Beberapa hari lalu saya cicicuit di media sosial soal ini: alih-alih cerita bahagia, kisah apek selalu lebih menjadi pemantik tulisan saya di sini.
Saya yakin, pemilihan waktu menulis berperan penting dalam sendunya kisah-kisah dalam laman ini. Pasalnya, saya selalu terpacu untuk menulis ketika periode datang bulan saya mendekat. Saat-saat itu biasanya saya tidak bisa tidur karena berkontempelasi tentang berbagai hal. Menulis dan menuangkan jeritan-jeritan dalam kepala yang bagaikan suara seribu anak ayam itu selalu membantu saya tertidur.
Walau laman ini berisi seputar sudut pandang saya sebagai seorang ibu dan perempuan, ternyata perihal menstruasi belum pernah saya bahas mendalam padahal kisah laman ini bermula dari prokreasi. Kejadian yang lumayan apek dan bikin frustasi yang baru saja saya alami akan kembali saya bagi, barangkali ada yang akan menemukan tulisan ini ketika merasa yang sama. ***
Sekitar tiga bulan lagi anak saya akan memasuki usia tiga tahun. Beberapa teman yang memiliki anak seusia anak saya sudah hamil lagi. Saya pun beberapa kali menimbang dan merenung. Apabila ingin punya anak lebih dari satu, kapankah sebaiknya saya mencoba lagi?
Pilihannya: (a) hamil sekarang-sekarang. Kata pramusaji rumah makan langganan kami di Chicago waktu lihat bayi kami: “bikin anak lagi sekarang biar capeknya sekalian, satu anak, dua anak, tiga anak capeknya sama,”, (b) punya anak lagi nanti-nanti ketika saya sudah menemukan diri saya kembali atau mungkin (c) punya anak satu saja, atau lagi (d) kalau mau punya anak lagi adopsi saja.
Saya memutuskan untuk menghapus pilihan (a) dan lebih mendekat ke pilihan (b), (c) atau (d). Keinginan terdalam saya sebelum (jika nanti mau) hamil lagi adalah menjadi kuat, minimal ditandai dengan perut yang kotak-kotak seperti instruktur yoga idola saya atau Sigi Wimala. Rasanya sekarang dengan anak satu saja saya merasa kurang berstamina. Belum lagi saya juga ingin kembali merasakan kerja penuh waktu dan mengejar cita-cita saya yang rasanya terhenti sementara karena ketidakbisaan saya untuk fokus (alasan!!!).
Selain karena perut saya belum kotak-kotak, kehidupan kami pun masih penuh dengan ketidakjelasan, terutama karena kami masih terus berpindah. Untuk itu, kami berusaha mencegah kehamilan dengan memasang kontrasepsi.
Katanya kontrasepsi yang terbaik itu IUD. Saya ingin sekali tapi masih ngeri membayangkannya. Sehabis hamil saya juga pernah mencoba pil kontrasepsi resep dari dr. Curtis, ternyata efeknya sangat dahsyat terhadap ayunan mood saya. Kami pun memilih kondom sebagai kontrasepsi.
Selama beberapa tahun belakangan pengalaman memakai kondom aman dan enak-enak saja. PR-nya hanya membeli kondom dan menyiapkannya di dekat-dekat aksi. Kami pun bercinta dengan tiada risau takut hamil.
Tapi tidak demikian beberapa minggu yang lalu. Mens saya terlambat! Saya sudah mengunduh aplikasi pengingat periode datang bulan beberapa saat setelah melahirkan, tebakan mereka tentang datang bulan saya selalu tepat. Setiap aplikasi itu berkata “1 day before period” berarti benar besoknya pasti saya mens.
Hari itu ketika aplikasi menunjukkan saya telat satu hari saya sudah was-was karena mens saya teratur sekali, bahkan saya mens di bulan pertama setelah melahirkan (selain pedarahan karena placenta tertinggal yang mulanya dikira mens, yah).
