis soal beasiswa yg failed padahal dah sampe tahap wwcr juga hahaha.. semangat mommy Matahari

    Suka

Tinggalkan komentar

Tinggalkan Balasan ke oyen85 Batalkan balasan