Mens terlambat tapi gejala mens muncul
Anehnya, saya masih merasa gejala menstruasi seperti sakit kepala, mood berayun, susah tidur dan pegal-pegal seluruh badan. Saya pun mencoba berbaik sangka, mungkin cuma terlambat beberapa hari. Namun ketika mens saya terlambat satu minggu, saya sudah tak tahan untuk memesan pemeriksa kehamilan ke suami saya.
Suami saya pun membelikan alat tes seharga €9 berisi dua batang itu. Tes pertama negatif, saya lega sekali. Saya kembali menunggu datangnya sang rembulan dan menarget untuk tes lagi dihari keempat belas. Hari ketiga belas terlambat saya kembali gemas dan kembali mengencingi batang pengetes kehamilan itu. Hasilnya tetap negatif.
Di hari keterlambatan yang ke-14 saya berkonsultasi ke senior saya, sebut saja dr. Didi, seorang dokter yang menempuh pendidikan doktoral di Leiden. Menurut dia saya bisa saja hamil, namun hormon yang dideteksi oleh perangkat kehamilan belum muncul. Oleh karenanya saya harus mengetes kembali beberapa waktu kemudian. Namun, menurut pengalaman dia saya bisa jadi sedang stres sampai mens tertunda (yang saya amini begitu rupa).
Setelah bertemu dengan dr.Didi, saya dan suami pun kembali membeli alat tes hamil. Kali ini saya ikut dan memilih alat tes yang lebih murah, €4,5 isinya dua batang.
Menurut hasil pencarian di situs mesin cari, waktu paling baik untuk tes hamil adalah pipis pertama ketika bangun tidur, begitu pula kata dr.Didi. Pagi di hari ketujuh belas lambatnya mens saya itu saya yang kebelet pipis buru-buru membuka si tes kehamilan.
Wadaw, bentuknya tidak seperti tes hamil yang harganya dua kali lebih mahal itu. Baru kali ini saya melihat alat tes hamil model begini. Sambil kebelet saya cari-cari tulisan instruksi di kardus berbahasa Belanda itu, tapi nihil! Tidak tahan, saya pun ke kamar kecil dan pipis aja di bagian-bagian yang sepertinya harus dipipisi.
Setelah lega habis pipis, saya kembali ke kamar dan menemukan instruksi tes hamil itu ada di dalam kardus. Sebelumnya dia bersembunyi entah ke mana.
Berbekal penerjemah saya coba memahami hasil tes saya. Tidak ada garis sama sekali berarti tesnya tidak valid. Ya gimana lagi, cara saya tidak benar. Harusnya pipisnya disimpan di wadah, kemudian dengan pipet yang disedikan pipis diteteskan ke dalam lubang untuk urine. Gara-gara mau hemat, satu alat tes sia-sia.
Saya masih penasaran dan tidak bisa menunggu hari esok. Begitu ada keinginan untuk pipis langsung saja saya tes lagi. Saya ingat dulu di klinik tiap disuruh pipis bukan pipis pagi-pagi tapi terdeteksi kok.
Di tes kehamilan keempat saya pada hari keterlambatan ketujuh belas itu saya kembali dinyatakan tidak hamil, leganya!!! Mens saya terlambat sembilan belas hari.
Bagaimana cara untuk mens?
Depresi dan frustasi, mulai hari keempat belas saya coba mencari tau cara untuk mendatangkan mens. Saya pun teringat minyak esensi. Dia bisa membantu mengatasi alergi saya, juga bisa mengencangkan kulit saya, pasti ada yang bisa untuk regulasi mens!
Saya bertanya kepada teman saya, panutan saya dalam menggunakan minyak esensi. Dia memberi tahu saya tentang minyak patchouli. Saya juga silang tanya tentang lavender, hasil cari tahu saya di mesin pencari. Dia benarkan, lavender bisa membantu masalah hormonal.
Tapi teman saya mengingatkan minyak esensi hanya membantu regulasi hormon, akar masalah terlambat mens harus tetap dicari tahu. Saya pun menjelaskan kalau hasil tes hamil saya negatif. Saya yakin yang salah adalah hormon dan stres, bukan pembuahan sel telur.
Di pertokoan sekitar Harlemstraat, Leiden saya mencari toko minyak. Yang pertama saya datangi judulnya Oil and Vinegar, ternyata itu toko minyak untuk dimakan. Pegawai tokonya yang baik hati (dan sepertinya sering menemui orang yang salah toko seperti saya), memberi tahu saya minyak untuk badan ada di Holland and Barret. Di sana saya menemukan lavender oil tapi tidak patchouli.
Malamnya saya pun meminta suami untuk memijat saya dengan minyak lavender. Selain itu saya juga menyebar aroma lavender di kamar, karena tidak punya difuser saya merebus air sampai mendidih, memindahkannya ke wadah, meneteskan sari pati lavender ke dalamnya.
Ajaib. Entah karena memang sudah waktunya, atau berkat minyak lavender, keesokan harinya saya mulai mendapati flek di pakaian dalam saya. Saya meneruskan pijat dengan lavender, setelah dua hari warna yang saya yakini sebagai mens pun keluar. Hari kedua puluh, mensnya sudah seperti darah menstruasi di hari kedua saya. Berhasil!
Stres menghambat mens
Akhirnya saya merasakannya. Stres yang begitu dalam memang benar bisa menghambat mens, betapa tubuh kita mendengarkan semua yang kita bisikkan dalam hati.
Saat ini saya memang dalam masa yang begitu tegang. Parahnya lagi stres saya diperdalam karena mens tidak kunjung datang. Saya begitu takut untuk hamil, saya menyesal sekali tidak pakai IUD. Saya bahkan merasa lebih baik saya ditusuk di perut daripada harus hamil saat ini. Saya sampai mencari tahu apakah di Belanda ada Planned Parenthood.
Bila benar hamil, kewarasan saya pasti bagai tetes air di atas sehelai rambut. Untungnya saya tidak hamil. Mungkin mereka yang berusaha hamil dan membaca ini sedang mengutuki saya, tapi biarkanlah saya sangat ingin merayakan ketidakhamilan saya.
Biarkan perempuan memutuskan untuk rahimnya sendiri
Di lain sisi saya sangat iba, mengingat mungkin banyak perempuan di luar sana yang stresnya lebih mencekik daripada saya. Mereka yang mendapati dirinya benar hamil dan lebih memilih mati daripada harus melahirkan jabang bayinya. Atau lebih lagi, mereka yang melahirkan janin itu hanya untuk dibuang di semak belukar dan didapati telah dilahap larva oleh warga sekitar berminggu-minggu kemudian. Seandainya mereka punya pilihan untuk mencegah dan menghentikan kehamilan, mungkin kisah hidupnya tak sepahit itu.
Secara kontras, saya juga mengingat teman saya Libby. Ibu dari Cina berusia sekitar lima puluh tahunan. Saya berteman dengannya di tahun pertama saya di Evanston, kala saya hamil. Dia menemani anak perempuannya sekolah strata satu di sana. Mengetahui saya hamil dia bahagia sekali, dia berbagi pada saya bahwa dia menyesal karena pernah menggugurkan kandungannya beberapa kali, sebab memiliki anak di Cina sangat mahal karena diregulasi pemerintah. Dia menilai temannya dari Cina yang melahirkan anak kedua di Amerika Serikat sebagai orang yang cerdas, dan dia pun ingin sekali melakukan itu.
***
Sengit, ya? Gejolak antara perempuan, rahimnya, dan ekspektasi orang lain atas mereka. Ingin punya anak atau tidak ingin punya anak; mau punya satu anak atau banyak anak; apa pun pilihanmu, semoga setiap perempuan bisa memiliki kemerdekaan seutuhnya, mulai dari rahimnya.